Pangeran Jayakarta dan Perlawanannya pada VOC

Siapa sebenarnya Pangeran Jayakarta? Adakah cerita di balik sosoknya yang lekat dengan nama Jakarta? Bagaimana pula perjuangannya saat menghadapi VOC?

Pangeran Jayakarta atau nama lainnya Pangeran Akhmad Jakerta adalah putra dari Pangeran Sungerasa Jayawikarta yang berasal dari Kesultanan Banten. Sumber sejarah lain menyebutkan bahwa ia adalah putra dari Ratu Bagus Angke atau Pangeran Hasanuddin, yaitu menantu Fatahillah.

Pangeran Jayakarta mewarisi kekuasaan atas pelabuhan ini dari dari Fatahillah yang berhasil merebutnya pada Februari 1527 dari Kerajaan Pajajaran yang bersekutu dengan Portugis. Fatahillah kemudian mengganti namanya dari Sunda Kelapa menjadi Jayakerta atau Jayakarta. Nama itulah yang perlahan berubah menjadi Jakerta atau Jakarta pada 22 Juni 1527 dan sekarang dijadikan sebagai hari jadi Kota Jakarta. Pangeran Jayakarta menjadi penguasa kota Pelabuhan Jayakarta sekaligus wakil Kesultanan Banten.

Pangeran Jayakarta memimpin pelabuhan ini sebagai bandar yang ramai disinggahi kapal dagang Eropa dan Asia saat itu. Di saat yang sama sebuah perusahaan dagang asal Belanda, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) secara perlahan ingin menguasainya. VOC sendiri sebelumnya sudah menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara yang berpusat di Maluku.

VOC kemudian membeli tanah seluas 1,5 hektar di sisi timur muara Kali Ciliwung. Catatan sejarah pada November 1610 menjelaskan bahwa Kapten Jacques L’Hermite membayar sebesar 2.700 florin atau 1.200 real kepada Pangeran Jayakarta. Inilah pertama kali VOC berhasil membangun sebuah gudang permanen pertamanya yang terbuat dari kayu dan batu dan diberi nama Nassau Huis. Bukan hanya Belanda yang tertarik dengan pelabuhan ini, Inggris pun saat itu mendirikan benteng di sisi barat muara Kali Ciliwung.

Di tanah yang luasnya tidak seberapa itu kemudian VOC memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan perselisihan dengan Pangeran Jayakarta. Bahkan, saat VOC dipimpin Jan Pieterzoon Coen, kemudian dibangun gedung kembaran Nassau Huis yang bernama Mauritius Huis. Di antara kedua gedung tersebut kemudian dibangun tembok berbentuk benteng segi empat dengan tinggi sekira 6 meter dilengkapi meriam di setiap sudutnya. Konflik pun semakin meruncing dari persaingan dagang ke perebutan pelabuhan strategis perdagangan. Pecahlah perang pertama di sini dimana pasukan Pangeran Jayakarta yang dibantu Kesultanan Banten berhasil mengalahkan VOC. Jan Pieterszoon Coen dan pasukan VOC kemudian mundur sejenak ke Ambon untuk mempersiapkan serangan balik dengan jumlah pasukan yang lebih besar.

Konflik dalam waktu yang sama bukan saja dengan VOC, nyatanya di kawasan ini juga pecah perang antara Kesultanan Banten dengan Inggris. Pasukan Inggris berhasil diusir dari Jayakarta. Akan tetapi, baru saja perang usai, tiba-tiba pasukan VOC kembali ke sini dengan pasukan lebih besar dari Ambon. Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan dengan misi balas dendam bersemboyankan “Despereet Niet” atau “Jangan Putus Asa”.  Kesultanan Banten dan Pasukan Jayakarta yang baru saja berperang dengan Inggris mengalami kelelahan sehingga berhasil dipukul mundur dari pelabuhan ini ke arah tenggara.

Dengan kemenangan tersebut, VOC kemudian menguasai hampir seluruh kawasan Pelabuhan Jayakarta (Sunda Kelapa). VOC membumihanguskan kawasan ini beserta seluruh isinya termasuk Keraton Jayakarta. Sejarah mencatat pada 12 Maret 1619, Jan Pieterszoon Coen kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta) dan membangun kota baru yang dikelilingi benteng dengan nama Batavia tepat di atas reruntuhan Jayakarta.

