Toapekong Tua di Hotel Biliton: Meniti Jejak Timah di Belitung

Lebih dari seratus tahun waktu telah bergulir bersama Toapekong ini. Menjadi bagian yang tersisa dari rumah besar seorang Kapiten China pada abad ke-19 dan merupakan rumah abu atau pemujaan leluhur marga Ho (Hokkien) atau He (Mandarin). Pada salah satu inskripsinya, tertulis ‘lujang tang’ yang artinya Hall of Luijang. Luijang adalah nama daerah Tiongkok kuno (kini di propinsi Anhui) yang merupakan daerah asal marga Ho. Kini Toapekong di Hotel Biliton merupakan salah satu cagar budaya penting yang dapat Anda nikmati di Kota Tanjung Pandan, Belitung. 

Berawal dari penemuan timah yang pertama oleh pionir-pionir Belanda di tahun 1851. Setahun kemudian timah sudah di tambang secara terorganisir di Belitung, disusul dengan berdirinya NV Billiton Maatschappij di tahun 1860. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pertambangan, di datangkanlah kuli-kuli Cina yang diperoleh dari kuli paksa di Singapura atau pun dibawa langsung dari negeri Cina. Mereka kemudian di sebut Singke’ (xinke) – kuli pendatang baru – yang sebagian besar berasal dari suku Hakka, di samping Hokkien, Tio Chu, Kwong Fu dan lain-lain.

Keberhasilan pertambangan timah mendorong orang-orang China lainya untuk datang ke Belitung dengan kemauan sendiri. Diantara mereka ada yang menjadi petani, pedagang, bahkan saudagar kaya. Pada tahun 1866, lebih dari dua ribu orang Cina sudah tinggal di Belitung dan jumlah ini terus bertambah hingga menjelang kemedekaan.

Di Belitung, orang-orang Cina dikepalai oleh seorang Kapiten yang diangkat oleh pemerintah kolonial untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan masyarakat  Cina, di dalam maupun di luar tambang. Seorang Kapiten haruslah seorang Cina kaya yang berpengaruh dan mempunyai garis kekerabatan dengan Mayor atau Kapitan Cina sebelumnya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan luas tentang wilayah dan masyarakat di daerah yang dipimpinnya. Mempunyai hak monopoli atas perdagangan candu dan perdagangan berbagai barang kebutuhan kuli di pertambangan.

Ho A Jun atau kapiten Ho adalah seorang keturunan marga Ho yang menjadi Kapiten Cina pertama dan terlama di Belitung (1852-1895). Pada pertengahan abad ke-19, Ho A Jun membangun lokasi kediamannya di lokasi strategis di kawasan pemukiman Cina. Sebuah rumah yang disangga pilar-pilar kokoh, dengan sebuah Toapekong besar di dalamnya. Dari tempat inilah Kapiten Ho memimpin masyarakat Cina Belitung. Sedangkan kantor pusat Billiton Maatschappij berada tepat di timur laut rumah Ho A Jun, -kini disebut Jam Gede.

Pada akhir abad ke 19, setelah berakhirnya kepemimpinan Kapiten Ho, rumah kediamannya dijadikan gedung societeit, tempat hiburan kaum elit Cina dan pejabat Billiton maatschappij. Tahun 1924, Billiton Mij menjadi NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton (NV GMB) setelah sahamnya juga di miliki pemerintah. Pada periode ini, societeit tetap di pertahankan sebagai tempat hiburan kaum elit.

Tahun 1956, NV GMB dinasionalisasikan menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah Belitung (PN TTB). Gedung societeit kemudian menjadi Wisma Ria (I), yang fungsinya tidak jauh berubah yaitu sebagai tempat hiburan pejabat elit perusahaan timah Belitung. Tahun 1970-an, fasad bangunan Ho A Jun diubah, tetapi toapekong tetap dipertahankan. Awal tahun 1990-an, perusahaan timah Belitung direstrukturisasi  Kantor Pusat dan Wisma Ria (I) kemudian menjadi asset pemerintah daerah dan sempat di fungsikan sebagai perkantoran.

Kini bekas rumah Ho A Jun telah jauh berubah. Jejak sang Kapiten mungkin hanya tertinggal pada pilar-pilar bangunan dan Toapekong besar yang kini menjadi bagian kecil dari Billiton Hotel & Klub. Ingatan dan pengetahuan tentang Kapiten Ho – bahkan bagi masyarakat Cina sendiri, mungkin hanya samar-samar. Namun kelestariannya menjadi bukti tak terbantah bahwa sejarah Belitung tak lepas dari kesuksesan penambangan timah, yang pada awalnya diraih dengan cucuran keringat kuli-kuli Cina di bawah kepemimpinan Kapiten Ho A Jun.

Sebagai asset budaya tak ternilai, Toapekong ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang dilindungi pemerintah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Di dalamnya tersirat keragaman dan kerukunan antar agama dan antar etnis di Belitung, yang tetap berlansung hingga kini.Suatu kearifan sejarah yang patut di lestarikan.