Regatta di Tepian Paling Barat Indonesia

 

Regatta di tepian barat Indonesia menggapai impian menempatkan Aceh dalam peta destinasi wisata bahari dunia serta mengembalikan citra Sabang sebagai destinasi yang indah sekaligus bersih, nyaman, dan ramah. Regatta berupaya menggantikan citra provinsi ini yang dulu terluka akibat konflik panjang dan bencana tsunami 2004. Membangkitkan kembali nama Sabang dimana sebelum Perang Dunia II adalah kota pelabuhan terpenting di kawasan ini dan lebih ramai daripada Temasek (Singapura).

Meski Nusantara merupakan wilayah kepulauan yang didominasi lautan tetapi barangkali hanya sedikit masyarakat memahami apa itu arti kata regatta. Sebuah ironi dari negeri yang dahulunya dikenal merajai lautan dan memiliki pelaut-pelaut handal. Masih ingatkah Anda dengan lirik lagu, ‘Nenek moyangku seorang pelaut’? Perahu sandeq saja sebenarnya sudah cukup membuktikan bagaimana kehandalan manusia bahari di Nusantara dulunya itu.

Dari asal katanya, ‘regatta’ dimungkinkan diambil dari bahasa Italia dengan dialek Vensian yang artinya rangkaian pertandingan perahu layar atau perahu dayung atau kadang juga gabungan keduanya. Seiring perkembangan zaman kini perahu modern seperti powerboat pun menjadi bagian dari regatta. Regatta bertujuan untuk kegiatan sosial ataupun promosi wisata dan sering kali melambungkan nama tempat diselenggarakannya. Regatta sudah menjadi hal umum bagi negara yang memiliki event wisata bahari.

Regatta kini memiliki daya tarik tinggi melebihi cerita masa lalunya. Warna putih perahu bertiang layar tinggi serta para pelayarnya yang tangguh berjiwa petualang adalah pemandangan menarik untuk disaksikan. Tidak hanya sepuluh dua puluh pelayar yang hadir, karena regatta juga dihitung dari jumlah orang dan jumlah hari yang mereka habiskan di sebuah tambatan.

Untuk pertama kalinya pulau paling barat sekaligus paling utara di Nusantara yaitu Sabang di Pulau Weh mendapatkan kehormatan menjadi destinasi event regatta. Regatta melombakan adu perahu layar dengan mengambil start dari Langkawi Malaysia, kemudian berlomba hingga finisnya di Pelabuhan Alam, Pulau Weh, Kota Sabang, Aceh. Ada pula peserta yang berangkat dari Phuket, Thailand.

Para pelayar dituntut memiliki persiapan yang matang dalam mengarungi laut yang terbentang luas. Bukan hanya kacakapan dan ketangkasan menghadapi gelombang tetapi juga pintar membaca angin, menentukan pergantian awak, serta keterampilan mengendalikan perahu agar selamat sampai di garis finis.

Setibanya di Sabang, pengarung lautan itu akan disambut pertujukan kesenian tradisional khas Aceh, jamuan makan malam, pameran foto dan kerajinan, serta acara tour mengunjungi obyek-obyek wisata bahari di sekitar Pulau Weh, termasuk Kilometer Nol. Pantai Gapang yang berlokasi di Laut Teluk Sabang menjadi lokasi dilombakannya coastal race dan sailing pass. Peserta regatta juga akan diajak tur berkeliling kota Banda Aceh dan menikmati budayanya.

Keindahan alam Sabang dan kekayaan budaya Aceh begitu memikat dan sangat potensial untuk pengembangan pariwisata. Sabang memiliki pasir yang putih dan pulau-pulau tak tersentuh eksploitasi berlebih. Provinsi Aceh sangat bangga menjadi tuan rumah regatta pertama di Sumatera. Di Pulau Weh yang terbesar di Sabang nantinya para pelayar akan diajak berpetualang-berwisata bahari, menapakkan kaki di Monumen Kilometer Nol, menikmati keindahan bawah laut Pantai Iboih, Pulau Kiah, Seulako, dan Pulau Rubiah.Di tepian paling barat Indonesia, pelayar regatta diundang untuk mengudap kenikmatan bersantai di Pulau Weh dan Kota Sabang.

Selain dengan regatta, Pemerintah Indonesia terus mempromosikan potensi wisata baharinya yang meliputi 5,8 juta meter persegi. Ada berbagai destinasi bahari dari perairan timur ke barat Indonesia seperti Wakatobi, Taman Nasional Komodo, Lombok, Bali, dan Karimunjawa.