Wajah Bandung yang Flamboyan adalah Wajah Wolff Schoemaker

Seberapa dalam Anda mengenal Bandung maka wajah yang terpancar sejatinya itu adalah karya seorang arsitek bernama Wolff Schoemaker.

Seorang pakar arsitektur asal Belanda, H.P. Berlage ketika berkeliling di kota ini mengutarakan bahwa “Bandung sejatinya adalah kotanya Schoemaker bersaudara”. Itu tidaklah berlebihan karena memang Wolff Schoemaker dan kakaknya, yaitu Richard Leonard Arnold (R.L.A.) Schoemaker begitu terpandang dalam dunia arsitektur Hindia Belanda dengan banyak melahirkan karya monumental di beberapa kota terutamanya paling banyak adalah di Bandung.

Memiliki nama lengkap Prof. Ir. Kemal Charles Proper Schoemaker (1882-1949) merupakan arsitek yang melahirkan banyak karya indah dan megah di negeri ini terutama di rumah peristirahatan terakhirnya, yaitu Bandung. Schoemaker merancang banyak gedung di Bandung ketika kota ini bersolek hingga memikat banyak orang Eropa di Hindia Belanda ini untuk berplesir ke Kota Kembang. Jadilah Bandung dengan karya arsitertur Wolff Schoemaker sebagai kota berwajah Eropa dengan citarasa yang megah.

Karya-karya Wolff Schoemaker memiliki kualitas desain arsitektural megah memukau dan memberi manfaat besar karena terus digunakan meski sebagian di antaranya telah berubah fungsi. Bukan hanya mencipta gedung indah sarat fungsi tetapi juga berhasil menancapkan karyanya sebagai penanda fisik penting di Kota Bandung.

Wolff Schoemaker pun telah berjasa bersama Thomas Karsten dan Henry McLaine Pont dalam banyak karya tulis dari hasil penelitian terkait kebudayaan Nusantara, termasuk arsitektur tradisional candi Nusantara. Karya Schoemaker telah membentuk kesatuan pandangan arsitektur yang memerhatikan potensi dan budaya setempat dimana itu tampak pada karyanya.

Perhatikan lekuk detail karya Schoemaker yang tidak murni Eropa itu berbaur menyatu dengan pengaruh lokal menjadi karya baru yang indah mulai dari gedung pertemuan, hotel, gedung kantor, gedung komersial, masjid, gereja, rumah tinggal, penjara, hingga laboratorium penelitian. Tak pelak, karya Schoemaker itu telah melewati zamannya memberi arti akan keberadaan dari mana ia berasal dan dimana ia berkarya saat itu.

Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika tidak jauh dari Alun Alun Kota Bandung adalah salah satu karya Schoemaker yang menyejarah. Gedung ini bukan saja indah tetapi sekaligus amat penting dalam menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955. Gedung Merdeka meski pada abad ke-19 mulanya digunakan sebagai gedung Societeit Concordia yaitu tempat perkumpulan orang-orang terkemuka Eropa namun Schoemaker telah berjasa merombaknya tahun 1930 dari idiom klasik ke alam nuansa arsitektur modern. Begitu pentingnya gedung bersejarah ini bagi Indonesia dan negara di Asia dan Afrika maka hingga kini tidak ada sedikit pun perubahan berarti dilakukan terhadapnya.

Untitled

Karya lain yang membuat jalinan simpul erat karya Schoemaker di kawasan Alun Alun Bandung adalah hadirnya Hotel Preanger. Meski sudah ada sejak tahun 1920 namun bangunannya yang sekarang merupakan hasil renovasi tahun 1929 oleh Schoemaker dibantu muridnya, Ir. Soekarno yang kemudian menghadirkan hotel paling eksotik pada masa kolonial di Jalur Anyer Panarukan yang melalui pusat Kota Bandung saat itu. Hotel Preanger tampil dengan motif geometrik yang secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunannya. Karya ini kemudian menjadi identitas tersendiri dengan sebutan Art Decorative (Art Deco). Hotel Preanger mengingatkan orang pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright awal 1920-an, terutama karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925). Bisa dimungkinkan Schoemaker terimbas pengaruh maraknya langgam serupa di kota-kota Eropa tahun 1920-an karena ia pun pernah merancang dua bangunan komersial di Surabaya serupa, yaitu Kolonial Bank yang berlokasi Jalan Jembatan Merah dan Java Store di Jalan Tunjungan.

Ada gedung lain karya Wolff Schoemaker di Bandung yang memukau terhimpit di antara empat jalan, yakni Jalan Banda, Jalan Menado, Jalan Blitar, dan Jalan Sunda. Gedung itu bernama Jaarbeurs de Bandung. Awalnya gedung yang dibangun tahun 1920 itu diperuntukkan demi keperluan pameran hasil industri organisasi pengusaha industri bernama Vereniging Nederland Indische Jaarbeurs de Bandung. Gedung dengan gaya modern tersebut kini masih indah bertahan meski berganti fungsi menjadi salah satu Markas besar Kodam III Siliwangi. Bila Anda perhatikan, gedung ini memiliki ciri berupa elemen dekoratif klasik tiga buah patung pria di bagian pintu masuk dan bangunan utama paling depan dekat gapura masih utuh sedari awal berdirinya. Bangunan gedung ini memiliki desain dan tata letak dengan menghadirkan banyak ventilasi untuk memasukkan cahaya dan udara alami yang tertata sangat baik.

