Manten Kucing: Tradisi Meminta Hujan di Tulungagung

Pada Bulan Suro di Tulungagung terdapat tradisi yang menarik untuk Anda saksikan, yaitu Manten Kucing. Arahkan perjalanan Anda ke Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, di Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa TImur. Manten Kucing merupakan tradisi masyarakat untuk meminta diturunkannya hujan ketika musim kemarau panjang. Diperkirakan ritual ini sudah digelar sejak tahun 1926 oleh warga Desa Pelem dan terus dilaksanakan secara turun-temurun.

Prosesi Temanten Kucing diawali mengirab sepasang kucing jantan dan betina berwarna putih yang dimasukkan dalam keranji. Dua ekor kucing itu dibawa sepasang pengantin laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan, pasangan Temanten Kucing dimandikan di Telaga Coban. Secara bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang. 

Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu dinikahkan. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua Temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakaian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai. 

Setelah upacara Manten Kucing selesai, warga biasanya akan berebutan mengambil atau membasuh muka dengan air bekas memandikan kucing itu. Mereka percaya, bahwa dengan membasuh muka dengan air tersebut, mereka akan mendapatkan berkah. Bahkan ada juga yang berharap bisa awet muda. Selain air yang menjadi rebutan warga, Kucing yang baru dinikahkan tersebut juga menjadi rebutan untuk dijadikan hewan peliharaan. Mereka berharap dengan memelihara kucing tersebut dapat mendatangkan rejeki bagi sang pemilik.

Tradisi Manten Kucing sendiri awalnya terjadi saat musim kemarau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga kering. Warga yang mayoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual telah dilakukan, tetapi hujan tidak turun setetes pun.

Di tengah kegelisahan tersebut, seorang yang bernama Eyang Sangkrah  yang mandi di Telaga Sendang tiba-tiba didatangi kucing condo-mowo (kucing dengan tiga warna berbeda) yang ikut mandi denganya. Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing, tidak lama kemudian di Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang menunggu-nunggu hujan turun pun sangat bahagia. Semenjak itu, warga desa Pelem meyakini bahwa hujan turun berkaitan dengan Eyang Sangkrah yang baru memandikan kucing peliharaanya.

Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo tahun 1926, kemarau panjang melanda desa ini lagi. Saat itulah Eyang Sutomejo mendapat petunjuk untuk memandikan kucing di telaga. Maka Eyang Sutomejo mencari dua ekor kucing condo-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Kedua ekor kucing tersebut kemudian dimandikan di Coban, beberapa hari setelahnya hujan pun mengguyur desa setempat.

Sejak saat itu, ketika Desa Pelem mengalami kemarau panjang maka warga akan meminta kepada kepala desa untuk mengadakan ritual Temanten Kucing. Terdapat pesan moral yang terkandung di dalam tradisi Manten Kucing, yaitu terkait persahabatan dengan alam, serta hidup rukun dengan sesama dan saling menolong.