Wayang merupakan seni yang dihasilkan dari ekspresi budaya Tanah Air. Dibuat melalui proses yang benar-benar rumit dan selama berabad-abad telah dipentaskan di berbagai daerah di Pulau Jawa dan Bali. Pada 2003, UNESCO mengakui wayang dan mencatatnya sebagai mahakarya yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Indonesia sendiri mengenal tiga jenis wayang, yaitu: wayang kulit, wayang golek dan wayang wong (wayang yang diperankan manusia). Wayang golek sangat berbeda dengan wayang kulit, bahan pembuatannya adalah kayu-kayu yang diukir sehingga membentuk benda tiga dimensi. Akan tetapi, tokoh-tokoh yang diambil tetap berasal dari cerita Ramayana dan Mahabrata.
Wayang golek bisa digerak-gerakan menggunakan batang yang diikat di bagian tangan. Dalam bahasa sunda, batang tersebut disebut dengan tuding dan dibuat dari bambu atau tanduk. Tuding merupakan bagian yang sangat vital, melalui alat itulah tangan-tangan wayang dihidupkan untuk berbagai gerakan: gestur bicara, menari, dan perang. Tuding dalam wayang golek, selain difungsikan untuk menghidupkan tangan wayang, juga bisa difungsikan sebagai senjata atau alat misalnya sebagai tumbak atau pengungkit. Dengan demikian dalang mudah memainkan wayang golek seekspresif mungkin.
Wayang golek biasanya dimainkan dalam acara-acara tertentu, seperti ulang tahun sebuah lembaga atau kota, sunatan, hingga perkawinan. Dalam pementasannya sendiri ada beberapa perbedaan antara wayang golek dan wayang kulit. Wayang golek tidak membutuhkan layar dan lampu sorot untuk membentuk bayangan, karena boneka tiga dimensi ini bisa ditonton langsung tanpa layar.
Selebihnya tidak ada perbedaan, tetap dibutuhkan seperangkat musik gamelan, sinden dan cerita-cerita epik dari kisah klasik Hindu namun menggunakan bahasa sunda. Selain itu, ada beberapa wayang golek yang dipentaskan dengan cerita penyebaran agama islam seperti Walangsungsang, Rara Santang dan cerita lainnya.
Konon 9 wali yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa menggunakan wayang golek sebagai medianya. Diperkirakan, wayang golek telah berkembang pada abad ke-17 selama kejayaan Kesultanan Mataram. Wayang golek tertua diketahui berasal dari pesisir utara perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Cirebon, Brebes dan Tegal. Pada abad ke-18, seni tradisi ini berkembang ke wilayah Pegunungan Priangan di Provinsi Jawa Barat untuk menceritakan kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata. Tradisi ini kemudian dikenal sebagai wayang golek purwa yang pada akhirnya berkembang di Bandung, Bogor, dan sekitarnya.
Tokoh punakawan yang kerap dimainkan dalam wayang kulit pun juga disadur ke dalam pentas wayang golek. Karakter dan namanya diubah dengan gaya sunda, seperti Cepot untuk Bagong, atau Dawala untuk Petruk. Pentas berisikan cerita-cerita yang mendidik dan tetap menyisipkan pesan moral namun bedanya wayang golek dibumbui dengan komedi yang kini menjadi daya tarik utamanya.