Masyarakat Bali Aga lambat laun mengajarkan keyakinan baru yang lebih sistematis kepada masyarakat asli Bali, Bali Mula, seperti berkitab suci dan berpemimpin spiritual. Dalam perjalanan waktu, banyak yang akhirnya berpadu menjadi pengikut Bali Aga dan ada juga yang bertahan dalam keyakinan lama, yaitu Bali Mula.
Gelombang berikutnya yang membentuk kelompok masyarakat Bali adalah Bali Majapahit di abad 14 dan 15 saat runtuhnya Majapahit. Masyarakat Bali Majapahit banyak tinggal di daerah dataran atau pesisir, sedangkan Bali Aga di pegunungan. Itulah sebab, Aga pun diartikan sebagai gunung atau masyarakat gunung. Perbedaan ini tidak pernah menjadi sebuah kesenjangan dan menganggap bahwa orang Bali adalah orang Bali seutuhnya yang memiliki prinsip Desa Mawa Cara, berasal dari latar belakang historisnya ini.
Dalam sistem keyakinan adat, Bali Aga dikenal mewariskan beragam konsep sosial termasuk sistem subak. Konsep lainnya dari Bali Aga ialah orientasi 9 arah mata angin yang dikenal dengan Nawa Sanga, yaitu: 1) arah utama, 2) poros tengah, 3) Timur disebut Kangin atau Kanginan, 4) Barat disebut Kauh atau Kawanan.
Ada pula penunjuk arah lainnya meliputi: 1) Arah Antara, 2) Timur Laut, antara Timur dan Utara, 3) Tenggara, antara Timur dan Selatan, 4) Barat Daya, antara Barat dan Selatan, dan 5) Barat Laut, antara Barat dan Utara
Dari konteks kesucian, kaja ditempatkan sebagai tempat yang tinggi dan utama, walau konsekuensi orientasi arah mata anginnya tidak akan selalu bermakna Utara, seperti di daerah Singaraja yang berada di sisi utara gunung, dimana tempat tingginya secara logis ada di arah mata angin Selatan.
Tri Mandala Makro dan Mikro: Tata Ruang Desa Adat Penglipuran
Dari orientasi dan juga konteks kesucian ini, dibentuklah sistem Tri Mandala, yaitu tiga pembagian ruang yang didasarkan atas fungsi dan kesuciannya. Tri Mandala ini disederhanakan dengan pembagian poros ulu dan teben, yaitu pangkal dan ujung atau lebih spesifik di Penglipuran dengan poros kaja dan kelod, Utara dan Selatan. Selain kaja dan kelod, dikenal juga poros Timur dan Barat, karena dalam proses kehidupan, manusia selalu dipengaruhi oleh terbit dan terbenamnya Matahari.
Di Penglipuran, sisi timur dan utara dianggap sebagai sisi paling suci. Sisi utara disebut sebagai Utama Mandala. Lalu di Selatan disebut sebagai Nista Mandala. Di antara utara dan selatan, disebut tengah, atau Madya Mandala. Di setiap area kesucian ini, dibagi lagi menjadi tiga berdasarkan kesucian dan fungsinya, menjadi utama, madya, dan nista. Maka dari itu, terdapat sembilan (9) daerah berdasarkan fungsi dan kesuciannya. Hal ini adalah orientasi dan pembagian ruang secara makro atau ruang desa.
Secara mikro, hal ini pun diterapkan dalam pekarangan rumah dan di dalam rumah. Di dalam pekarangan, terdapat area utama, madya, dan nista. Di area utama ditempatkan pura keluarga. Tempat tinggal anggota keluarga ada di madya, dan tempat sampah atau kandang hewan peliharaan ada di nista. Hal ini berlaku secara mutlak di Penglipuran bagi pekarangan di sisi Barat. Untuk sisi timur, Tri Mandala mikro ini akan menjadi hal yang kurang implementatif dan kurang tepat dalam tatanan kesusilaan, dimana di depan rumah harus ditempatkan kandang hewan peliharaan atau tempat sampah dan lain hal yang kurang suci. Maka dari itu, Tri Mandala disebut sebagai pembagian ruang berdasarkan tingkat kesucian dan fungsi. Fungsi ini yang akan menjadi sebuah ruang untuk penyesuaian. Dengan demikian, Utama Mandala ada di tengah, Madya Mandala ada di Barat, dan Nista Mandala dipindahkan ke teben atau belakang atau rendah, yaitu di sisi timur.