VOC membangun sebuah kota berbudaya Eropa yang mirip seperti Kota Amsterdam di Belanda. VOC juga melakukan pengusiran terhadap orang-orang Banten, Cirebon dan Demak dari wilayah sekitar kota. Perlahan tapi pasti dari sinilah kemudian VOC menguasai seluruh Nusantara dengan benteng-benteng baru yang melindunginya di Kepulauan Seribu. (Baca juga artikel: Jejak Sejarah VOC dan Hindia Belanda yang Menggetarkan Hati di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu)

Mundurnya pasukan Pangeran Jayakarta ke arah tenggara Jayakarta bukan berarti selesai peperangan. Ketika diajak berdamai oleh VOC pun ia menolak, bahkan bersama pasukannya justru gencar menyerang pelabuhan ini dari berbagai sisi. Perang 9 tahun itu menyisakan beberapa cerita heroik dari keturunan Pangeran Jayakarta dan pasukannya. Salah satunya adalah saat Panglima Perang Syekh Badar Alwi Alidrus terdesak di daerah Mangga Dua kemudian ditangkap dan dikuliti tentara VOC atas perintah Jan Pieterszoon Coen. Pangeran Jayakarta  juga terdesak di daerah ini namun berhasil meloloskan diri dengan melepas jubah dan sorbannya yang dibuang ke sebuah sumur dan pasukan VOC mengiranya tewas. Mereka kemudian menghentikan pengejaran dan menimbun sumur dengan tanah. Sumur yang berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta tersebut dikenal sebagai Keramat Pangeran Jayakarta.

Pangeran Jayakarta memutuskan untuk mundur ke selatan bersama pasukannya hingga tiba di hutan jati sekitar tepian Kali Sunter. Sejak tahun 1619 daerah tersebut dikenal sebagai Jatinegara Kaum. Kata jati bermakna setia dan kata negara bermakna pemerintahan, makna jatinegara diartikan sebagai pemerintahan yang sejati. Dengan nama ini, Pangeran Jayakarta berusaha membuktikan bahwa pemerintahannya masih berjalan meskipun Jayakarta telah direbut oleh Belanda dan diubah menjadi Batavia. Dari sini juga Pangeran Jayakarta dan pengikutnya bergerilya sehingga membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun.

Pangeran Jayakarta juga membangun sebuah masjid di Kali Sunter tahun 1620 untuk menggalang kekuatannya kembali. Masjid tersebut dinamai Masjid As-Salafiyah (bermakna tertua). Masyarakat sekitar sempat menyebutnya sebagai Masjid Pangeran Jayakarta. Di masjid inilah para pengikut setia Pangeran Jayakarta baik itu ulama, tokoh masyarakat, maupun jawara sering berkumpul untuk menyusun strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus melakukan dakwah Islam.

Tahun 1940 Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan dekat Masjid As-Salafiah (kawasan Jatinegera Kaum, Jakarta Timur) bersama keluarga dan pengikutnya. Menurut cerita bahwa makam terakhir bangsawan Banten itu pernah dirahasiakan keberadaannya hingga tiga abad. Makam Pangeran Jayakarta baru diumumkan tahun 1965 bertepatan dengan HUT DKI ke-429, pada masa Gubernur Henk Ngantung.

Makam Pangeran Jayakarta sempat dipugar beberapa kali, yaitu pertama kali tahun 1700 oleh Pangeran Sageri. Pemugaran kedua tahun 1842 oleh Aria Tubagus Kosim. Pemugaran ketiga tahun 1969 oleh Gubernur DKI H. Ali Sadikin, dimana dibangun dua lantai dengan menara baru. Pemugaran keempat tahun 1992 oleh Gubernur DKI H. Suryadi Soedirdja. Kini Makam Pangeran Jayakarta banyak diziarahi pengunjung terutama bulan Juni menjelang Hari Ulang Tahun Kota Jakarta.

Apabila Anda ingin menyusuri kisah Pangeran Jayakarta dan VOC maka sambangi juga Jalan Pangeran Jayakarta. Di kawasan ini ada beberapa jejak VOC dimana pada abad ke-17 jalanan tersebut merupakan kawasan elit. Salah satu Gubernur Jenderal Belanda, yaitu Van den Parra pernah mendirikan rumah peristirahatan megah di sini.

Di Jalan Pangeran Jayakarta dapat Anda temukan juga Masjid Mangga Dua yang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Jakarta Kota. Masjid ini dibangun tahun 18S7 oleh Sayyid Abubakar Bin Sayyid Aluwi Bahsan Jamalullail, yaitu keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad Saww yang menikah dengan putrinya Fatimah Azzahra). Sayyid Abubakar Bin Sayyid Ali Bin Abi Thalib dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam di kawasan ini. Masjid yang berusia ratusan tahun tersebut tidak banyak berubah hanya perbaikan di sana sini dan perawatan secara berkala. Di masjid ini dapat Anda temukan makam Sayyid Abubakar Bin Sayyid Ali Bin Abi Thalib dan enam sahabatnya yang sering diziarahi pengunjung. Ada pula beberapa makam ulama dari Hadramaut, makam Sultan Bone, dan para habib dari keluarga Jamalullail.