Wologai: Wisata Arsitektur Khas Ende

Pagi hari masih belum habis dan anak-anak sekolah dasar di Dusun Wologai masih bermain disela waktu istirahatnya. Melihat selusin tamu dari Eropa, mereka berhamburan langsung menyalami tamu-tamu yang juga berbinar gembira bak selebriti. Suasana yang biasanya hening, tiba-tiba berbalik semarak. Gambaran hiasan kehidupan dusun tradisional menyambut tamu dengan tak berbalut kepura-puraan.

Walau di tepi jalan raya, desa tradisional masyarakat Lio yang bernama Wologai tak terusik suara kendaraan yang berlalu karena memang Flores hingga kini masih menjanjikan sebuah untaian destinasi yang belum banyak disentuh wisatawan. Tak mengherankan, anak-anak begitu senang saat melihat wisatawan menghampiri mereka dengan rasa ingin tahu. Senyuman dari tamu dan anak-anak dusun terjalin dalam tanya jawab singkat yang diawali kata, HaLlo Mister’, bahkan kepada seorang ibu asal Belanda di antaragroup tour tesebut.

Terletak di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, adalah Dusun Wologai telah mengalami berbagai pergantian desa yang nenek moyangnya berasal dari Gunung Lepembusu. Sekitar 20 lebih desa dilalui dan dibina dari awalnya di Lepembusu hingga sampai di Wologai. Tradisi yang dibawa nenek moyangnya masih ketat dijalankan dengan sekitar 25 hingga 30 upacara adat tradisional yang berurutan harus dijalankan. Semuanya harus dilaksanakan dan tidak bisa dilewatkan atau sesuatu yang buruk dipercaya akan terjadi.

Dusun Wologai masih mempertahankan gaya arsitektur tradisional masyarakat Lio, lengkap dengan altar batu dan rumah utama tempat menyimpan ajimat dan benda pusaka lainnya. Di satu sisi pelataran altar batu, nampak sebongkah batu berpagar bambu pelindung dan penanda. Menurut Papa Alo (salah satu tetua di Wologai), batu itulah yang pertama kali ada dan memiliki kekuatan magis. Seorang pun tak berhak menyentuh batu itu kecuali orang-orang tertentu yang ditetapkan keputusan adat.

Berada di dusun sederhana ini memberikan sensasi seperti membuka majalah arsitektur. Beberapa orang menikmati interior sebuah bangunan dalam berbagai gaya arsitektur dan sebagian lain karena pengalamannya bisa berada di dalam  halaman-nya. Tak hanya sensasi arsitektural yang dirasakan pengunjung, karena setelah menyadari berada di tengah desa ini ada perasaan bahwa pengunjung seakan dibingkai mesin waktu dan ditarik ke masa dua atau tiga abad lalu.

Di sini, pengunjung dapat melihat bagaimana masyarakat Lio mengatur dirinya dalam struktur kemasyarakatan berpola matrilineal dimana garis keturunan dari ibu memegang peranan penting dalam pengaturan keluarga hingga masyarakat. Namun demikian, mereka bukanlah kelompok masyarakat yang matriarki atau kekuasaan yang dipegang oleh garis keturunan langsung seorang perempuan. Kaum pria di Wologaimasih memegang peranan kepemimpinan dalam keluarga dan masyarakat.

Di Wologai, sebuah rumah dinamakan rumah utama ibu dan hanya perempuan saja yang berada di dalamnya, sebagai simbolosme masyarakat matrilineal. Di dalamnya, setiap ruangan memiliki nama ruangan masing-masing dan namanya diambil dari nama anggota tubuh perempuan, seperti penyusuan dan rahim.

Bagi mereka, gunung merupakan tempat yang paling sakral, dimana gunung adalah tempat para leluhur berasal dan kembali. Tak setiap desa bahkan rumah memiliki arti dan makna yang mendalam sehingga berkunjung ke Wologai seperti masuk ke halaman-halaman yang penuh cerita.

Wologai dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum dari Ende sekitar 36 km atau dari Moni yang jaraknya hanya 16 km. Bila sampai di Wologai, cobalah untuk mendapatkan uraian penjelasan singkat dari Papa Alo, salah satu tetua di Wologai.