Dalam penerapan Tri Mandala ini, Desa Penglipuran memandang bahwa jalur utama atau jalan utama merupakan tempat paling suci sehingga hal ini tidak menjadi sebuah kesulitan dalam menerapkan prinsip Tri Mandala. Jalan utama yang berada di Penglipuran merupakan bagian penting dari tata ruang perkempungan maupun pekarangan. Jalan utama disebut sebagai Rurung Gede. Rurung Gede memiliki nilai kesucian utama dalam konteks pengaturan pekarangan. Me Ulu Ke Marga adalah kearifan lokal setiap desa di Bali yang menjaga etika dan kesopanan dalam bermasyarakat.
Bila hanya diterapkan Tri Mandala dengan menganggap timur adalah daerah yang memiliki tingkat kesucian utama, dan barat memiliki tingkat kesucian terendah dimana biasa ditempatkan kamar mandi, tempat cuci, kandang babi, ayam dan hal-hal lain yang kurang suci maka bagi penghuni di sisi timur, angkul-angkul akan berada di teben atau belakang, dan tamu masuk dari arah teben. Secara etika hal itu pasti kurang berkesesuaian. Oleh karen itu, makna penting Me Ulu Ke Marga dengan pengertian kepala menuju ke jalan adalah prinsip yang menjaga martabat manusia dan mempertahankan etika sebagai bagian penting.
Bagi rumah yang berada di sisi timur, teben akan dipindahkan ke sisi paling timur dan menggeser ulu atau daerah kesucian utama ke bagian tengah, dan madya bergeser ke bagian barat yang menjadi di dekat angkul-angkul. Dengan demikian, Tri Mandala akan tetap terjaga sekaligus etika kesopanan sosial pun tidak dikorbankan.
Kosala Kosali
Metode pengukuran dan pengelolaan jarak dan dimensi ruang atau tata letak di dalam membangun sebuah set up kawasan pekarangan rumah tradisional Bali menggunakan cara yang disebut kosala kosali. Uniknya, cara ini memiliki unit pengukuran atau dimensi yang disesuaikan dengan ukuran fisik kepala keluarga pemilik pekarangan. Selain itu, nama unit ukuran pun diambil dari panjang anggota badan tertentu. Bila berbadan besar maka ruang pun akan sedikit besar dibandingkan mereka yang berbadan kecil. Jadi, seorang kepala keluarga semisal diharuskan memiliki dapur dengan ketentuan lebar 20 hasta, belum tentu sama dengan pemilik lain yang berbadan lebih besar dengan ukuran 20 hasta. Di sinilah terdapat nilai keadilan bagi setiap pemilik pekarangan.
Beberapa unit pengukuran yang umum digunakan dalam kosala kosali ialah musti, hasta, dan depa. Musti ialah dimensi yang digunakan berpedoman pada ukuran tangan mengepal dengan ibu jari menghadap ke atas. Hasta ialah pedoman dimensi menggunakan sejengkal jarak tangan manusia dari pergelangan tengah tangan hingga ujung jari tengah yang lurus terbuka. Sedangkan depa ialah pedoman pengukuran dengan menggunakan jarak antara dua bentangan tangan yang terbuka lebar.
Di Penglipuran, kosala kosali masih berlaku. Setiap pekarangan di jalur poros utama Utara-Selatan atau Kaja-Kelod didefinisikan sebagai ruang yang diberikan oleh adat kepada keluarga yang masuk ke dalam kelompok warga atau kromo atau krama pengarep, yang dibagi dua menjadi pengayah dan roban. Pengayah ialah mereka yang memiliki tanah ayah desa baik di jalur utama maupun di luar jalur utama. Sedangkan roban ialah mereka yang tidak memiliki tanah adat tapi bisa diberikan tanah desa melalui sistem sewa dengan bayaran tertentu dan secara tradisi dibayar sejumlah beras.
Contoh penerapan kosala kosali dapat dilihat dari letak dan besar sebuah dapur yang ada di setiap pekarangan rumah warga. Letak dapur selalunya terdapat di sisi utara pekarangan. Posisi dapur pun uniknya terletak pada garis yang sama dalam poros Utara-Selatan. Akan terlihat dapur yang berjajar segaris antara satu pekarangan keluarga dengan pekarangan tetangganya, baik tetangga di utara maupun di selatannya.
