Taman Purbakala Waruga Sawangan: Tradisi Megalitik di Minahasa Utara

Dalam banyak budaya di Nusantara diyakini bahwa kematian merupakan daur kehidupan yang paling penting, bahkan lebih berharga daripada mengingat dimana dan bagaimana mereka lahir. Batu-batu nisan yang terdapat di kuburan adalah penanda ketidakhadiran yang dapat menumbuhkan rasa cinta bagi anak cucu yang ditinggalkan. Kematian juga sekaligus mengajarkan hal-hal baru, menghasilkan gagasan, silsilah, hingga sejarah tentang masa kejayaan.

Begitu penting pula peristiwa kematian bagi orang Minahasa sehingga mereka butuh bertahun-tahun lamanya untuk menyiapkan hari sakral tersebut. Bukan dengan tanah ataupun peti, melainkan batu yang dibentuk dan dipahat seindah mungkin untuk menempatkan jenazah. Orang Minahasa menyebutnya dengan nama kuburan waruga

Wa adalah peleburan sebutan dari ma, yaitu awalan me yang artinya menjadi. Sementara ruga berarti membubur atau mencair. Atas penamaan ini, orang Minahasa percaya bahwa waruga dianggap sebagai tempat penyimpanan jenazah sampai mencair dan hanya menyisakan tulang-belulang.

Keranda waruga terbagi menjadi dua bagian, satu sebagai ruang bagi jenazah dengan typologi berbentuk bujur sangkar, satu lagi sebagai penutup dengan bentuk pelana kuda seperti halnya atap rumah. Lambang-lambang yang diukir indah di bagian penutup menyimbolkan status dan profesi jenazah saat masih hidup. Terukir lambang manusia, binatang, Matahari, garis-garis lengkungan serta geometris. Seorang pemimpin akan diukirkan dengan wujud pria tegap lengkap dengan pakaian berupa jas dan celana panjang yang menunjukkan wibawa. Begitu pun dengan seorang dokter yang diukir mengenakan jas sneili. Akan tetapi, sebagian waruga masih tampak polos tanpa ukiran, menandakan bahwa waruga ini merupakan yang paling tua di masanya, dibuat sekira tahun 800 Masehi ketika orang Minahasa belum mengenal seni pahat dan seni berpakaian.

Usia sebuah waruga juga bisa dianalisis dari struktur fondasi. Keranda yang dibangun sebelum tahun 1400an tidak memiliki lantai dari batu, seolah-olah ditancapkan langsung di atas tanah namun keranda tipe ini mempercepat proses kerusakan, roboh ataupun terbenam ke dalam tanah. Sementara tipe keranda waruga di atas tahun 1400, sudah memiliki lantai batu sehingga lebih kuat dan tahan lama. 

Seluruh keranda dibuat dari batu, yaitu campuran batu kapur dengan tanah damato yang tidak diolah secara halus, hanya diratakan secara kasar sekadar mendapatkan bentuk yang diinginkan. Keranda dibuat warga Minahasa tidak di rumah mereka, melainkan di kaki Gunung Klabat yang terletak sekira 10 kilometer ke arah timur laut dari Kota Airmadidi, ibukota Kabupaten Minahasa Utara. Sebagian warga mendapat bahan baku di Bukit Lumutan, tebing Sawangan dan Wolohan.

Keranda dibangun dengan ukuran yang berbeda. Kisaran tinggi mulai dari 1-3 meter dan lebar 40-90 sentimeter, ukuran yang paling kecil adalah 40×40 cm. Lantas bagaimana seorang jenazah bisa masuk ke dalam batu dengan ukuran relatif sekecil itu? Ternyata, tidak seperti memakamkan jezanah di dalam liang lahat dengan posisi terlentang, jezanah di dalam waruga dikuburkan dengan posisi jongkok. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi cara dan sikap tersebut adalah: sebagaimana posisi seseorang dikandung di dalam rahim, seperti itulah posisinya sewaktu kembali ke alam baka.

Satu buah keranda digunakan untuk menampung beberapa jenazah sekaligus yang masih terjalin dalam ikatan keluarga inti. Anda dapat mengetahui jumlah jenazah dari simbol garis-garis lengkung yang diukirkan pada penutup. Satu garis menandakan satu jenazah, dua garis memberitahu bahwa terdapat dua jenazah di dalamnya, dan seterusnya. Besar kecilnya suatu waruga pun menentukan berapa banyak jenazah di dalamnya. Waruga dengan ukuran kecil biasanya digunakan untuk keluarga yang hanya memiliki anak tunggal. 

Ketika hendak menguburkan keturunan maka atap keranda akan dibuka untuk memasukkan mayat ke dalamnya, setelah itu direkatkan kembali. Sebagai pelengkap prosesi pemakaman, diadakan tradisi upacara yang dipimpin oleh seorang walian (pemimpin agama pada masa Minahasa Purba). Doa dipanjatkan untuk melapangkan perjalanan arwah yang meninggal menuju akhirat.

