Kepulauan Banda menghadirkan serangkaian pulau kecil yang bahkan mungkin tidak terlihat di peta. Meski demikian, beberapa di antaranya menyimpan kekayaan alam luar biasa dan sejarah yang tidak layak terlupakan. Salah satunya adalah Pulau Run yang menjadi satu-satunya daratan penghasil pala di Kepulauan Banda. Karenanya pala-lah, pulau vulkanik yang hanya memiliki panjang 3 km dan lebar kurang dari 1 km itu menjadi begitu krusial dan diperebutkan oleh Belanda dan Inggris.
Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman kembali menggelar Pesta Rakyat Banda pada 11 Oktober hingga 11 November 2017. Tahun ini perhelatan tersebut menjadi istimewa karena menjadi ajang untuk memeringati 350 tahun ditandatanganinya Perjanjian Breda, yaitu kesepakatan penukaran Pulau Run (Kabupaten Maluku Tengah) dari Inggris dengan Pulau Manhattan (Amerika Serikat) milik Belanda saat itu.
Sejak awal abad ke-12, Kepulauan Banda menjadi sentral perdagangan rempah-rempah dunia. Pada masa itu, Pulau Run yang hanya memiliki panjang 3 km dan lebar kurang dari 1 km menjadi begitu krusial karena nilai rempah pala (baca: dari pohon pala; Myristica fragans) dimana hanya ditemukan di Kepulauan Banda dan memiliki kepentingan ekonomi besar bahkan mengubah peta perdagangan dunia.
Akibatnya, Inggris dan Belanda terlibat dalam pertempuran demi pertempuran demi mendapatkan Pulau Run sekaligus pala-nya. Hingga akhirnya terjadilah Perjanjian Breda, yaitu penawaran pertukaran Pulau Run sebuah pulau vulkanik kecil yang dikuasai Inggris ditukar dengan Manhattan sebuah pulau dengan tanah rawa di ujung selatan Sungai Hudson, satu dari lima bagian kota yang membentuk New York kini.
Pesta Rakyat Banda menghadirkan serangkaian kegiatan seperti bazar kerajinan tangan, pameran, kelas penulisan, dialog sejarah, hingga pertunjukan tari, musik, serta teater. Perhelatan Pesta Rakyat Banda diharapkan mampu membangkitkan kembali ingatan tentang pentingnya Kepulauan Banda dalam sejarah Indonesia. Kegiatan ini juga demi membuka mata dunia untuk melihat dan menikmati keindahan Banda dan kekayaan sejarahnya yang telah memberi warna unik pada budaya lokal.
Serangkaian kegiatan workshop digelar dalam Pesta Rakyat Banda 2017, menghadirkan berbagai organisasi seni di Indonesia untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan, seperti Asosiasi Sketsa Indonesia, Paper Moon Puppet (Yogyakarta), Tobucil (Bandung), Annie Sloman (Yogyakarta) untuk pelatihan akrobatik jalanan, serta pelatihan bidang musik hasil kerja sama antara Glenn Fredly dengan beberapa organisasi lokal. Selain itu, ada pula pelatihan Penulisan Kreatif oleh Yvonne de Fretes (sastrawan/dosen), Hanna Rambe (penulis novel “Mirah dari Banda”), juga Sari Narulita (penulis novel “Tatkala Cengkeh Berbunga” dan Rudi Fofid (sastrawan Maluku).
Selain serangkaian kegiatan tersebut, ada agenda penandatanganan prasasti perdamaian di Pulau Rhun, deklarasi laut di Pulau Hatta, dan peresmian patung empat tokoh nasional yang pernah diasingkan di Banda, yaitu: Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Cipto Mangunkusumo, dan Iwa Koesoemasoemantri.
Informasi seputar Pesta Rakyat Banda dapat Anda lihat di laman www.pestarakyatbanda.id, dan media sosial Instagram @pestarakyatbanda, Twitter @rakyatbanda serta Facebook: Pesta Rakyat Banda.