Pura
Sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan Jawa yang dibawa oleh Majapahit ke Bali, kata pura belum dikenal karena sebelumnya masyarakat Bali Mula dan Bali Aga menggunakan istilah Ulon Hulu. Setelah istilah itu, perkembangan menggantinya dengan kata Hyang. Dua istilah ini berulang disebutkan dalam prasasti Bali lama. Kata pura sebenarnya berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti kota, istana, rumah resmi raja, atau ibu kota kerajaan.
Dari objek pemujaannya, pura dibagi menjadi Pura Kahyangan Jagat, yaitu tempat persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasinya. Selanjutnya ialah Pura Kulawarga, yaitu tempat suci untuk memuja roh suci leluhur yang dianggap berstatus dewa-dewi.
Dari fungsinya, pura dibagi menjadi Pura Kahyangan Jagat atau pura umum, Pura Kahyangan Desa yang sifatnya teritorial, Pura Swagina yang dibuat berdasarkan fungsi atau pengelompokkan profesi warganya, dan Pura Kulawarga atau Kawitan.
Salah satu bagian terpenting dari keberadaan desa adat ialah adanya pura. Untuk dapat disebut sebagai desa adat, syarat minimal yang perlu dipenuhi ialah memiliki Pura Kahyangan Desa yang sifatnya teritorial, dimana salah satu jenisnya ialah adanya Pura Kayangan Tiga dan syarat ini mutlak dipenuhi. Pura Kayangan Tiga artinya tiga pura utama dalam konteks tata ruang desa adat. Pura Penataran, Pura Puseh, dan Pura Dalem adalah tiga syarat utama yang harus dimiliki sebuah desa adat tadi.
Pura Penataran ialah pura tempat Dewa Brahma sebagai manifestasi cahaya Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pencipta. Pura Puseh ialah pura tempat Dewa Wisnu sebagai manifestasi cahaya Tuhan yang memiliki sifat Maha Pemelihara. Sedangkan Pura Dalem ialah pura tempat Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk meleburkan hasil ciptaan-Nya. Desa Penglipuran memiliki tiga pura tersebut dan juga beberapa pura lain yang hadir sebagai bagian dari sejarah dan juga tradisi panjang keyakinan Hindu di Bali.
Pura yang juga melengkapi Desa Adat Penglipuran ialah Pura Penaluah, Pura Empu Aji, Pura Dukuh, Pura Rabut Sri Sedana, Pura Ratu Sakti Pingit, Pura Balai Banjar, Pura Ratu Sakti Gde Tungkub, Pura Dalem Prajapati, dan Pura Sakti Mas Ayu Manik Melasem. Semua itu adalah pura yang diusung oleh desa adat dan merupakan tanggung jawab pemeliharaan desa adat.
Di Pengliatan pun terdapat pura yang menjadi simbol peribadatan klan, yaitu Pura Dadia Dalem Tampuangan Pulasari. Di samping pura yang sedemikian banyaknya, pura keluarga atau pura sanggah di setiap pekarangan rumah akan memperkaya jumlah pura yang ada di Penglipuran.
Sebagai tempat suci, pura harus diperlakukan dengan baik. Saat memasuki pura, setiap orang, termasuk non-Hindu Bali harus mengenakan kain yang pantas untuk diterima dalam kondisi yang dibenarkan. Bagi wanita yang sedang menstruasi, memasuki pura merupakan sebuah pantangan. Selain kondisi tersebut bagi wanita, mereka yang tinggal di Karang Memadu pun dilarang untuk memasuki Pura Penataran. Di desa ini, bagi keluarga yang ditinggalkan oleh anggotanya karena meninggal dunia pun dalam kurun waktu tertentu tidak dapat memasuki pura karena dianggap belum suci. Agar dapat kembali memasuki pura, maka mereka harus terlebih dahulu disucikan.
Rumah
Bisa disebut bahwa keunikan Penglipuran ialah jumlah pekarangan rumahnya yang 76 di dalam lingkup desa adat. Di jalur utama terdapat 72 pekarangan rumah, dan 4 di luar jalur utama. Jumlah ini tidak ditambah walau ada kemungkinan untuk bertambah. Selama ini rumah dengan jumlah 76 ini tak pernah berubah jumlahnya. Konon, dulu jumlahnya hanya 45 dan sejalan dengan perkembangan warganya, jumlahnya mencapai 76 dan tidak pernah lagi ditambah.