Waruga ketika itu tidak ditempatkan bersama-sama di satu lahan pemakaman, melainkan di samping ataupun depan rumah warga yang ditinggalkan. Hanya bermodal getah damar dan putih telur, kedua bagian batu direkatkan. Lem alami ini tidak bertahan lama sehingga seringkali bau busuk keluar dari batu, penciuman dan kenyamanan warga pun terganggu, bahkan banyak diantaranya yang terjangkit penyakit kolera hingga menelan korban jiwa. Untuk alasan ini kemudian Pemerintah Koloni Belanda menghentikan penggunaan waruga pada tahun 1800an dan memerintahkan seluruh warga yang meninggal untuk dikubur di dalam tanah.

Saat ini waruga diabadikan sebagai cagar budaya di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulutenggo (Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo). Waruga tersebar di 57 titik di seluruh wilayah Minahasa, dan yang terbanyak serta terbesar terdapat di Taman Purbakala Sawangan, Desa Sawangan, Kecamatan Kombi, Sulawesi Utara. Ini adalah cagar budaya waruga yang kerap disinggahi wisatawan dari Indonesia maupun mancanegara. Di sana, Anda akan menemukan 144 waruga yang telah dikosongkan dengan berbagai ukiran dan ukuran, serta melihat langsung barang-barang kesayangan jenazah yang dikuburkan bersamaan di dalam waruga. Barang-barang yang ditemukan berupa perhiasan dan piring-piring porselen Tiongkok. Ini terjadi karena Menurut sejarawan, orang Minahasa dan orang Tiongkok dahulu terikat dalam satu sistem kekerabatan.

Pada waruga yang tersebar di wilayah lain, ditemukan juga barang berharga seperti mata uang, serta alat-alat perang seperti tombak dan keris. Untuk melindungi barang-barang tersebut dari pencurian, dibuatkan penutup dari batu yang sangat berat sehingga satu atau dua orang saja tidak mampu mengangkatnya.

Transportasi

Jarak dari Kota Manado ke Kecamatan Kombi, tempat dimana Taman Purbakala Waruga terletak adalah sekira 53 kilometer dan dapat ditempuh dalam waktu 90 menit dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Anda harus mengarahkan kendaraan menuju Jalan Tololui Supit, kemudian menyusuri Jalan Manado-Koka dengan medan yang berkelok dan berbukit. Saat memasuki Jalan Tondano-Kakas, Anda akan melewati Danau Tondano yang dikelilingi oleh bukit-bukit, sekira 20 menit dari danau tersebut maka Anda akan tiba di Desa Waruga.

Disarankan untuk menghindari berkunjung pada musim hujan karena akan terjadi kemacetan. Daerah Tondado dikelilingi sungai-sungai sehingga terdapat beberapa jembatan yang mengubungkan satu jalan dengan jalan lain. Pada saat musim hujan, kendaraan yang lewat harus melambat dan berhati-hati sehingga antrean di jembatan kerap mengular hingga berkilo-kilo.

Kegiatan

Taman Purbakala Waruga di Sawangan disatukan dengan pemakaman umum warga setempat, serta sebuah museum yang menyimpan barang-barang kesayangan jenazah. Tidak jauh dari situ juga ditempatkan rumah seorang juru pelihara yang dapat menjelaskan secara lengkap mengenai waruga kepada wisatawan. 

Pada akhir tahun biasanya diselenggarakan Festival Waruga untuk mempromosikan potensi wisata Taman Purbakala Waruga. Acara juga menampilkan beragam seni tari Minahasa, seperti tari tumatenden, tari maengket, tari kabasaran dan tari kolosal lain. Anda juga dapat melihat prosesi pemanjatan doa untuk pemimpin atau tonaas yang dikuburkan di dalam waruga. Biasanya ritual ini dilaksanakan pada awal Januari dan diawali dengan tradisi bersih-bersih kampung.

Untuk melihat ragam ukiran waruga lain, Anda bisa sekaligus mengunjungi keranda-keranda yang tersebar di kawasan Minahasa Utara, seperti di Kelurahan Rap-Rap, Kelurahan Airmadidi Bawah, terutama di Kelurahan Kokoleh yang menyimpan waruga dengan ukiran yang sangat variatif.

Akomodasi

Pilihan menginap banyak terdapat di Kota Manado, namun Anda juga bisa bermalam di beberapa hotel melati di Tondado ataupun di hotel-hotel berbintang Tomohon untuk suasana yang berbeda dan udara yang lebih sejuk. Berikut ini daftarnya;

Tomohon

Greenlake Retreat Bungalows Linow

Danau Linow, Tondano

Tlp: 0811430744

Jhoanie Hotel

Jalan Lingkar Timur, Kakaskasen III, Tomohon Utara, 95415

Tlp: 0431-354439

Mountain View Resort & Spa

Jala Kali-Kinilow, Lingkungan VI, Tomohon Utara, 95362

Tlp: 0431-3158666

Happy Flower Resort

Jalan Rungku Kakaskasen 2, Desa Kakaskasen, 95416

Tlp: 0431-356888

Gardenia Country Inn

Kakaskasen 2, 95362

Tlp: 0431-351282

Highland Resort and Spa

Jalan Kali-Kinilow, Lingkungan VI, Tomohon, 95362

Tlp: 0431-353333

Tondano

Hotel Tano Paso

Tlp: 0431-321585

Hotel Alam Segar

Tlp: 0431-322041

Hotel Tamaska 

Tlp: 0431-321776

Hotel Tondano

Tlp: 0431-321888