Pacu jalur bisa jadi adalah perhelatan yang paling besar dan dinanti warga Kuantan Singingi, di Provinsi Riau. Atraksi budaya yang sudah berlangsung hampir seabad tersebut merupakan tradisi yang paling menarik untuk Anda saksikan pada bulan Agustus di Kuansing. Ratusan jalur (baca: bahasa setempat untuk perahu kayu gelondongan) akan saling beradu cepat di Tepian Narosa Teluk Kuantan hingga hanya akan muncul satu yang tercepat selama 3 hari perhelatan lomba.
Jalur sendiri adalah sejenis perahu yang dibuat dari batang kayu utuh yang tanpa dibelah, dipotong atau disambung. Perahu dari kayu gelondongan ini begitu kukuh sehingga saat berpacu tidak dikhawatirkan pecah, Meski ramping, sebuah jalur akan sedap dipandang karena dihiasi ukiran, warna, dan ornamen penghias. Lebih dari itu, setiap sebuah jalur memendam saya magisnya masing-masing.
Penggunaan jalur sendiri sudah berlangsung sejak abad ke-17. Awalnya digunakan warga di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir-nya. Masyarakat Kuantan Singingi menggunakan jalur sebagai sarana transportasi mengangkut dan memindahkan angkut hasil bumi seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang sekaligus.
Seiring waktu, akhirnya jalur benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga Kuantan Singingi. Kemudian mereka pun menghias masing-masing jalur sebagai alat transportasi dengan ukiran indah berupa kepala ular, buaya, atau harimau pada bagian lambung maupun selembayungnya. Jalur juga dihiasi dengan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Bahkan, perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut tetapi juga menunjukkan identitas sosial. Seperti misalnya hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias rumit.
Baru pada tahun 1903  jalur tidak hanya sebagai alat transportasi tetapi warga menggelar acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur artinya jalur yang dipacukan (dilombakan) atau lomba jalur. Saat itu, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang di Sungai Batang Kuantan untuk memperingati hari besar Islam serta menyambut tamu-tamu terhormat seperti raja, sultan yang berkunjung ke Rantau Kuantan.
Pada masa Hindia Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus – 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.
Kini, pacu jalur diadakan bertepatan peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesiapada di bulan Agustus dan selalu dimeriahkan oleh ratusan jalur dan melibatkan ribuan pendayung. Tradisi pacu jalur sampai sekarang dilestarikan dan telah menjadi salah satu kegiatan rutin tahunan Dinas Pariwisata Kabupaten Kuantan Sangingi dan masuk dalam kalender tahunan pariwisata nasional di Kementerian Pariwisata. Selain perlombaan pacu jalur, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten atau kota di Riau
Kemeriahan festival pacu jalur mampu menarik ribuan orang karena telah menjadi pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun. Oleh sebab itu, masyarakat Kuantan Singingi dan sekitamya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu. Bahkan, warga asli yang tengah merantau ke daerah lain di Indonesia dan luar negeri akan menyempatkan pulang sejenak untuk menyaksikan kemeriahan pesta rakyat ini.
Pacu jalur menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan dengan panjang 25 – 40 meter dan lebar bagian tengah kir-kira 1,3 m hingga 1,5 meter serta mampu menampung 40 – 60 pendayung (anak pacu) yang mengenakan pakaian adat atau kostum berwarna-warni. Menurut masyarakat setempat jalur adalah ‘perahu besar’ terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung. Setiap jalur akan berisi anggota tim yang disebut ‘anak pacu’ dengan beberapa tugas masing-masing dan sebutannya, seperti‘tukang concang’ yang menjadi komandan atau pemberi aba-aba, dan ‘tukang pinggang’ yang menjadi juru mudi. Ada juga ‘tukang onjai’ yang bertugas memberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badannya, dan ‘tukang tari’ yang membantu ‘tukang onjai’ dalam memberi tekanan agar seimbang, agar perahu dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama.
Perlombaannya sendiri dimulai dengan cara cukup unik, yaitu membunyikan meriam sebanyak tiga kali dari bibir sungai sebagai tanda dimulainya lomba. Saat dentuman meriam pertama kali, jalur yang telah ditentukan berlomba berdasarkan urutannya akan berjejer di garis start. Saat dentuman kedua terdengar, jalur-jalur berada dalam posisi siap untuk mengayuh dayung lalu saat wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya maka perlombaan pun dimulai.
Perlombaan Pacu Jalur Taluk Kuantan memakai penilaian sistem gugur dimana peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Pemenangnya akan saling beradu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu, juga diterapkan sistem setengah kompetisi dimana setiap regu akan bermain beberapa kali lalu regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
Selain sebagai acara olahraga adu kekuatan mendayung, dalam pacu jalur juga melibatkan teknik dan strategi yang akan menentukan kemenangan. Bahkan, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa pacu jalur bukan semata olahraga dayung melainkan seni dan olah batin dimana justru banyak kemenangan dalam perlombaan ini ditentukan dari olah batin pawang perahu atau dukun perahu. Jadi, dalam pacu jalur bahwa ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah peserta pacu dalam lomba ini tidak dipersoalkan karena justru penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam mengendalikan jalur.
Keyakinan magis tersebut dapat dilihat dari keseluruhan acara, yakni mulai dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi ritual magis. Itu karena sebuah sebuah jalur dibuat dengan rangkaian persiapan khusus. Awalnya akan ada rapek kampung (musyawarah) yang dihadiri berbagai unsur pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda, serta dipimpin seorang pemuka adat. Setelah disepakati pembuatannya maka dimulailah pencarian kayu yang memenuhi persyaratan terutama kualitas, ukuran serta bobot magisnya. Tidak itu saja, pencarian ini akan mempertimbangkan peranan pawang karena kayu yang dipilih harus dapat mendukung untuk dapat ditungangi sebanyak 40-80 orang anak pacu.
Jenis kayu yang dipilih adalah dari jenis kayu banio, kulim kuyiang atau lainnya. Kayu tersebut harus lurus panjangnya sekira 25-30 meter dengan garis tengah 1-2 meter dan mempunyai mambang (sejenis makhluk halus). Sesudah pilihan ditentukan dibuatlah upacara semah agar kayu itu tidak “hilang” secara gaib.
Kayu yang sudah disemah oleh pawang akan ditebang dengan alat kapak dan beliung kemudian dahan dan ranting dipisahkan. Saat memotong ujung kayu yang sudah bersih diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat kemudian kulit kayu dikupas, diukur dibagi atas bagian haluan, telinga, lambung, dan kemudian dengan alat benang. Berikutnya kayu tersebut akan diratakan (pendadan) bagian depan (dada) yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung.
Berikutnya kayu akan dicaruk dan dilubangi bagian dalamnya dengan ketebalan yang seimbang. Setelah itu kayu akan dihaluskan bagian samping atas sehingga terbentuk bagian bibir perahu sekaligus mulai membentuk bagian luar bagian atas. Bagian langkah penting adalah saat menelungkupkan kayu (manggaliak) yang tadinya terletak diatas ganti berada di bawah sehingga bagian luar dapat dirampingkan dengan leluasa dengan cara membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak. Terakhir, adalah membentuk haluan dan kemudi dimana pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga keseimbangan ketebalan semua bagian jalur.