Mengunjungi Ngada bukanlah hal yang sulit karena jalan di Flores tak begitu rumit seperti di Pulau Jawa atau Sumatera. Ngada bersebelahan dengan Sikka dan Ende sehingga tak sulit mencapainya. Para petualang sering melalui jalan-jalan ke Bajawa. Angkot dan ojek selalu menjadi pilihan populer bagi para petualang. Alternatif lain Anda dapat menyewa kendaraan di Maumere atau di Labuan Bajo.
Ngada telah memperlihatkan toleransi terhadap pengaruh luar. Sentuhan modernisasi sudah menjadi hal biasa di ibukotanya yaitu Bajawa. Infrastruktur, fasilitas umum, dan beragam bangunan tidaklah jauh berbeda dengan kota lain di Flores yang sedang berkembang menuju abad ke-22. Akan tetapi, hanya belasan kilometer dari Bajawa, sebuah desa seolah tak pernah melalui abad 20, bahkan abad 19, desa tersebut masih terus mempertahankan kesederhanaannya dengan tradisi kuno yang dihidupkan dengan kuat.
Jadikan hari Anda di Desa Bena atau Desa Lupa sebagai hari yang menyenangkan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Cobalah memakan sirih yang merupakan kegiatan mengasyikan para ibu di sana. Lihat bagaimana mereka melalui hidup dalam kesehariannya. Hargai kepercayaan dan tradisi mereka maka suatu waktu Anda sendiri akan bersyukur betapa hidup ini begitu berharga dan bermakna.
Di Desa Bena atau Desa Lupa akan Anda dapati batu-batu seperti taring babi hutan atau raksasa menengadah ke langit bersandar rapi di tepi altar yang juga terbuat dari batu. Konon persembahan bagi para dewa dulunya dilakukan di atasnya. Penataan lahan dan lanskap arsitektur yang penuh bebatuan tersebut menandakan budaya zaman megalitik masih tersisa dan bertahan di sini. Masih dalam kawasan yang sama, rumah panggung beratap rumbia berjajar saling berhadapan membawa Anda pada nuansa masyarakat tradisional sesungguhnya.
Desa Bena lokasinya tak jauh dari Bajawa sekitar 12 kilometer saja tetapi dalam perhitungan waktu, desa ini memiliki kehidupan seolah di abad ke-17 atau 18. Perjalanan ke Desa Bena tak begitu mudah karena kondisi jalan yang belum laik (baca: pantas; layak), sehingga waktu yang diperlukan dapat mencapai 1 jam. Namun demikian, sebaiknya tetap diingat bahwa kecepatan bukanlah hal terpenting dalam berpetualang. Apa yang akan Anda dapatkan, lihat, rasakan, dan dengar adalah hal penting sehingga kecepatan rata-rata 12 km/jam tentulah bukan masalah.
Anggota masyarakat di Desa Bena merupakan anggota klan tertentu yang diwakili oleh setiap rumah yang berdiri di dalamnya. Rumah di Bena dibagi dalam tiga area, yakni area tamu, area tidur, dan area bekerja. Sementara para pria bekerja di ladang maka para ibu bekerja di serambi sambil menenun kain ikat dengan warna-warni sungguh menawan. Anda dapat melihat cara pembuatan tradisionalnya atau mengapa tidak membelinya langsung.
Di dalam sistem kemasyarakatan Bena dan umumnya di desa-desa tradisional di Ngada, sistem matrilineal adalah tatanan yang dipertahankan hingga kini. Garis keturunan dari ibu memegang peranan penting terutama perihal waris dan gelar. Akan tetapi, nyatanya kepemimpinan tidak menjadi harus matriarki karena masyarakat tradisional di Ngada lentur dengan kepemimpinan para pria.
Walau masih memegang kepercayaan kepada para leluhur, masyarakat Bena sudah banyak yang memeluk Katolik. Nampak poster dan tanda-tanda di atas batu bernuansakan Katolik. Menariknya, mereka pun percaya bahwa ada dewa pria atau dewa langit, serta dewa wanita atau dewa bumi. Keduanya berjalan seiring dalam kehidupan masyarakat ini. Hal tersebut tercermin dari aktifnya kegiatan gereja dan juga tumpukan tulang rahang babi dan juga tanduk-tanduk kerbau yang disusun di depan rumah para penduduk desa yang dianggap lebih makmur dan berpengaruh. Itu juga sebagai simbol penting dalam kemasyarakatan.
Bila ingin melihat desa lain maka Anda bisa mencoba mengunjungi Desa Lupa yang sering didatangi wisatawan asing. Karena berkendaraan terkadang dianggap sebagai hal yang membosankan maka banyak wisatawan yang memilih pulang dari Bena dengan cara berjalan kaki sehingga dapat mampir di desa-desa lainnya yang memiliki fitur dan karakter hampir serupa.