Pasola: Kuda Sumba, Lembing, dan Kisah Cinta

Kuda Sumba yang berbadan kecil namun kokoh berotot terdengar meringkik bersahutan dengan ratusan kawanannya di padang rumput yang luas. Semilir rumput kering bercampur wangi  mengingatkan nama lain Sumba, yaitu Pulau Cendana yang termahsyur ratusan tahun lamanya. Saat gemuruh kaki kawanan kuda menggetarkan padang sabana seraya puluhan lembing melayang, nafas penonton terhenti sejenak, menanti arah dan sasaran ujung lembing yang melesat ganas namun lolos dari seorang penunggang kuda tak bernama, penonton pun riuh rendah melepas kelegaan dan ketegangan.

Untuk melengkapi sisi ekstrim keberanian Anda, bersiaplah di bulan Februari ke daerah Kodi atau Lamboya, dan bulan Maret di daerah Wanakoka. Kegilaan ini terjadi hanya ada di satu agenda, yaitu Festival Pasola, di Pulau Sumba, belahan timur di Nusa Tenggara.

Seorang Rato memilih hari yang penuh berkah untuk Pasola, sebuah kata yang berawal dari lembing yang dikenal sebagai ‘sola’ atau ‘hola’ dalam bahasa lokalnya. Namun setelah dibubuhi menjadi ‘pasola’, makna pun berubah menjadi ‘permainan’. Sungguh pun acap kali memakan korban, pasola tetap berpacu hingga kini di tanah Sumba sebagai permainan penawar duka; duka seorang leluhur atas hilangnya belahan jiwa.

Konon, seorang pemuka adat bernama Umbu Dulla dari Waiwuang, Sumba Barat, berkelana dengan dua pemuka adat lainnya, Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Meninggalkan istrinya Rabu Kaba untuk beberapa lama, Umbu Dulla dikabarkan tewas tenggelam di laut ganas. Kesedihan melanda Rabu Kaba, hingga suatu hari seorang pria bernama Teda Gaiparona dari Kodi, semenanjung barat Pulau Sumba, dapat mencairkan cinta Rabu Kaba yang lama membeku. Keduanya dilanda asmara dan berniat untuk menikah.

Sayangnya, pihak keluarga dari keduanya tak merestui. Maka Rabu Kaba dan Teda pergi untuk kawin lari. Hari berganti minggu hingga datanglah Umbu Dulla dengan dua kawannya dari perantauan, menggugurkan kabar burung kematian mereka. Kengerian warga tak sebanding dengan kesedihan Umbu Dulla yang dipaksa keadaan bahwa istrinya telah lari bersama Teda. Tapi Umbu Dulla tak murka walau permintaan agar Rabu Kaba kembali tak dihormati.

Tekanan batin Rabu Kaba yang jelita semakin memuncak, dihimpit cinta terhadap Teda  dan kisahnya sebagai istri Umbu Dulla yang tak berujung kepastian. Dilema ini akhirnya ditutup dengan permintaan Rabu Kaba kepada Teda untuk mengganti belis, persembahan keluarga Umbu Dulla dulu saat melamar. Menyanggupi belis yang harus diganti, Teda akhirnya direstui untuk menikah secara sah dengan Rabu Kaba, oleh masyarakat dan khususnya Umbu Dulla.

Untuk menghalau kesedihan, Umbu Dulla memerintahkan diadakannya pesta yang sekarang dikenal dengan Pasola, perayaan rasa sukur terhadap panen yang melimpah setelah melalui penangkapan nyale, cacing laut yang selalu mengundang ceria dan syukur pada masyarakat Nusa Tenggara. Pasola sejak hari itu menjadi tradisi dan sebuah agenda lanjutan dari pesta bau nyale, mencari cacing laut yang sebenarnya melambangkan pelipur lara kehilangan seorang kekasih hati Umbu Dulla, yaitu Rabu Kaba.

Pulau Sumba tak jauh dari Komodo, Flores, dan juga Timor Timur. Gunung  paling tinggi yaitu Wangameti (1.225 m) menyajikan kisah kayu cendana yang dihargai oleh para pedagang dan pemeluk agama berbeda. Umat Hindu dan Buddha dari negeri Cina dan Jepang memanfaatkannya untuk dupa yang wangi semerbak serta pengobatan pengganti antibiotik. Umat Islam menjadikan kayunya sebagai bulir tasbih yang menawan.

Seperti daratan di Australia dan bagian selatan Afrika, Pulau Sumba melukiskan warna-warna yang tak umum didapatkan saat ditangkap lensa kamera. Kepercayaan Marapu atau animisme kuno melengkapi budaya tradisi Pasola, yaitu dengan banyaknya persembahan hewan atau pun patung-patung batu atau penji yang jarang terlihat setelah masuk agama Kristen di pulau itu. Menginjakkan kaki di Sumba adalah cita-cita yang harus dilakukan selama Anda masih sempat berpetualang.