Rumah-rumah di Penglipuran dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu bangunan tradisional dan bangunan non-tradisional. Bangunan yang masih tradisional pun dibagi menjadi bangunan asli dan sudah diperbaharui. Bagian utama dari sebuah rumah terdiri dari struktur utama yang terdiri dari rangka dan kolom, lalu ditutup struktur atap yang terdiri dari sunduk berbahankan bambu. Selain itu dilengkapi pula dengan bahan utama yang secara tradisi berbahan kayu dan bambu dimana lantainya berbahan tanah. Hal yang menjadi kekhasan rumah-rumah tradisional di Penglipuran ialah dindingnya yang berbahan dari bambu, atau gedeg.
Bambu telah digunakan sebagai bahan dasar sejak lama dalam pembangunan perumahan di Penglipuran. Karena lahan hutan bambu yang begitu luas, tak dapat dihindari bahwa penggunaan bahan bambu menjadi sangat dominan saat itu. Komponen bangunan dalam sebuah pekarangan perumahan yang paling menonjol dalam pemanfaatan bambu dapat dilihat dengan adanya atap sirap bambu, dinding bambu, dan tiang-tiang bambu yang masih lestari dalam bentuk angkul-angkul, dapur tradisional, dan juga bale.
Pelestarian penggunaan bambu sebagai bahan bangunan khususnya perumahan tetap dipertahankan dalam banyak aspek walau konsep konservasi budaya ini pun tak serta merta diterjemahkan sebagai sebuah keterbatasan dalam mengikuti perkembangan zaman. Berbagai bangunan baru tetap diperbolehkan dengan tidak merusak tatanan tradisi dan juga pesan konservasi yang diajegkan oleh adat di Penglipuran. Realitas kehidupan di Penglipuran tetap menghargai nilai-nilai manfaat yang praktis, ekonomis, dan ekologis.
Dalam membangun rumah, setiap kepala keluarga di Penglipuran masih menerapkan prinsip Tri Mandala, tiga ruang fungsi dan kesucian. Tri Mandala terdiri dari Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Utama Mandala merupakan area yang paling disucikan terletak di sisi Timur Laut. Madya Mandala adalah bagian kedua yang merupakan tempat kegiatan keluarga sehari-hari. Nista Mandala ialah bagian ketiga yang merupakan area untuk kegiatan yang tidak dinilai begitu suci.
Dalam konteks Tri Mandala bagi pengaturan rumah, tempat tidur biasanya ada di sisi timur. Bagian tengah atau madya biasanya dijadikan tempat berkumpul keluarga, dan bagian barat menjadi area untuk kamar mandi dan tempat mencuci. Air disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan jumlah terbatas, dan sebagian lagi disediakan oleh desa adat. Di Penglipuran, menurut awig-awig yang berlaku, setiap rumah dilarang membuang limbah air ke saluran utama di depan pekarangan. Dengan awig-awig ini, maka kebersihan dan kesehatan sanitasi desa tetap terjaga.
Dinding Penyatu, Bukan Pemisah
Setiap pekarangan rumah yang berjumlah 76 ini dibatasi dinding yang memanjang dari timur ke barat. Jalan masuk utama tentu melalui angkul-angkul atau gerbang pintu tradisional yang menghadap langsung dengan jalur utama Desa Penglipuran. Di belakang, sudah banyak kepala keluarga menambah rumah baru yang diisi masing-masing kepala keluarga lain dalam garis keluarga yang dekat, seperti adik dan kakak serta orang tua. Untuk memudahkan akses, pintu di belakang pun sudah menjadi pintu masuk, walau lewat belakang rumah dimana sebenarnya menghadap langsung ke jalan alternatif yang beraspal dan lebih besar dari jalan utama Desa Penglipuran.
Lagi-lagi, keunikan dari Desa Penglipuran yang memegang salah satu prinsip berkehidupan sosial atau tata krama yang dikenal dengan Desa Mawa Cara, pintu akses tak hanya ditetapkan dari depan dan belakang saja. Lihatlah di setiap samping pekarangan rumah dimana dinding-dinding yang biasanya menjadi pemisah antara satu pekarangan dengan pekarangan lain, nyatanya menjadi pemersatu antara pekarangan satu dengan lainnya.
