Harta Haram Orang Jawa: Fakta Mental Keserakahan pada Harta

Kepercayaan terhadap roh-roh yang berwujud seperti anak kecil atau makhluk halus jahat yang dapat membuat orang menjadi kaya atau ada hubungannya dengan kekayaan yang meningkat atau menurun, entah berupa uang atau semacamnya, telah menjadi tema tua yang dapat ditemukan di pelbagai tempat di Pulau Jawa. Ini secuil gambaran bagaimana jiwa zaman orang Jawa pada kepemilikan harta dan penghidupan mistis yang memengaruhinya.

Fakta mental keserakahan pada harta memang tidak ada kaitannya dengan monetarisasi atau kapitalisme modern. Akan tetapi, perubahan detail dari kepercayaan cerita rakyat tersebut mencerminkan tingkah laku sosial dari ekonomi tradisional, baik dalam aspek struktural maupun siklus yang dialami masyarakat Jawa.

Literatur Indonesia dan historiografi Eropa serta laporan utusan dagang Tiongkok dapat menghasilkan variasi sejarah yang kaya tentang keberadaan dan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap makhluk-makhluk halus jahat yang dapat memperkaya pundi-pundi materi mereka. Meskipun akan selalu tidak mudah untuk menelusuri sumber serta membangun kronologi yang memuaskan menjadi sebuah tulisan ringan bertema ekonomi dan bernuasa sejarah namun saya harap siapapun yang membaca ini kemudian bertemu dengan saya langsung dapat berbagi lebih banyak cerita yang mungkin unik untuk didengar.

Kita mulai dari Clifford Geertz yang menulis tentang keberadaan tuyul selama bekerja lapangan di daerah Mojokerto antara tahun 1952 dan 1954. Ia menyebutkan makhluk halus yang dapat mencuri tanpa diketahui dan hanya dapat dilihat oleh pemiliknya serta orang tertentu yang memiliki kemampuan spiritual tinggi seperti ulama hingga pewaris ilmu batin atau juga para dukun. Jasa Tuyul tersebut harus dibayar dengan kematian manusia yang akan datang lebih awal dan sangat mengerikan.

Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Tuyul menggambarkan kondisi sosial masyarakat Jawa saat itu yang berswasembada tanpa menggunakan uang tunai. Kepingan emas dan perak asli pribumi dari hasil pertanian telah digunakan sejak abad ke-8, begitu pula keping uang China dan perak Belanda (duiten) yang telah menembus pelosok Nusantara.

Selain itu, ada juga uang tembaga Belanda yang dipakai untuk membayar tanaman wajib perdagangan pasar Eropa dan sebagai gaji sejumlah tenaga kerja rodi. Saat Hindia Belanda mengalami depresi ekonomi pada 1930-an yang membuat proporsi tenaga buruh tani yang ditawarkan di pedesaan meningkat hingga 50% dan memicu ketersediaan uang lebih banyak lagi,  kemunculan makhluk halus seperti Tuyul pun terkuak dan dikupas.

Makhluk halus lain yang berhubungan dengan kekayaan haram adalah setan gundul yang muncul tahun 1894. Sosoknya mirip bocah empat tahunan. Ia dapat mencuri uang untuk tuannya tanpa diketahui oleh korban. Setan Gundul dapat dibeli dari dukun khusus atau dikontrak selama tujuh tahun.

Akan tetapi, uniknya hal itu dapat ditunda hingga dua kali tujuh tahun jika pemiliknya mampu dan mau mengorbankan orang lain sebagai gantinya. Setan Gundul harus diberi makan kacang hijau setiap hari. Apabila sang istri mempunyai bayi, ia juga harus menyusui si Gundul. Ruangan tersendiri yang hanya boleh dimasuki oleh majikannya juga disediakan untuk si Gundul. Bila dirawat dengan baik, ia akan memberikan kekayaan dan melindungi rumah pemiliknya dari gangguan musuh.

Sosok Gundul kemudian hilang begitu saja pada tahun 1930-an dan 1940-an. Ketika ekonomi mulai melaju dan kesempatan untuk memperoleh kekayaan muncul, masyarakat Jawa membutuhkan sosok hantu “baru” untuk menjelaskan tentang kekayaan yang mendadak.

