Kita bukan akan bicara hijaunya kondisi Pulau Jawa 800 tahun dulu melainkan cukup 300 tahun yang lalu saat Gustaaf Willem van Imhoff, gubernur Hindia Belanda tahun 1745 mengutarakan bahwa Pulau Jawa saat itu masih diselimuti hutan belantara menghijau rimbun. Secara perlahan hingga akhir abad ke-19 hutan-hutan tersebut habis digerus cepat oleh hegemoni produk industri perkebunan seperti teh, karet, kina, kopi dan jati.
Akibat itulah kemudian orang di Pulau Jawa benar-benar telah kehilangan mayoritas hutan mereka. Abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18, hutan di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektare namun dengan cepat hingga akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa.
Terbinanya Jalan Anyer Panarukan yang menghubungkan pesisir utara Pulau Jawa memberi andil hilangnya tutupan hutan Pulau Jawa. Wilayah-wilayah yang dilalui jalur pos yang sejatinya untuk militer dan angkut hasil bumi itu mengubah wajah Pulau Jawa yang dulunya manusia air (sungai dan laut) menjadi manusia daratan karena jalan-jalan lebih banyak tercipta melahirkan desa-desa baru yang kemudian menjadi kota besar di masa depannya. Pintu-pintu rumah yang menghadap bibir sungai mulai tergantikan pintu-pintu yang menganga ke hadapan jalan raya.
Sebenarnya hingga akhir abad ke-19 hutan rimba masih menyisakan kisahnya. Percayakah Anda ada cerita bahwa awal abad ke-20 di beberapa tempat di Batavia (Jakarta) orang Belanda dan pribumi itu masih bahu-membahu memburu buaya besar di rawa dan sungai mereka. Pun terjadi di dataran tinggi Parahyangan (Bandung) orang Eropa ditemani orang lokal gemar berburu badak di padang ilalang luas, di rawa tengah hutan, atau di sekitar danau-danau yang tersisa. Badak di Bandung kini sudah punah tak bersisa kecuali patung badak putih di pelataran Balai Kota Bandung atau datanglah ke museum di Kebun Raya Bogor, di sana ada badak terakhir dari Bandung yang berhasil diawetkan. Badak penghuni hutan orang Sunda pun ikut punah belakangan di banyak hutan di Jawa Barat seperti di Hutan Cipatujah, Hutan Sancang, Hutan Cikepuh, dan Hutan Bojonglarang.
Sungguh ironi sebenarnya karena kita kehilangan bukan saja satu spesies hewan dengan dibabatnya hutan tetapi juga beragam jenis hewan yang hidup di dalamnya terancam punah karena tempat hidup dan lingkaran rantai makanan mereka terkoyak keseimbanganya. Kini, cerita itu hanya jadi endapan bawah sadar dan hanya menyisakan pola pikir hutan dari masyarakatnya.
Sekarang hutan di Jawa bagian barat hanya jadi tanda budaya dalam tingkah laku maupun tradisi lisan masyarakatnya. Coba Anda tengok apa yang meresapi cara berpikir orang pedesaan di Jawa bagian barat itu kebanyakan bukan cara berpikir orang kota tetapi pola pikir orang pedesaan itu adalah pola pikir hutan. Alam telah mengambil saham besar membentuk dan menyusun pola masyarakat pedesaan untuk menjaga hutan dan hidup berdampingan dengannya.
Apalagi desa tertutup seperti Badui di Banten atau Kampung Naga di Garut dimana hutan rimba telah menjadi bagian dari kehidupan kampung mereka yang jumlah warganya dibatasi. Hutan di Jawa bagian barat memang menjadi penyangga utama lingkungan. Hutan-hutan itu juga menjadi sumber cerita rakyat yang tercatat dalam dongeng, kepercayaan lokal, babasan, dan paribasa.
Dalam tradisi peladang Sunda ada pepatah “Mipit kudu amit, ngala kudu bebeja” yang artinya bahwa saat memetik itu harusnya yang perlu dipetik saja (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), mengambil pun harus memberitahu. Pepatah kearifan lokal ini bukan sekadar pesan moral melainkan bagaimana bersikap kepada alam. Ketika memanfaatkan alam, tanaman atau pun sumber dayanya maka harus memerhatikan keseimbangan ekologis dan keberlanjutan dan kelestariannya.
Masyarakat Sunda pun mengenal istilah hutan larangan yaitu hutan sakral yang bukan sembarangan untuk dijejaki apalagi dibabat untuk perkebunan. Bahkan, mereka dilarang berbicara dan bertingkah sembarangan di hutan larangan atau mendapat celaka nantinya. Di hutan larangan pula raja Padjadjaran itu ngahiang-lenyap dalam hutan rimba atau pun menjelma menjadi harimau putih yang magis.
Konsep hutan larangan dalam masyarakat sunda memberikan pesan bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya. Konsep hutan sebagai huluwotan (sumber mata air) dan tempatnya tinggal makhluk ghaib adalah strategi pencegahan dari nenek moyang agar orang sekarang tidak merusak alam.
Orang peladang Sunda itu sejatinya memang membudidayakan alam namun di saat bersamaan mereka menyisakan alam murni yang bertahan dengan caranya sendiri. Mereka mempertahankan hutan rimba seperti hutan larangan untuk aliran hidup jasmaniah dan rohaniah. Bila hutan larangan itu dibabat habis maka tidak ada manfaatnya sama sekali. Hujan tidak akan turun dan air jernih bagi kehidupan tidak akan mengalir. Apabila mereka membabat kayu di hutan larangan maka tidak pula membuat kaya malah alih-alih mendatangkan bencana.
Pola pikir hutan orang peladang Sunda secara murni adalah benteng pelindung alam, utamanya hutan. Kebanyakan orang peladang Sunda itu ‘tertutup’ dan diikat oleh hutan mereka. Hutan menjadi bagian dari hidupnya. Tritangtu orang Sunda menjabarkan bahwa mereka sebagai manusia itu terikat karena kesatuan organik dan kosmologik antara tempat hunian dan ladang dengan kuburan-patilasan leluhur dan hutan rimba di bukit-bukit. Pola pikir ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang masih ada di Bali dengan Tri Hita Karana.
Alam sejatinya perlu dihidupi dengan harmonis oleh manusia untuk kemaslahatan bersama. Alam akan memberi bagian terbaiknya bagi manusia bila diperlakukan seharusnya. Kini manusia modern itu tidak takut dengan berbagai pamali (larangan) dan akibatnya alam pun dirusak. Apa yang melindungi hutan yang tersisa di Jawa itu saat ini mungkin hanya nurani kita saja.