Dengan ditetapkannya aturan ini maka keterbukaan semakin terjadi antar warga. Pengendalian sosial menjadi hidup dan dihidupkan secara tradisi. Keamanan pun menjadi sesuatu yang murah karena satu sama lain saling memperhatikan dan menjaga. Tidak perlu seseorang menitipkan apa-apa kepada tetangganya karena kebiasaan keseharian yang saling terbuka menjadikan aset sebuah keluarga merasa dijaga oleh tetangganya. Dinding yang biasanya dibangun untuk memisahkan tampak tak berlaku di Penglipuran karena keberadaannya justru menjadi pemersatu.
Dinding Bali biasanya dihiasi ornamen khas Bali. Sebetulnya, itu bukan hanya sebagai ornamen estetika saja tetapi juga di dalamnya terdapat filosofi yang berperan dalam kehidupan religius masyarakat Bali. Terutama di Penglipuran, selain keunikannya ialah menjadi pemersatu antara satu pekarangan dengan pekarangan lain juga dapat ditemukan mahkota-mahkota yang dipasangkan pada dinding di Desa Penglipuran.
Arti dan makna dari mahkota-mahkota yang dapat ditemukan berawal dari pandangan ketuhanan dengan sifat-sifat-Nya, atau cahaya suci-Nya. Cahaya suci ini kita kenal dengan sebutan dewa yang berasal dari kata ‘div’ yang berarti cahaya. Seperti disebutkan bahwa di sebelah timur yang disematkan dengan warna putih, merupakan tempat untuk Dewa Iswara atau Indra, di sebelah selatan untuk Dewa Siwa yang representasi Tuhan Yang Maha Meleburkan dengan lambang warna merah, di barat yang disematkan dengan warna kuning adalah sifat Maha Dewa atau Brahma, dan di utara yang disematkan dengan warna hitam merupakan tempat Dewa Wisnu.
Mudra, yakni bentuk yang menyerupai mahkota, menjadi hulu pada struktur penyangga dinding bagian atas yang disebut pada raksa. ‘Pada’ artinya saling, dan ‘raksa’ artinya berpegang, memelihara, atau melindungi. Kata pada raksa dapat diartikan saling berpegangan.
Tembok-tembok yang didirikan akan lebih kokoh bila dibuatkan struktur penyangga pada raksa di titik-titik pertengahan dan ujung. Pada raksa sebenarnya merupakan struktur penguat yang menjadi kerangka dasar dari dinding, terutama di setiap sudut. Setiap sudut di Penglipuran dan di Bali umumnya memiliki nama raksa masing-masing. Raksa-raksa inilah yang secara spiritual dan juga arsitektur menjadi pemersatu antara sisi timur, selatan, barat, dan utara.
Timur Laut bernama Sri Raksa
Tenggara bernama Guru Raksa
Barat Daya bernama Rudra Raksa
Barat Laut bernama Kala Raksa
Homestay Berdinding Anyaman Bambu
Bali memang lain dari yang lain. Sejauh apapun langkah ditapakkan di tanah Nusantara, bayangnya mengikuti dalam angan. Tidak adil untuk dibandingkan karena Bali bukan hadir untuk diperbandingkan. Keberadaannya justru menjadi satu kekayaan. Kaya pengalaman sekaligus kaya dengan kuatnya kenangan.
Bermalam di Penglipuran membawa romansa terindah bagi setiap tamu. Kenangan manis apapun seperti terhanyut oleh waktu dan dihadirkan di setiap pandangan mata tertuju. Ukiran kayu homestay bersama dinding bambu yang menjadi ciri arsitektur rumah asli Penglipuran seperti mustahil untuk tak mengingat masa bulan madu. Kesederhanaan bertabur nilai kenangan adalah racikan yang diteguk tamu untuk selalu merindu.
Dahulu, dinding-dinding yang menjadi penghalang angin, cuaca panas dan dingin, terbuat dari tanah liat atau disebut tanah polpolan. Kini, sebagian sudah dikonversi menjadi tembok gaya Bali yang penuh sentuhan seni. Indahnya, struktur baru dan lama hadir dipertahankan.
