Kisah Pengasingan Bapak Pendiri Bangsa di Bengkulu

Bermula dari pidato politiknya saat menghadiri rapat Partai Nasional Indonesia di Bandung, kemudian Pemerintah Hindia Belanda menangkap Ir. Soekarno. Beliau dianggap melanggar undang-undang Pemerintah Hindia Belanda saat itu yang melarang berkumpul dan membicarakan politik. Ir. Soekarno ditangkap dan dimasukan ke Penjara Banceuy. Berlanjut kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Tahun 1934, Bung Karno menjalani proses pembuangan ke Ende, Flores. Tahun 1938 Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu karena alasan protes keras dari tokoh-tokoh pergerakan. Selain itu, Bung Karno sempat terjangkit malaria yang mewabah di Flores. Bengkulu dipilih sebagai tempat pengasingan Bung Karno oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap lebih aman dari wabah malaria dan lebih terisolir dari daerah lain tetapi masih dapat dijangkau pengawasannya.

Bung Karno bersama istrinya, Inggit Ganarsih, serta anak angkatnya Ratna Juami dan dua orang pembantunya Kartika dan Riwu berangkat dari Ende menuju Surabaya dengan menumpang kapal barang de Klerk. Berikutnya dari Surabaya mereka naik kereta api menuju Batavia (Jakarta). Bung Karno berpisah dengan keluarganya dari sini. Inggit dan anak-anak angkatnya dijemput oleh M Husni Thamrin, sedangkan Bung Karno menuju Merak untuk menggunakan kapal Sloot Van Den Beele melanjutkan perjalanan ke Bengkulu.

Pada 14 Pebruari 1938, Bung Karno tiba di Bengkulu dan ditempatkan di Hotel Centrum sebagai tempat penampungan sementara hingga rumah pengasingan tersedia. Selang waktu beberapa minggu, Inggit bersama anak-anak angkatnya menyusul ke Bengkulu. Di sini keluarga Bung Karno mendapat dua orang pembantu yaitu Mu’in berasal dari Sunda dan Fadil berasal dari daerah Lebong. Di Bengkulu, Bung Karno dengan cepat dikenal masyarakat yang mengetahuinya melalui siaran radio. Bahkan, berikutnya Bung Karno diundang rapat pergerakan Muhammadiyah dan mengajar di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah.

Meski dipengasingan, Bung Karno tidak merasa kesepian. Itu karena banyak teman-teman dekat dan masyarakat umum yang berkunjung membicarakan segala sesuatu di rumahnya. Termasuk mendirikan kelompok sandiwara yang bernama “Monte Carlo.” Bung Karno sendiri aktif dalam menulis naskahnya, melatih pemain sandiwaranya yang semuanya adalah laki-laki. Bung Karno juga bertindak sekaligus sebagai sutradaranya. Lakon-lakon lain yang dipentaskan adalah: ‘DR Pengiblis Syaitan”, “Kisah Cinta Putri Seorang Komandan Portugis di Endeh”, “Lowis Pareire Kumi Toro”, “Rainbow”,  dan “Cut Cut Bee”, serta cerita-cerita lainnya.Rumah di Anggut Atas tersebut dalam waktu tidak lama menjadi pusat latihan sandiwara yang ramai dikunjungi orang. Kelompok sandiwara tersebut digunakan oleh Bung Karno sebagai jembatan komunikasi dengan kawan-kawannya. Termasuk untuk menjalankan misinya dalam meneruskan perjuangan menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Tokoh-tokoh Muhammadiyah di Bengkulu juga dilibatkan dalam kelompok sandiwara ini. Seperti Abdul Manaf, Bahtiar Karim, dan Abdullah.

Ketenaran Bung Karno di Bengkulu membuat banyak orang yang ingin bersilaturahmi dengan beliau, salah satunya adalah Hasanuddin, seorang pedagang sayuran di Curup. Pada tahun 1938, Hasanuddin menulis surat yang isinya menyatakan ingin bertemu dengan Bung Karno. Setelah menentukan janji untuk bertemu, pada hari yang ditentukan Hasanuddin sekeluarga berangkat ke Bengkulu dan menginap di rumah keluarganya. Baru keesokan harinya mereka berangkat menuju rumah Bung Karno. Keberangkatan Hasanuddin disertai istrinya yang bernama Siti Chadijah dan anaknya bernama Fatmawati.

Pada saat itu Fatmawati memakai baju kurung berwarna merah hati dan tutup kepala voil kuning. Dengan menaiki delman mereka tiba di rumah Bung Karno. Setelah mengucapkan salam, mereka disambut oleh tuan rumah dengan senyum lebar. Rupanya yang berdiri gagah dengan senyum lebar tersebut adalah Bung Karno, yang didampingi Inggit Ganarsih dan tidak lama kemudian muncul Ratna Juami.

