Angin berderu di hadapan Laut Sawu yang selalu dilalui paus sperma (Physeter macrocephalus). Para pemburu paus mengepulkan asap rokok dari mulutnya lalu segera hilang diterpa angin. Kotoklema, paus sperma, tak lama akan menjadi objek keramaian bagi masyarakat Desa Lamalera, Pulau Lembata atau Pulau Lomblen, juga turis asing yang sabar menanti berhari-hari.
Seorang Peneliti Universitas Oxford, R.H. Barnes menuliskan penelitiannya dalam sebuah buku laris, Sea Hunters of Indonesia: Fisher and Weavers of Lamalera (1996). Lamalera berasal dari bahasa lokal yang berarti ‘cakram matahari’.
Desa Lamalera yang bersuku Lamaholot dibina di antara bukit batu dan cadas Kabupaten Pulau Lembata yang menganga ke Laut Sawu di hadapannya. Seorang lamafa, juru tikam yang memimpin kawanan matros atau pendayung, siap memberi aba-aba meluncurkan peledang, perahu penangkap paus yang khusus dibuat. Para nelayan dan turis menunggu seseorang menyerukan baleo! Baleo! Itulah pertanda ikan paus muncul di permukaan di antara bulan-bulan penangkapan, yiatu Mei dan Oktober.
Kebiasaan memburu paus sudah dimulai sejak abad ke-17 atau mungkin ke-16. Catatan Portugis menyebutkan adanya masyarakat di Lembata yang mencari paus dengan cara tradisional. Di Lamalera ada 15 klan keluarga dengan tradisi ini, lengkap dengan rumah adat, rumah perahu atau najeng, dan tale leo atau tali penangkap paus.
Ikan Paus Sperma adalah buruan satu-satunya yang dijalankan masyarakat Lamalera Atas ataupun Lamalera Bawah. Ikan paus biru (Balaenoptera musculus) pun sering berlalu di hadapan mereka sebagai mamalia air terbesar yang ada (cetacean). Namun paus itu tak pernah diburu, karena selain untuk menjaga kelestarian satwa laut besar ini, tradisi menyebutkan bahwa Lamalera dan Lembata pada umumnya pernah diselamatkan paus biru dulu kala.
Pantangan lain bagi mereka selain membunuh ikan paus biru, ialah membunuh paus sperma betina yang sedang hamil, anak paus, dan paus yang sedang dalam suasana kawin. Kepekaan terhadap kondisi ini hanya dapat diturunkan oleh klan-klan yang ada di Lamalera. Sayang, sekarang pantangan ini terkadang diabaikan.
Secara tradisi, ikan paus yang didapatkan dikonsumsi untuk masyarakat desa dan tidak melebihi dari kebutuhan hidup secara keseluruhan secara sosial. Terkadang jumlah paus yang ditangkap berfluktuasi sesuai ketersediaan dan keperluan masyarakatnya. Kadang setahun hanya ada 4 paus, dan kadang dapat mencapai 56 paus, jumlah tertinggi yang diraih pada tahun 1969. Seorang ahli biologi kelautan menyebutkan bahwa fluktuasi tergantung dari pola meteorologis dan pola populasi paus tersebut.
Kebiasaan kotoklema yang digelar hanya antara Mei dan Oktober dikhawatirkan akan sirna oleh gerusan modernisasi dan juga celah yang timbul dari upaya konservasi dan pendekatan adat di sana. Tahun 2009, pemburuan kotoklema dicetuskan menjadi sebuah festival agar tradisi ini dapat bertahan. Festival Baleo akhirnya dikenal dari tahun ke tahun.
Saat festival, pakaian adat dikenakan. Tambangnya asli terbuat dari daun sawu, dan di awal Mei, sebuah lefa, upacara adat yang juga disebut iyegerek, dilaksanakan sebagai pembukaan baleo. Satu peledang diisi oleh 7 orang matros, dan seorang lamafa atau balafaing, sang penghujam harpoon tangan yang tajam yang disebut secara tradisonal sebagai tempuling.
Pemburuan dapat memakan waktu berjam-jam. Saat paus nampak, matros akan mengayuh dayung kea rah paus sasaran. Lamafa segera menghujamkan tempuling ke jantung sang paus, tiga hingga empat kali sampai paus letih kehabisan darah. Hujaman pertama dapat sangat berbahaya bagi seluruh awak, karena paus akan menerjang, bergeliat kesakitan dan menghancurkan segala yang ada di dekatnya.