Tembok semen tak merusak pandangan saat di berbagai tepi rumah masih berdiri dinding tanah liat yang termakan zaman. Mereka justru indah berpadu. Walau dari tanah liat, dinding ini bertahan dengan warna dasar coklat kemuning, samar ditumbuhi lumut daun yang juga berwarna coklat. Hadir di depan tembok ini saat mentari mulai meninggi memberi sensasi keemasan pada permukaannya. Penjor atau umbul-umbul adat yang menguning lembaran daun nyiurnya memberikan nuansa pagi semakin megah.
Bila tak memiliki peluang tidur di homestay khusus bagi tamu di tepi lapang parkir timur maka tidak perlu kecewa karena begitu banyak rumah tradisional memiliki ruang lebih di pekarangan bagian belakang yang sudah ditata menjadi persinggahan bagi mereka yang ingin rasakan malam berganti siang di Penglipuran. Justru di dalam lingkungan rumah tradisional ini, tamu dapat menemukan tembok tanah liat dan dapur bambu yang mustahil ditiadakan. Setiap gerbang pintu masuk atau angkul-angkul, dapur dan bale di masing-masing lingkungan rumah wajib dipertahankan struktur bambunya yang hadir dari dahulu.
Dapur dan bale penting dipertahankan sehingga lestari keberadaannya, karena dua tempat ini erat kaitannya dengan penghormatan kepada leluhur. Para tetua di dalam lingkungan rumah yang masuk ke dalam level kubayan adalah mereka yang memang patut menempati posisi paling pertama atau orang suci di antara warga lainnya. Mereka akan menjalani proses pertapaan di dalam kehangatan dan kesakralan sebuah dapur berikutnya pindah ke bale lalu mandi di sungai.
Nelengen atau Angkul-angkul
Hilangkan semua hal yang bernuansa penambahan dan pembaruan di Penglipuran, lalu sisakan segala komponen yang sifatnya asli di Penglipuran maka akan terlihat sebuah perkampungan adat yang mempertontonkan jajaran angkul-angkul atau gerbang pekarangan, bale tempat kegiatan rumah tangga, dan dapur yang khas. Tentu pura keluarga dimana para roh leluhur bersemayam menjadi bagian penting yang akan juga terlihat. Dari semua komponen ini, kecuali pura keluarga, semua ciri khas yang ditampilkan ialah adanya atap sirap bambu dan dinding bambu. Ciri khas bangunan lama yang berbahan bambu inilah yang menjadi guratan tangan para leluhur di Penglipuran.
Sudah menjadi kewajaran bila pekarangan rumah dibuatkan jalur masuk utama dan lainnya adalah pembatas baik berupa tanaman atau dinding dan pagar. Di Penglipuran, semua pekarangan dibatasi dinding dan dibuatkan celah masuk berupa angkul-angkul atau dalam bahasa di Penglipuran disebut nelengen.
Angkul-angkul merupakan gerbang masuk dan keluar penghuni dan tamu yang datang. Pekarangan di Penglipuran hampir sama dalam ukuran lebar walaupun ada sebagian yang memiliki lebar lebih tergantung dari ketentuan yang disuratkan dalam aturan kosala kosali. Terkadang pula itu disesuaikan dengan ukuran badan kepala keluarga yang menghuninya. Angkul-angkul seolah menjadi awal dan akhir saluran yang mengatur alur jalan penghuni dan tamunya agar tak masuk secara acak ke dalam pekarangan.
Dua pilar adalah struktur utama dari angkul-angkul dan akhirnya akan menjadi penopang atap yang berbahan bambu. Pilar angkul-angkul dibuat secara tradisi dari bahan tanah liat. Tanah yang dicampur dengan air berasal dari pekarangan itu sendiri dan dibuat semacam bola besar lalu dicetak dengan cara membantingkan bola tadi agar padat. Proses ini biasa disebut oleh warga lokal dengan istilah tanah polpolan.
Angkul-angkul dibangun dari bawah ke atas. Awalnya dibuatkan dahulu fondasi yang kokoh, baik dari tanah liat, batu, ataupun batu paras atau cadas yang berasal dari dinding aliran Sungai Sangsang yang lokasi sekira 1 kilometer ke arah barat laut desa Penglipuran. Setelah fondasi dikokohkan maka dibangun pilar-pilar dengan tanah polpolan satu demi satu atau blok demi blok. Lebar antarpilar diseragamkan dengan lebar antar poros tengah pilar satu dengan lainnya sekira satu depa (sekira 1,5 meter). Sebuah blok tanah yang sudah terbentuk akan dibiarkan dahulu hingga kering dan kuat lalu diteruskanlah pembuatan blok baru di atasnya dengan tanah polpolan. Proses ini terus berlanjut hingga ketinggian angkul-angkul mencapai 2,5 meter.
