Tari Kejei: Tarian Sakral dari Rejang Lebong

Setiap musim panen tiba, pria dan wanita Rejang akan berkumpul membawakan tari kejei. Penari harus berpasangan dan berjumlah ganjil misalnya 5, 7, atau 9 pasang. Mereka menggerakan tubuh di tengah-tengah penerangan lampu malam hari. Tarian kejei merupakan tarian yang paling terkenal di Rejang Lebong sekaligus dianggap tarian sakral namun demikian tarian ini gerakan sederhana sehingga mudah untuk dipelajari.

Keberadaan kejei sudah terlihat di Bengkulu sejak 1468 dan mulanya bernama ta’ei jang. Diperkirakan dibawa oleh seorang pedagang bersama Hassanuddin Al-Pasee. Hingga kini, tari kejei menjadi satu-satunya tarian bengkulu dari tanah rejang dan kerap ditarikan saat perhelatan besar keluarga seperti pernikahan, penyambutan tamu agung, khitanan, atau saat panen raya.

Alat musik pengiring utamanya adalah satu buah gong, 5 buah kulintang dan satu buah redap. Dahulu, alat musik yang digunakan terbuat dari bambu sebagai kulintang, bambung betung sebagai gong, kulit binatang sebagai redap atau alat musik pukul, sementara ada bambu khusus yang didesain sebagai serdam atau alat musik tiup. Akan tetapi, sejak para biku dari Majapahit datang, semua alat musik tradisional itu digantikan dengan alat musik dari logam.

Proses membawakan tari kejei tidaklah mudah. Menurut cerita, ada kejei yang dilaksanakan selama 3-15 hari bahkan sampai 9 bulan. Untuk melakukannya pun terkadang harus memotong kerbau dan sapi terlebih dahulu. Tuan rumah harus atas marga, serta mengundang marga-marga yang lain dan harus memperlakukan tamu dengan sebaik-baiknya.

Tarian ini semakin dianggap sakral karena membutuhkan tempat yang khusus untuk membawakannya. Sebelum dan sesudah menampilkan tari kejei, diadakan ritual terlebih dahulu, yaitu pemotongan tebu hitam dan langir yang telah diberikan mantra oleh seorang sesepuh sebelum memulai tarian. Seminggu sebelum diselenggarakannya acara, masyarakat satu dusun juga akan bergotong royong mendirikan balie kejei, yakni balai dengan ukuran 6×8 meter atau 6×12 meter.

Balai dilengkapi peralatan upacara yang terdiri dari pisang, pinang, sirih, tebu, baronang, teleng, payung dan masih banyak lagi. Semua ini diletakkan di dekat tiang untuk menyimbolkan kemakmuran. Sementara itu di atas meja, ada bakul sirih, bueak minyak, lampu damar, talam dan ayam jantan sebagai sesajen. Penari pria dan wanita saling berhadapan, sedangkan meja sesajen diletakkan di tengah mereka.

Ada mitos masyarakat setempat bahwa penari kejei haruslah remaja yang perjaka dan perawan. Apabila ada salah satu dari penari tidak perjaka atau perawan lagi maka kulintang sebagai alat musik pukul yang mengiringi tarian tersebut akan pecah.