Mahkota siger adalah mahkota yang dikenakan pengantin perempuan Lampung. Mirip dengan yang ada di tanah Minang dimana disebut dengan nama suntiang. Perbedaanya pada siger memiliki jumlah tanduk atau pucuk kecil sebanyak 7 buah.
Menurut foklor setempat bahwa 7 pucuk di mahkotanya berasal dari 7 gunung di Lampung yang menjadi tempat asal usul leluhur atau nenek moyang masyarakat Lampung. Lokasi awal itu yang membuat masyarakatnya membentuk kelompok masing-masing.
Ada pula yang mengasumsikan asal usul mahkota siger dikaitkan dengan Balaputra Dewa, Raja Sekala yang disebut Selopun yaitu sebuah daerah di Lampung yang menjadi rumah situs Batu Brak bekas pemukiman dari batu. Balaputra Dewa membuat siger sebagai miniatur Borobudur untuk istrinya Pramodya Wardhani, putri Samaratungga. Belum pasti apakah ini juga terkait dengan mahkota Kerajaan Sekala yang dipakai Pramodya Wardani istri sang raja tetapi hikayat dan refleksinya sungguh luar biasa.
Meski ada pendapat yang berbeda tentang asal usul simbolis dari siger tetapi tetap jelasnya mahkota ini dijadikan kebanggaan masyarakat Lampung dan disematkan di setiap sudut kota. Siger adalah simbol kedudukan sekaligus visi masyarakatnya dimana dalam sejarahnya termahsyur sebagai penghasil lada hitam.
Siger tidak merepresentasikan sistem kekeluargaan masyarakat Lampung karena bukan matrilineal tetapi patrilineal. Siger dipilih seolah Lampung lebih bernuansa feminine ketimbang daerah-daerah lain yang mengusung sifat maskulin dengan alat perang atau senjata tradisional sebagai simbol kebanggaannya.
Diyakini bahwa sifat seorang wanita dengan mahkota siger lebih diutamakan dalam memimpin masyarakat dan bergaul dengan tetamu. Rasa sayang,menghormati, mengayomi, dan mendidik adalah nilai-nilai dari feminisme yang direfleksikan dalam kehidupan masyarakat Lampung.
Menara Siger
Bila Jakarta memiliki Monas, Bandung memilik Gedung Sate, atau Bali memiliki Garuda Wisnu Kencana, maka Lampung menyambut tamunya dengan Menara Siger di Bukit Bakaheuni. Saat menginjakkan kaki di bumi lada hitam, Lampung, dari kapal feri di Bakaheuni maka Anda akan melihat Menara Siger.
Banyak pelancong di negeri ini menyematkan predikat titik nol jalur lintas Sumatera kepada Monumen Siger. Pada kenyataannya, jalur lintas Sumatera atau trans Sumatera memang berakhir atau berawal tepat di bawah kaki bukit Bakaheuni di mana Monumen ini menerawang jauh ke cakrawala Selat Sunda dan bumi Lampung dari atasnya.
Di puncak tanduk bagian tengah Menara Siger, terdapat payung berundak tiga berwarna putih, kuning, dan merah yang melambangkan tatanan kemasyarakatan Lampung. Di dalam bangunan yang menopang mahkota raksasa ini, terdapat prasasti Kayu Are sebagai simbol pohon kehidupan masyarakat Lampung.
Menara Siger digagas oleh Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, dengan bantuan arsitek, Ir. Anshori Djausal MT. Bangunan dengan bentuk siger berwarna kuning keemasan ini menjulang tinggi sekitar 32 meter di atas bukit gamping yang menjulang 110 di atas permukaan laut. Proyek pembangunan ini memerlukan dana sekitar Rp 7 miliar, walau informasi lain menyebutkan Rp 15 miliar.
Dengan teknik pembangunan menggunakan sistem ferrocement, bangunan ini diyakini tahan terpaan angin dan guncangan gempa. Pengembangan mahkota siger tidak menggunakan semen curah cor, untuk mengurangi beban, namun dengan jaringan kawat menyerupai jaring laba-laba yang akan tetap kuat sebagai struktur bangunan.
Sempatkanlah berdiri di hadapan mahkota ini dan yakinkan Anda memahami falsafah tatanan masyarakat Lampung yang diantaranya terbuka hati menerima tamu (nemui nyimah) dan suka berkenalan serta pandai bergaul (nengah nyappur). Bahasa daerah Lampung ini berasal dari bahasa perpaduan Sansekerta, Arab, dan Melayu dengan menggunakan turunan huruf pallawa yang disebut huruf kaganga. Menara Siger adalah lambang perpaduan teknologi, budaya, dan juga kepariwisataan Provinsi Lampung.