Setelah selesai dengan ketinggian yang cukup maka dibuat atap dengan berbahan bambu. Bambu dipasang berlapis-lapis dan semuanya disusun sebanyak 5 lapis bilah bambu. Bilahan bambu dipasang memanfaatkan bagian dalam bambu sebagai sisi luar atau menghadap ke atas sehingga aliran air hujan seolah mendapat tampungan aliran dan mengalir di atas bilahan bambu yang cekung.
Banyak orang mengira bahwa bagian kulit terluar bambu adalah bagian paling tahan cuaca. Nyatanya, bagian dalam bambulah yang paling tahan dengan cuaca panas dan hujan, bukan bagian kulit luar bambu. Bila diuji ketahanannya, bilah bagian dalam bambu yang dipanaskan dan dihujankan, dengan bagian kulit luar bambu yang juga dipanaskan dan dihujankan secara alami maka bagian kulit luar bambulah yang pertama akan mengalami deformasi. Hal ini sudah sejak lama diketahui dan diterapkan sebagai kearifan lokal masyarakat sekitar Penglipuran dalam memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan.
Dapur dan Bale
Dapur khas Bali yang masih asli bangunannya terbuat dari bahan bambu secara keseluruhan. Bagian pintu biasanya ada juga yang dibuat dari bahan kayu agar tahan lama. Di Penglipuran, dapur dan bale ini dipertahankan dalam keadaan asli, walau bangunan lain dalam pekarangan sudah lebih modern. Dari keindahan visual, hal ini menjadi daya pikat pengunjung yang menjumpai adanya harmonisasi antara bangunan lama dan baru.
Dapur yang juga disebut paon atau pawon, hampir sama ukuran antara satu dapur di sebuah pekarangan dengan dapur lain di pekarangan tetangganya. Ada juga dapur yang lebih besar dari ukuran biasanya karena dahulu kepala keluarga yang menjadi penghuni pertama sebuah pekarangan tersebut berbadan lebih besar dari warga lainnya. Dengan aturan kosala kosali yang menjadi pedoman, ukuran tersebut termanifestasikan dalam ukuran dapur dan segala ukuran jarak atau dimensi bangunan yang ada.
Dapur terdiri dari dinding bambu dan atap bambu. Dinding dianyam dengan bilah panjang bambu sehingga kuat sebagai dinding pelindung. Atap dapur pun dibuat sama aturannya seperti dalam membuat atap angkul-angkul. Fondasi dapur biasanya dibuat dari batu paras yang lama kelamaan berubah mengeras menjadi batu. Tinggi fondasi biasanya sekira 40 cm, tergantung ukuran kosala kosali.
Di dalamnya, terdapat tungku api yang berada di sisi paling barat dimana proses memasak dilakukan. Di atas tungku api biasanya ditempatkan lapisan bambu yang digantung untuk menyimpan biji-bijian seperti jagung, kopi, dan juga bahan makanan lain yang dikeringkan seperti bawang dan kelapa. Di tepi kiri biasanya ditempatkan gentong air untuk persediaan air minum untuk memasak, disimpan di atas batu berongga yang akan menjadi agak lembab. Di dalam rongga tersebut disimpan beberapa macam bumbu atau rempah-rempah yang memerlukan kelembaban seperti jahe agar tak lekas kering.
Di tepi belakang tungku dan kanan biasanya dibuat lapisan penyangga untuk menyimpan alat-alat dapur dan bahan makanan yang sering digunakan, termasuk padi gogo atau padi huma yang ditanam di ladang tanpa pengairan khusus. Lapisan ini ada juga di bagian atasnya yang juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi selain disimpan di jineng atau lumbung padi.
Di bagian timur dapur dibuat dipan yang menjadi bagian utuh dan bersatu dengan rangka dapur. Dipan ini adalah tempat orang tua atau jompo untuk tidur. Secara tradisi, orang yang sudah tua dalam keluarga biasanya menempati dapur sebagai tempat tidur mereka. Walau bukan sebuah keharusan, dapur merupakan tempat mengolah masakan dan juga tempat tidur para orang tua dan jompo. Di dalamnya pun disisihkan sedikit ruang untuk menyimpan sesajen bagi leluhur yang dahulu menempati dapur tersebut. Biasanya sesajen diberikan setiap hari satu canang dan juga pada saat purnama tilem.