Ada pula makhluk mentek yang dikenal di kalangan petani dan menjadi penyebab munculnya penyakit padi atau hama. Dalam literatur lama Mentek digambarkan sebagai anak kecil telanjang yang mampu merusak padi di sawah. Penjelasan tentangnya cukup rumit, apakah periode depresi dan perang memungkinkan makhluk perusak tanaman beralih menjadi pencuri padi dan penghasil padi yang cepat? Saat itu pandangan tentang kekayaan tidak diukur oleh uang, tetapi jumlah padi yang dihasilkan.

Mentek telah kehilangan fungsinya sebagai penghasil beras ketika uang telah diterima sebagai alat tukar dan tabungan. Ia tidak hilang sama sekali dari cerita turun-temurun, tetapi statusnya beralih menjadi penyakit tanaman dan ia muncul kembali tahun 1930-an ketika uang tidak begitu penting dibandingkan padi.

Beda lagi, ada kecit yang digambarkan sebagai boneka berbentuk manusia atau setan berwujud anak. Kemampuannya adalah dapat mengembalikan uang yang telah dibelanjakan pemiliknya.

Selain kepercayaan kepada makhluk halus yang dapat memberikan kekayaan, ada juga kepercayaan terhadap chthonic yang disebut hewan bumi atau hantu bumi yang tinggal di atas tanah ataupun air. Ia mengetahui di mana letak harta karun; emas, perak, berlian dalam Bumi. Sebetulnya kepercayaan ini ditemukan pula pada bangsa lain, seperti India dan Srilanka pada abad ke-17, saat pedagang kaya gemar menimbun harta demi menghindar dari peraturan atau birokrasi.

Bukti paling awal tentang kepercayaan ini ditemukan di Indonesia tahun 1820 saat seorang Residen Cirebon menuliskan bahwa banyak orang desa di Jawa mengubur uangnya dalam tanah karena khawatir terhadap kecemburuan dan mata tetangganya atau tidak berani memperlihatkan kekayaannnya karena bukan dari kalangan bangsawan. Mengubur uang bersama pemiliknya yang mati juga dilakukan karena ketakutan akan menghantui bila kekayaannya hasil kerjanya dinikmati orang lain. Dapat disimpulkan bahwa penguburan uang merupakan kebiasaan umum pada masyarakat di Pulau Jawa tempo dulu.

Selain itu, ada pula blorong sebagai kasus perubahan gender yang cukup terkenal. Blorong yang berkelamin jantan masa 1855-1875 kemudian mengalami perubahan menjadi wanita tahun 1879-1924. Blorong adalah seekor ular atau ikan berkepala manusia kadang dengan banyak tangan dan kaki mirip lipan, berdiam di pegunungan  atau sepanjang Pantai Selatan. Roh pemujanya akan berubah menjadi ular sesudah ia mati. Keberadaannya terkait juga dengan Nyai Lara Loro) Kidul yang dapat memberikan kekayaan.

Siluman sang pencuri lain adalah ipri, yaitu sosok makhluk halus betina jahat variasi lain dari blorong untuk orang Sunda. Ipri pertama kali disebut tahun 1910 dan sebutan untuk mendapatkan roh makhluk ini dinamakan ngipri dimana pelakunya menjadi seekor ular, baik pada saat ia masih hidup maupun sesudah mati. Tindakan tersebut disebut sebagai likantropi yaitu orang yang secara temporal dapat berubah menjadi binatang. Orang yang jiwanya masuk sebentar ke dalam seekor binatang saat ia tidur atau kesurupan dan orang yang jiwa atau rohnya berubah atau masuk ke dalam binatang setelah ia mati. Binatang yang disebut tersebut adalah kera (ngethek), anjing, babi (nyegik) dan celeng (babi hutan).

Ada juga cerita yang lebih kuno tentang jerangkong (kerangka tulang) sebagai roh dalam bentuk anjing kadang kambing, kucing atau kera, yang pada masa hidupnya merupakan pemakan riba, kikir, atau menggunakan makhluk halus untuk memperoleh kekayaan.

Jalan dan cara untuk memperoleh pelayanan dari makhluk halus penghasil uang dan kekayaan adalah membeli pengetahuan (ngelmu) tetapi perlahan pembelian sebagai sarana untuk memperoleh makhluk halus telah terhenti pada awal abad ke-20. Meditasi, bertapa dan tarikat di kuburan keramat di puncak pegunungan sering disebut setelah tahun1900 tetapi jarang sekali terjadi sebelum tahun itu. (Him)