Gurindam Dahulu dan Kini

“Sastra Indonesia itu bukan puisi tapi pantun, gurindam, talibun dan karmina…,” ujar Ibramsyah Bambari, seorang penulis gurindam.

Puisi adalah budaya barat. Puisi lebih diminati di kalangan sastra modern karena lebih ekspresif dan karakternya dapat mewakili perkembangan zaman. Berbeda dengan pantun dan gurindam yang terikat dengan larik, isi, atau rima sehingga terasa lebih konservatif.

“Tapi itulah bedanya kita (orang Timur), lebih disiplin, membuat karya sastra saja butuh aturan,” tambahnya.

Keberadaan gurindam erat dengan peralihan sastra lisan ke sastra tulisan. Saat berada di Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, Anda akan dibekali pengetahuan tentang bagaimana gurindam lahir dan seperti apa isinya.

Raja Ali Haji, anak dari Raja Kesultanan Riau Lingga yang pertama, adalah orang pertama yang menuliskan gurindam. Ini sekaligus menjadikan Pulau Penyengat berperan besar dalam rekonfugirasi seni dan konstruksi identitas gurindam.

Abad ke-19 merupakan masa keemasan penyalinan naskah Melayu. Ketika itu Pulau Penyengat dijadikan pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan Melayu. Kegiatan menulis dan mengarang dilakukan di Istana Pulau Penyengat oleh kerabat istana, termasuk oleh Raja Ali Haji.

Di dalam Kompleks Makam Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas yang ia tulis dipatenkan di atas tembok. Gurindam tersebut terdiri dari dua pasal, pasal yang pertama bunyinya seperti ini:

Barangsiapa tiada memegang agama

Sekali-kali tidak boleh dibilangkan nama

Barangsiapa mengenal yang empat

Maka ia itulah orang yang ma’rifat

Barangsiapa mengenal Allah

Subuh dan tegahnya tiada ia menyalah

Barangsiapa mengenal diri

Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Barangsiapa mengenal dunia

Tahulah ia barang yang terpedaya

Barangsiapa mengenal akhirat

Tahulah ia dunia mudharat

Gurindam tidak anonim atau bersifat folklor, nama pengarangnya diketahui dan terus dibawa bersama karyanya. Hasil penulisan Raja Ali Haji di atas memperlihatkan bahwa gurindam memuat petuah dan nasehat. Oleh orang Melayu Banjar, gurindam kerap kali dinyanyikan untuk menidurkan anak. Agar kelak, petuah tauhid yang berada di dalamnya dapat diserap oleh anak.

Gurindam sempat dipelajari di dalam kurikulum sekolah namun tidak mendalam. Gurindam dekat dengan budaya Melayu dan agama Islam karena dasarnya sendiri adalah kitab suci Al-Qur’an. Isinya tidak main-main sehingga anak muda, atau orang dengan pengalaman hidup yang belum cukup, tidak akan kredibilitas untuk menulisnya. Sangat berbeda dengan karakter pantun, gurindam tidak boleh bersifat jenaka atau memuat seputar romansa.

Inilah yang membuat gurindam kerap diklaim tidak bisa menyesuaikan perkembangan zaman. Gurindam dianggap tidak cocok merefleksikan tema-tema masa kini, seperti teknologi, politik dan perubahan-perubahan sosial yang ada.

“Maka inilah yang coba saya angkat dalam buku 1001 Gurindam. Gurindam saya tidak seperti Raja Ali Haji, saya coba menulis tentang anggota dewan, kepala daerah, sekolah, RT dan masih banyak lagi,” lanjut Ibramsyah.

Salah satu gurindam hasil karya Ibramsyah Bambari diberi judul “NKRI” dan menceritakan tentang kondisi Indonesia saat ini. Berikut ini cuplikan isinya:

Hendaklah NKRI harga mati

Agar tak ada tawar menawar lagi

Hendaklah NKRI tekad bangsa

Mutlaklah dipelihara keutuhannya

Hendaklah NKRI sebagai kekuatan

Agarlah tangguh menghadapi ancaman

Bilamana NKRI goyah sudah

Niscayalah infiltrasi asing akan mudah.

Dalam buku 1001 Gurindam yang diterbitkan pada 2015, Ibramsyah Bambari ingin mematahkan asumsi bahwa gurindam tidak bisa merangkap berbagai tema, asalkan sesuai dengan pakem-pakem yang ada. Seperti yang Raja Ali Haji pesankan, menulis gurindam haruslah pendek, singkat, padat dan berisi. Jika gurindam terlalu panjang maka konteksnya akan lebih banyak dusta.

Gurindam dahulu dan yang kini tetap dilagukan. Hal ini bukanlah kewajiban, melainkan sebuah aksesoris untuk menikmati karya gurindam dan membuat pendengar lebih tertarik menyerap isinya. Melagukan gurindam berelasi kuat dengan zaman peralihan sastra lisan ke tulisan. Saat belum semua orang dapat menulis maka mereka cukup mendendangkan. Karakter lagu-lagu yang memuat guridam pun sangat khas dengan gaya melayu yang mendayu-dayu, sabar dan penuh rasa.

Saat ini dendangan gurindam juga sudah dimodifikasi. Salah satu kelompok musisi rap asal Jogjakarta, Jogja Hiphop Foundation bersama dengan Soimah Pancawati, bahkan melagukan gurindam dua belas Raja Ali Haji dengan cara yang unik. Dengan latar musik Melayu yang diberi sentuhan hiphop, mereka mendendangkan gurindam mendayu-dayu hingga masuk ke dalam tempo rap. Apa yang mereka sajikan tentunya menguatkan fakta bahwa gurindam pun dinamis dari segi isi hingga aksesoris.