Menikmati Air Terjun Curug Karang Joho di Semarang

Di tengah suasana perkotaan, Semarang menyimpan pesona keindahan alam yang eksotis. Berada di RT 4 RW 4 Desa Karang Joho, Kelurahan Gondoriyo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, terdapat sebuah curug atau air tejun yang belakangan ini heboh di jagad media sosial.
Namanya: Curug Karang Joho. Kini sedang nge-hits setelah ramai dikunjungi masyarakat. Memiliki ketinggian 20 meter, seakan menjadi oase tersendiri bagi warga perkotaan yang menginginkan suasana gemercik air dan suasana pedesaan. 
Sebetulnya, lokasi curug tersebut tidak jauh dari perkampungan. Namun cukup tersembunyi karena terletak di cekungan bukit dan tertutup rimbun pepohonan. Untuk menuju lokasi, dari Semarang menuju arah Lapas Kedungpane lalu masuk jalan arah Gondoriyo sampai jembatan Sungai Gondoriyo. Dari situ melewati gang Kampung Gondoriyo RT 4 RW 4 yang merupakan gang buntu berbatasan dengan tebing berbukit.
Pemkot Semarang juga sudah memperlebar jalan akses utama menuju curug sehingga kendaraan roda empat pun sampai lokasi. Ketua RW 4 Kelurahan Gondoriyo, Ali Ihsan menyampaikan  sebetulnya warga setempat sudah lama mengetahui curug ini. Hanya saja belum terbesit akan potensinya sebagai obyek wisata. 
“Warga setiap hari melintasi jalanan curug, bahkan memanfaatkan air curug untuk memandikan kerbau. Tapi warga menganggap ini aliran air sungai biasa,” katanya.
Dia juga baru sadar ada informasi viral di media sosial telah mengangkat pamor Curug Karang Joho. Sehingga sekarang menjadi obyek wisata yang ramai. Sabtu- Minggu pengunjung mencapai 300-400 orang. “Ada yang selfie, duduk-duduk menikmati alam, bahkan anak-anak juga mandi di bawah aliran curug yang curam,” katanya.
Dia mengatakan aliran sungai dijamin aman karena sungai Gondoriyo yang merupakan daerah aliran sungai (DAS) dari beberapa sungai kecil yang berada di daerah Bukit Semarang Baru (BSB).
“Kami bersama komunitas DAS sudah susur aliran sungai, dan aman dari hulu, jadi pengunjung tak usah khawatir, jika hujan hanya air yang tampak keruh,” katanya. 
Selain menikmati aliran air curug, pengunjung bisa santai duduk di bebatuan besar sungai. Warga sekitar juga telah membuka akses jalan menuju curug dengan tangga bambu dan penataan jalan karena menuju lokasi jalanan sedikit curam. 
“Karena ini tanah beberapa warga, kami telah rembugan untuk adanya pembebasan tanah. Karena setelah dikaji dari Kelompok Sadar Wisata, disini bisa dikembangkan menjadi beberapa atraksi seperti rafting, outbond, flying fox dan water boom,” ujarnya.
Curug Joho juga dilengkapi dengan eksotisme berupa gua kuno. Konon di dalam gua terdapat arca-arca. Dimana jaman dahulu difungsikan sebagai tempat berlindung saat peperangan. Gua tersebut juga diyakini warga memiliki kekuatan gaib sebagai pintu menembus ke daerah Kaliwungu Kendal. 
“Gua dalamnya 4 meter, ada patung arca meski sudah rusak, diatas gua ada aliran air sebagai aliran irigasi dimana disambung dengan kayu jati kuno dengan penanda batu besar diatas bukit,” terangnya.
Dia juga menyebut  keberadaan kayu jati itu sebagai talang pengambung air yang sudah ada sejak lama. “Bahkan orang tua saya juga tak tahu ceritanya karena memang sudah ada sejak nenek moyang,” katanya. 
Dia bersama warga tiga kelurahan yakni Gondoriyo, Wates, dan Beringin kini tengah mengkonsep sebuah destinasi wisata alam-budaya. Dimana di tiap tahunnya sudah ada atraksi gelar budaya berupa resik-resik selokan irigasi sawah.
“Kedepan akan kami buat semacam kirab budaya, ada ceritanya, dan ini sebenarnya sudah turun temurun dilakukan tiap tahun, hanya saja akan kita konsep yang lebih bagus dan menarik,” tukasnya.
Seorang pengunjung Artika Mayang (18), mengaku surprise dengan adanya Curug Karang Joho yang berada masih disekitaran perkotaan. Informasi dia dapat dari media sosial Instagram dan Facebook.
“Lokasinya gampang dituju, ini bagus untuk wisata perkotaan, tempatnya unik karena menyimpan potensi wisara yang besar dan bisa dikembangkan,” katanya. 
Menpar Arief Yahya mengingatkan, sebagai destinasi yang baru dikenal, sebaiknya dijaga bersama. Jangan sampai ruaak, jika perlu diperbaiki fasilitas publiknya. “Semakin dilestarikan, semakin menaejahterakan,” jelas Arief Yahya.