Tak heran festival ini begitu sangat berharga bagi wisatawan, selain menangkap nyale, cacing laut, melihat pasola yang juga melibatkan lembing, dan terkadang darah. Nusa Tenggara Timur memang kaya akan budaya tereksotis di negeri Indonesia, termasuk tarian yang juga mengundang decak kagum para insan perfilman seperti Tari Caci yang gagah berani.
Kuliner
Temukan jagung titi di Desa Waienga, Kabupaten Lembata sebagai sebuah kuliner khas sekaligus pangan dari kearifan lokal. Anda dapat melihat penduduk setempat meniti jagung yaitu menumbuk butiran jagung menjadi pipih seperti kripik. Sebuah keterampilan yang diturunkan turun-temurun dan menggunakan peralatan yang sangat sederhana berupa periuk tanah kecil untuk menyangrai butiran jagung, batu ceper sebagai landasan untuk meniti dan batu berbentuk lonjong yang berfungsi sebagai penumbuk (titi).
Bahan jagung titi ini diambil dari hasil panen masyarakatnya, biasanya yang paling enak berasal dari Jagung Pulut, sedangkan agar proses menitinya lebih mudah, digunakan jagung yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Untuk membuat jagung titi biasanya dilakukan pada subuh sampai menjelang pagi. Proses pembuatannya dimulai dengan butiran-butiran jagung pipilan disangrai di dalam periuk tanah. Cukup menggunakan kayu bakar yang sedikit saja, agar jagung tidak cepat gosong. Setelah berwarna agak kekuningan atau sekitar 3 menit disangrai. Bila periuk tanah tadi terdengar berbunyi “kletek-kletek-kletek” maka itu tandanya jagung sudah siap untuk dititi. Sejumlah 4 butir jagung diambil langsung dari periuk dengan menggunakan tangan tanpa alas, lalu diletakkan di atas batu landasan. Butiran jagung tadi ditumbuk (dititi) menggunakan batu lonjong seberat lebih kurang 2 kg. Diperlukan ketepatan waktu antara meletakkan butiran jagung dan menarik telapak tangan agar tidak terpukul. Dengan sekali titi saja maka sudah jadilah jagung titi.
Jagung titi lebih nikmat disantap dengan lawar, sejenis pangan yang berbahan utama ikan-ikan kecil sejenis ikan teri segar yang direndam beberapa menit di dalam cuka yang telah ditambahkan dengan cabe dan bawang. Dengan sendirinya ikan-ikan kecil ini akan melunak dan menjadi setengah matang, mirip dengan salah satu jenis makanan Jepang.
Masyarakat Desa Waienga umumnya melakukan kebiasaan membuat jagung titi untuk konsumsi dan sebagian lagi untuk dijual. Untuk keperluan konsumsi, masyarakat meniti jagung bila dianggap persediaan sudah habis, selain itu masyarakat Desa Waienga juga akan meniti bilamana ada pesanan. Untuk dijual dengan pola pemasaran yang dilakukan masih sangat sederhana. Biasanya jagung titi dijual kepada pemesan di sekitar desa atau di pasar lokal setempat. Umumnya masih dalam jumlah yang terbatas, 3 mangkuk plastik dihargai Rp10.000,00.
Kunjungilah Desa Waienga dan cicipi jagung titi untuk melestarikan dan mengapresiasi pangan dan kearifan lokal ditengah-tengah gencarnya promosi makanan siap saji.
Tips:
Selain Lamalera, Desa Lamakera di Pulau Solor bagian timur pun memiliki tradisi memburu ikan paus dan ikan yang lebih beragam jenisnya. Di Desa Lamalera, mayoritas beragama Kristen walau tradisi adat masih sangat kuat diterapkan. Di Desa Lamakerta, mayoritas penduduknya berdagang dan menganut agama Islam.
Transportasi
Pulau Lembata yang menjadi kabupaten tersendiri terletak 190 kilometer di sebelah utara Kupang, Ibukota Nusa Tenggara Timur. Kota terbesar di Pulau Lembata ialah Lewoleba di bagian selatan pulau yang merupakan ibu kota Kabupaten Lembata.
Karena terpisah secara geografis, menuju Lewoleba hanya dapat ditempuh melalui udara dengan Bandar Udara Wonopito atau dengan melalui laut. Penerbangan menuju Maumere menjadi penerbangan terakhir sebelum dilanjutkan oleh perjalanan laut di Larantuka. Jadi Anda harus menuju Larantuka dari Maumere dengan menggunakan bus kota.
Dari Larantuka Flores, kapal laut berlayar setiap hari ke Lewoleba, atau ada pula yang berlayar langsung ke Lamalera seminggu sekali.