Video via: Advertising Indonesia
Banda Warisan untuk Indonesia: Pala dan Perjanjian Breda 1667-2017
Perjanjian Breda merupakan kesepakatan antara Inggris dan Belanda terkait penyerahan Manhattan kepada Inggris dan sebagai kompensasinya Inggris menyerahkan Pulau Run kepada Belanda pada 31 Juli 1667. Perjanjian ini pula yang mengakhiri perang Anglo-Belanda II.
Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, melakukan kegiatan Pendukungan Peringatan 350 Tahun Perjanjian Breda yang digagas oleh Yayasan Warisan Budaya Banda yang telah dilaksanakan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (20 September – 4 Oktober 2017) dan di Erasmus Huis, Jakarta (31 Juli – 30 Agustus 2017). Selanjutnya pameran yang juga didukung oleh Kedutaan Besar Belanda melalui Erasmus Huis, Galeri Nasional Indonesia dan Balai Arkeologi Maluku ini akan menjadi pameran tetap di P. Banda.
“Kita ingin melihat kembali sejarah kejayaan Pulau Banda 350 tahun yang lalu, bagaimana orang datang ke Banda untuk melihat pala yang menjadi kekayaan rempah–rempah Indonesia,” tutur Hilmar pada pembukaan pameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dengan menguak sejarah kejayaan Pulau Banda, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda mengenai perannya sebagai penerus bangsa yang sejak dahulu telah memiliki peran penting dalam sejarah perdagangan dunia.
Pameran “Banda, Warisan Untuk Indonesia” yang mengusung sub tema: “Pala dan Perjanjian Breda, 1667-2017” menyoroti sejarah Banda sebagai penghasil rempah yang kaya dan bagaimana peran Banda sebagai pusat perhatian dalam perdagangan dan politik internasional. Pameran tersebut menghubungkan episode sejarah tersebut dengan Banda saat ini dan bagaimana Banda menjadi sumber inspirasi dalam karya seni kontemporer.
Pameran ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda akan perannya sebagai penerus sebuah bangsa besar yang sejak dahulu telah memiliki peran penting dalam sejarah perdagangan dunia. Dengan demikian diharapkan akan muncul kebanggaan akan jati diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pameran yang dilaksanakan di Banda, pada tanggal 11 November 2017 menjadi bagian dari Puncak kegiatan Puncak Pesta Banda 2017 yang dilaksanakan oleh Pemprov. Maluku dan Kementerian Pariwisata.
Pulau Banda Neira atau lebih dikenal sebagai Bandanaira terletak di Pulau Neira dimana merupakan kota berwujud pulau yang berfungsi sebagai pusat administratif dari Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Banda Neira lekat dengan nuansa kota tua karena memang hingga pertengahan abad ke-19 wilayah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Para saudagar melakukan jual beli pala dan fuli yang saat itu merupakan komoditi paling banyak dicari di Kepulauan Banda dan menjadi asal sumber rempah-rempah. Tatatan niaga yang mapan dan stabil selama ratusan tahun akhirnya berakhir dengan monopoli rempah-rempah oleh VOC di wilayah ini.
Untuk menuju Banda Neira maka arahkan penerbangan ke Bandara Pattimura di Ambon. Berikutnya dilanjutkan terbang ke Banda Neira. Penerbangan beroperasi seminggu sekali atau setiap dua minggu. Alternatif ideal adalah Anda dapat menyeberangi Laut kapal feri PELNI dua kali seminggu dengan kapal KM Ciremai dari Ambon ke Banda Neira. Pastikan Anda dua kali memeriksa jadwal untuk perubahan yang tak terduga. Apabila Anda menggunakan perjalanan laut dari Surabaya akan memakan waktu 6 hari untuk sampai di Banda menggunakan kapal PELNI. Kapal cepat penumpang Express Bahari ada 2x dalam seminggu. Tulehu – Banda Rabu dan Minggu, Banda – Tulehu Selasa dan Sabtu. Info kapal cepat: 081343292900.