Pembicaraan antara Bung Karno dengan Hasanuddin berkisar masalah perjuangan dan pergerakan. Setelah pembicaraan selesai giliran Fatmawati yang ditanya, maka terlontarlah pertanyaan dari Bung Karno “Fatma, kamu sekolah di mana?” Fatma pun menjelaskan bahwa ia tidak sekolah lagi, hanya giat dalam Nasyatul Aisyah di Curup. Setelah Fatma menggambarkan kehidupan di Curup dengan hawanya yang sejuk, kembali Bung Karno bertanya “Apakah Fatma bersedia masuk sekolah RK Vakschool bersama Ratna Juami?” Sebenarnya, untuk masuk sekolah RK Vakschool Fatma terbentur pada syarat-syaratnya, sebab Fatma baru selesai kelas 5 dan belum tamat HIS. Namun, Bung Karno akan menjamin semuanya, yang penting Fatma bisa sekolah.

Semenjak itu Fatma tinggal di Bengkulu, sedangkan Hasanuddin bersama keluarganya kembali ke Curup. Setelah diadakan tes membaca oleh Suster Vincenza akhirnya Fatma diterima di sekolah Katolik. Hari berganti hari, tepat pada usia tujuh belas tahun Fatma berhasil menyelesaikan sekolahnya. Sejak Fatmawati tinggal di rumah pengasingan Bung Karno mulai tumbuh benih-benih cinta di antara Fatmawati dan Bung Karno. Cinta yang bersemi terus memekar setelah mendapat restu dari Hasanuddin, dan teman-teman Bung Karno, seperti dokter Woworuntu, dan dokter Jamil. Berkumpulnya teman-teman Bung Karno selain membicarakan hal-hal mengenai perjuangan bangsa, juga membicarakan tentang niat Bung Karno untuk memperistri Fatmawati.

Pada bulan Maret 1942, Bung Karno terpaksa meninggalkan kota Bengkulu, karena Jepang mulai mendarat di Indonesia, untuk sementara niat untuk menikah dengan Fatmawati diurungkan. Perjalanan Bung Karno dari Bengkulu sampai Padang ditempuh dengan jalan darat, yaitu dengan mengendarai gerobak sapi. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, sampailah Bung Karno di Padang dengan dikawal ketat polisi Belanda. Setelah beberapa minggu tinggal di Padang, beliau berangkat menuju Jakarta. Oleh pihak Belanda Bung Karno diserahkan kepada pemerintah pendudukan Jepang. Pada bulan Juli 1942, barulah terlaksana pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati. Dalam pernikahan tersebut Bung Karno diwakili oleh Mr Sarjono dan Fatmawati diwakili oleh Basaruddin (kakek Fatmawati). Pernikahan yang dijalani Fatmawati di Bengkulu tanpa dihadiri Bung Karno sendiri.

Setelah perkawinan terlaksana, Fatmawati harus menunggu beberapa bulan untuk berangkat ke Jakarta. Pada tanggal 1 Juni 1943, barulah Fatmawati diberangkatkan ke Jakarta untuk dipertemukan dengan Bung Karno. Kenangan pahit dan manis selama ada di rumah pengasingan di Bengkulu dibawa oleh Bung Karno dan Fatmawati ke Jakarta sebagai pengobar semangat untuk membebaskan bangsanya dari belenggu penjajah.

 

Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu

Rumah pengasingan Bung Karno adalah salah satu obyek wisata sejarah yang terdapat di kota Bengkulu. Rumah yang terletak di jalan Soekarno Hatta ini merupakan bukti tinggalan sejarah perjuangan bangsa. Bila kita hendak ke rumah ini, kita dapat memanfaatkan jasa angkutan kota, karena letak rumah ini cukup strategis, dekat dengan simpang lima yang merupakan jantung Kota Bengkulu.  Lokasinya di Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka ini telah mengalami pemugaran. Sejak dipugar rumah yang berjarak 1,6 km dari Benteng Marlborough ini berfungsi sebagai museum yang dikelola oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Bengkulu. Sebelum ditempati Bung Karno dan keluarganya rumah ini berfungsi sebagai tempat tingal seorang saudagar Cina yang bernama Tjang Tjeng Kwat, yang berprofesi sebagai penyalur bahan-bahan pokok untuk keperluan Belanda.

Rumah yang berdenah empat persegi panjang, dengan bentuk atap limas ini berada pada posisi koordinat 0,3o 47′ 85,1″ Lintang Selatan dan 102o 15′ 41,7″ Bujur Timur, dengan ketinggian 64 m di atas permukaan laut ini. Rumah tersebut cukup luas dengan ukuran 9 x 18 m dan mempunyai halaman, luas seluruhnya 40.434 m2. Pada saat ini luasnya tinggal 10.000 m2 sebab halaman depan terpotong untuk pelebaran jalan.

Koleksi yang terdapat di rumah tersebut antara lain sebuah meja rias, tempat tidur, seperangkat kursi tamu, lemari buku, dan sepeda. Menurut keterangan yang diperoleh, barang-barang tersebut adalah koleksi keluarga Bung Karno selama menempati rumah yang asri itu dalam kurun waktu 1938 hingga 1942.