Setelah 30 menit berjalan dari area parkir laut pasir yang dikerumuni penyewa kuda, kawah nampak di depan mata. Sesaat terlupakan perjalanan menembus lautan pasir yang memberikan kesan khusus pada pengunjungnya. Seolah berjalan di salah satu gurun Afrika, langkah menghujam tumpukan pasir dan Anda bisa menikmati panorama indah Gunung Batok yang simetris dan kawah Bromo yang tandus.
Sebelum menaiki anak tangga, puluhan kuda menanti tamunya kembali. Di tepi jurang yang berpasir, pemandangan itu wajib dinikmati dalam keheningan. Angin terus berhembus, menyebarkan kehangatan dan sambutan dengan caranya sendiri. Saat ini, kacamata sudah semestinya dikenakan karena pasirnya yang halus mampu memejamkan mata setiap tamu tanpa ampun. Masker harus dikenakan. Nafas tak boleh dilumpuhkan deru pasir yang meniup.
Betapapun dekatnya seseorang dengan lubang kawah menganga, tak henti ratusan orang bertatap mata langsung dengan sang pemuntah debu dan awan panas. Sepertinya, semakin sering ia dikunjungi, semakin tenang hasratnya untuk bergemuruh. Semua orang takjub dibuatnya. Bromo begitu memesona.
Kembali ke peradaban harus melalui jalur yang sama. Lautan pasir terasa menyempit, seperti halnya setiap perjalanan pulang dari manapun yang terasa lebih singkat. Ada sebuah pura bertahan di tengah deburan ombak pasir. Pura ini dijadikan simbol umat Hindu untuk melakukan ruwatan di Bromo. Suku Tengger pun menghidupkan pura ini walau terlihat dingin tak ada kehidupan kecuali desiran pasir yang menutupi hampir seluruh permukaannya.
Semua hal yang terlihat, terasa, terdengar, dan tercium menjadikan lautan pasir Bromo sebagai salah satu keharusan saat mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Terlalu singkat atau bahkan sebuah kehampaan tanpa mengarungi luasnya lautan pasir ini. Berjalan di atasnya atau berkuda, tak ada masalah, asalkan Anda mencoba dan menyaksikan kehebatan alam yang dipersembahkannya.