Sosok Pahlawan Nasional Indonesia asal Sumatera Utara ini sempat menghiasi uang kertas Rp1000,- sejak tahun 1980-an. Anda pasti mengenali wajahnya yang berjambang tersambung dengan janggut, juga pakaian adat setengah badan serta ikat kepala khas Batak. Kenali perjuangan dan sosok pahlawan ini sehingga saat Anda berkunjung ke beberapa peninggalan sejarahnya akan memberikan pengalaman berkesan.
Sisingamangaraja XII yang lahir tahun 1849 di Bakkara, sebuah tempat indah di tepian Danau Toba itu memiliki nama kecil Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Nama ‘sisingamangaraja’ sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘singa’ dan ‘mangaraja’. Ia dinobatkan menjadi raja tahun 1871 saat usianya baru 19 tahun dan sempat merantau ke Aceh termasuk untuk menjalin persekutuan melawan Belanda. Oleh karena itu, ketika perang meletus, perjuangannya dibantu pasukan dari beberapa suku di Aceh. Ada yang menyebut Sisingamangaraja XII bekerjasama dengan Panglima Nali dari Kerajaan Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Kerajaan Aceh. Persekutuan itulah yang menyebabkan Aceh dan Tanah Batak sulit ditaklukkan Belanda.
Sisingamangaraja XII dikenal sebagai orang yang anti perbudakan dan penindasan, ia sangat menghargai hak kemerdekaan hidup. Raja Sisingamangaraja XII berjuang menentang kekuasaan Belanda di Tapanuli, Sumatera Utara. Dengan dukungan rakyatnya, tahun 1877 ia menyatakan perang kepada Belanda. Perang panjang pun berlangsung selama 3 dasawarsa bermula di Bahal Batu, Humbang dan berikutnya meluas di selutuh Tanah Batak bahkan Belanda mengerahkan pasukannya dari Singkil Aceh.
Bermula tahun 1837, setelah Belanda berhasil menang dalam Perang Paderi itu merupakan awal untuk melapangkan jalan menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan Minangkabau jatuh juga, disusul Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga. Akibatnya, Tanah Batak terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden” yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan wilayah yang belum ditaklukkan masuk wilayah Tanah Batak atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’ atau Tanah Batak yang merdeka, yaitu: Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan Samosir.
Belanda kemudian menguasai Balige untuk merebut kantong logistik pasukan Sisingamangaraja XII di Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade ke Bakkara. Berikutnya pada 12 Agustus 1883, Bakkara, tempat istana dan markas Sisingamangaraja XII berhasil direbut sehingga ia mundur ke Dairi bersama pengikut setian, keluarga, dan para panglima yang terdiri dari beberapa suku Aceh.
Tahun 1883, Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tanah Batak. Sisingamangaraja XII kemudian membalasnya dengan menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut dari Danau Toba. Sekira 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter menyerang sehingga perang pun pecah dengan sengit.
Pada 17 Juni 1907, di pinggir Sungai Aek Sibulbulon, Desa Si Onom Hudon (sekarang perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi), Sisingamangaraja XII tertembak setelah bertempur dalam jarak dekat dengan sebuah pasukan khusus pimpinan Kapten Christoffel. Diceritakan bahwa Sisingamangaraja XII kebal peluru namun karena terpercik darah putrinya, Lopian yang tertembak, maka Sisingamangaraja XII pun gugur bersama dua putranya yaitu Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Sebelumnya, hampir seluruh kerabat dan keluarga Raja Sisingamangaraja XII ditangkap termasuk Boru Situmorang (ibu Sisingamangaraja XII), Boru Sagala (isteri Sisingamangaraja XII), dan putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil, yaitu Raja Buntal, dan Pangkilim. Berikutnya pengikutnya pun berpencar dan meneruskan perlawanan.
Sebelum Sisingamangaraja XII gugur, ia pernah ditawari untuk diangkat sebagai Sultan atas Tanah Batak oleh Gubernur Belanda Van Daalen. Bahkan Sang Gubernur sendiri berjanji akan menyambut kehadirannya dengan seremonial tembakan meriam 21 kali. Akan tetapi, Sisingamangaraja XII menolaknya bahkan semakin gencar melakukan perlawanan.
Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung, Balige, seperti sekarang ini sejak 17 Juni 1953.
Anda dapat menyusuri jejak sejarah Sisingamangaraja XII dengan mengunjungi Istana Sisingamangaraja yang sudah berumur 103 tahun di Kecamatan Bakti Raja, Humbang Hasundutan. Di areal seluas 100 x 100 meter itu berdiri istana yang meliputi tiga buah rumah adat, yaitu rumah bolo, sopo parsaktian dan sopo bolon. Ada juga bangunan peninggalan sejarah berupa tempat pemujaan dan lainnya. Temukan juga Batu Siungkap-ungkapan atau Batu Panungkunan Boni di sekitar Istana Sisingamangaraja. Posisinya tepat di sebelah kiri pintu masuk istana. Menurut cerita masyarakat setempat, batu itu digunakan sebagai tempat petani meminta petunjuk untuk waktu turun ke sawah sehingga diharapkan nantinya hasil panen dapat baik dan melimpah.
Kunjungi juga Tapak Kaki Gajah Raja Sisingamangaraja dimana menurut cerita masyarakat setempat, Raja Sisingamangaraja menunggangi seekor gajah dan pada titik tertentu, gajahnya menginjak tanah lalu mengakibatkan keluar air. Sampai saat ini air tersebut dipercaya oleh masyarakat dapat membawa berkah dan mengobati berbagai macam penyakit.
Di Desa Bakkara, Kecamatam Bakti Raja, Kabupaten Humbanghasundutan, ada banyak peninggalan Raja Sisingamangaraja. Tempat tersebut sangatlah indah, sejuk dan nyaman. Ada juga Gua Tombak Sulu-sulu yang dulunya adalah tempat menenun ibu Raja Sisingamangaraja dan sempat menjadi tempat persembunyian Sisingamangaraja dan pengikutnya saat dikejar pasukan Belanda. Lokasi gua tersebut sekira 500 meter dari sebuah perkampungan terdekat.
Di Desa Sinambela, Kecamatan Bakti Raja, ada sebuah pohon hariara yang dipercaya masyarakat setempat sebagai tongkat Raja Sisingamangaraja yang ditancapkan di tanah lalu tumbuh menjadi sebuah pohon. Pohon besar itu tingginya 50 meter dengan diameter 5 meter dan usianya sudah ratusan tahun. Pohon hariara adalah sejenis pohon beringin dan banyak terdapat di Pulau Samosir.
Untuk menghormati perjuangan Raja Sisingamangaraja XII, tahun 1979 dibangun Monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di Kota Medan. Selain itu, beberapa universitas menggunakan namanya, yaitu: Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan (1984), Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara (1986), dan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan (1987).