Dapur dapat bertahan dengan struktur bambunya hingga puluhan tahun karena bambu yang diasapi setiap hari cenderung lebih kuat dan bertahan lama. Berbeda dengan umur bambu yang tidak selalu terkena asap maka bambu yang terkena asap bisa bertahan hingga 30 tahun lamanya. Dapur yang aktif dengan kegiatan memasak untuk keperluan keseharian, biasanya bertahan lama. Kepulan asap yang terperangkap dalam dapur akan menyebar ke setiap pori-pori bambu sehingga menguatkan bambu tersebut atau menghilangkan rayap yang menggerogoti bambu. Jadi, memasak dengan menggunakan kayu bakar bagi warga Penglipuran menjadi begitu penting karena terkait kelangsungan dan umur dapur itu sendiri, walaupun di ruangan lain keberadaan kompor gas boleh dijadikan alternatif lain.
Saat memperingati Galungan sebagai hari kemenangan melawan nafsu dan musuh bathin maka di setiap dapur akan ditemukan sebuah keranjang bambu yang unik bentuknya. Keranjang ini hanya ada saat Galungan dan Kuningan saja. Bentuknya bundar, berwarna coklat tua dan di dalamnya berisi sate khas Bali yang biasanya dari daging ayam atau babi. Keranjang ini disebut dengan katung. Katung ini khusus untuk sate dan bukan makanan lain. Sate dimasukkan di dalamnya dan katung ditempatkan di atas tungku agar asap dari tungku terus mengelun dan menjadi pengawet alami bagi sate yang ada di dalamnya.
Di luar dapur, terdapat sebuah batu berbentuk seukuran drum berukuran sedang. Beberapa keluarga masih menggunakannya sebagai bagian dari aktivitas keseharian di dapur namun sebagian lagi hanya mempertahankan keberadaannya saja. Batu ini adalah tempat penampungan air untuk mencuci atau memasak. Sekarang batu tersebut tampak begitu kokoh meski sudah berusia ratusan tahun. Konon, dulu batu tersebut terbuat dari batu paras atau cadas sehingga tidak begitu berat dan mudah dibentuk. Karena termakan usia, paras membeku menjadi batu.
Bale atau balai adalah ruang yang biasanya memiliki satu dinding dibiarkan terbuka atau seluruhnya terbuka. Dalam konteks bale di dalam pekarangan rumah, bale biasanya berdinding 3 dengan satu dinding terlebar yang menghadap ke dapur dibiarkan terbuka. Dengan tiang 6, sebuah bale dibangun di atas fondasi yang tingginya sekira 50 cm dari lantai jalan pekarang rumah. Bale digunakan untuk tidur anggota keluarga pada awal pembangunannya kemudian setelah bertambahnya jumlah anggota keluarga dan menurut kemampuan dan kemapanan sebuah keluarga maka biasanya dibuat kamar-kamar di lokasi lain di daerah madya pekarangan rumah.
Saat ini, sebuah bale adalah tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan untuk upacara dan di bagian bawah bale yang memiliki kolong biasanya disimpan kayu bakar. Hal yang paling sering ditemui di dalam bale ialah kotak bambu yang berukuran besar seperti besek yang dinamakan sokasa sokasi atau singkatnya disebut sok-sokan atau sok. Karena kaya dengan hutan bambu, warga Penglipuran menjadi salah satu pengrajin terbaik sok-sokan.
Baik bale maupun dapur dan juga angkul-angkul sering ditumbuhi tanaman benalu yang akan menyelimuti atap bambunya. Warga Penglipuran berkeyakinan bahwa tanaman itu tidak boleh dibersihkan. Tanaman tersebut dikenal dengan sebutan pispisan yang arti kata dari pispisan sendiri ialah uang atau rejeki (kepingan uang di bali disebut pis). Jadi semakin banyak tanaman pispisan tumbuh di atas angkul-angkul atau bale dan dapur maka semakin baik karena hal tersebut dimaknai sebagai limpahan rejeki yang akan dirasakan keluarga-keluarga dalam pekarangan rumah tersebut.