Amati pula karya Wolff Schoemaker berupa masjid di Bandung, yaitu Masjid Cipaganti di Jalan Cipaganti. Bangunan masjid dari tahun 1933 ini memadukan unsur Jawa dengan Eropa. Unsur seni bangunan Jawa tampil dalam penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat, serta detail ornamen berupa bunga maupun sulur-suluran. Sementara nuansa Eropa hadir pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap dan penataan massa bangunan pada lahan ‘tusuk sate’ antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra. Pola penataan bangunan seperti ini menjadikan masjid tersebut tampak paling menarik jika dilihat dari Jalan Sastra karena terbingkai deretan pepohonan sekaligus menunjukan Eropasentris yang merasuk dalam tata letak bangunan masjid di Jawa.

Seakan ingin menghadirkan keharmonisan religi yang heterogen, Wolff Schoemaker meletakan bangunan gereja tidak jauh dari Masjid Cipaganti, yaitu keberadaan Gereja Bethel yang menghadap Sythof Park Pieter (Taman Merdeka). Bangunan gereja ini lagi-lagi mengambil bentuk atap tajug Jawa serta sentral Palladian dengan menara sudut. Pintu utama gereja ini mengambil inspirasi gothik atau bisa pula mengingatkan bentuk Gereja Romanesk.

Apabila Anda pernah menyambangi Observatorium Bosscha (Bosscha Sterrenwacht) di Lembang, Bandung maka perlu tahu bahwa gedung tersebut juga dirancang Wolff Schoemaker. Bangunan yang berfungsi sebagai tempat peneropongan bintang itu merupakan yang tertua di Indonesia bahkan Asia. Bentuknya yang unik dan dapat terbuka atapnya memang sejak awal difungsikan untuk kepentingan pengembangan ilmu astronomi oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Hingga kini fungsi bangunan ini selain menjadi rujukan astronomi di Indonesia juga kerap menjadi tujuan edukasi wisata di Bandung.

Karya lain dari Wolff Schoemaker yang paling indah adalah dua villa di Bandung, yakni Villa Merah dan Villa Isola. Villa Merah berlokasi di Jalan Tamansari dan merupakan rumah tinggal pertama Schoemaker. Bangunannya sangat menonjol memadukan seni bangunan Eropa dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembab. Material bangunannya dipaparkan terbuka sehingga warna merah mendominasi hampir seluruh bangunan kecuali atap yang menjulang dan menjadikan vila ini begitu unik karena tanpa padanan.

Sementara itu, Villa Isola merupakan bangunan megah bergaya arsitektur modern yang dianggap berhasil menyatukan bangunan dengan lingkungannya. Tidak itu saja, hunian yang dibangun tahun 1933 ini merupakan contoh perpaduan serasi antara seni bangunan corak Barat dan Nusantara. Tata letak bangunan indah ini mengikuti sumbu utara-selatan dengan taman memanjang menuju arah Gunung Tangkuban Perahu. Kesatuan bangunannya adalah bentuk geometri yang meliuk-liuk plastis dengan ornamen garis-garis moulding dengan memanfaatkan efek gelap-terang sinar Matahari. Berada di Bandung Utara, bangunan di dataran tinggi ini menyajikan pemandangan ke utara yakni Gunung Tangkuban Perahu dan ke selatan ke arah Kota Bandung. Hebatnya adalah pemandangan tersebut dapat dinikmati dari berbagai sudut seperti ruang tidur, keluarga, makan, dan terutama teras atau balkon. Villa Isola yang berlokasi di Jalan Setiabudi itu kini menjadi gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Villa Isola merupakan salah satu karya puncak Wolff Schoemaker karena perancangannya banyak disebut banyak arsitek cocok dengan jiwanya yang penuh romantisme dan petualangan. Villa Isola juga merupakan salah satu karya arsitektur modern gaya Art Deco yang berhasil di dunia.

Selain gedung pertemuan, hotel, kantor, dan villa, Wolff Schoemaker juga merancang desain bangunan Penjara Sukamiskin. Bangunan penjara yang dibangun tahun 1918 ini mulai digunakan sejak 1924 dan berlokasi di Jalan Cicaheum-Ujung Berung. Bangunan arsitekturnya adalah modern dua lantai dengan kapasitas 547 penghuni. Sekilas, penjara ini mirip dengan Alcatraz di tengah Teluk San Fransisco, California, Amerika Serikat. Komplek Penjara Sukamiskin berdiri di atas lahan seluas 6 hektare, meliputi empat hektare untuk perkantoran dan kamar hunian yang terbagi atas empat blok, yakni, barat, timur, utara, dan selatan. Cerita tersendiri bagi Schoemaker dan kontraktornya, yaitu Lim A Goh, bahwa keduanya sempat dipenjarakan di situ saat masa Pendudukan Jepang.

Semua gedung karya Wolff Schoemaker telah tercatat sebagai warisan cagar budaya di Bandung saat ini. Peruntukannya memang telah beralih fungsi namun keindahan dan jiwa karya yang ingin ditampilkan sang perancang flamboyan itu tetap melekat erat bersama tumbuhnya Bandung sebagai kota metropolitan. Saat ini gedung-gedung tersebut selain menjadi tempat tujuan wisata sejarah dan juga menarik minat fotografer untuk menjadikannya latar foto pernikahan atau pemotretan model.

Seorang Muslim yang Flamboyan

Saat ini memang tidak mudah memperoleh informasi sejarah tentang sosok Wolff Schoemaker selain jejak karya arsitektur di Bandung. Hal utama penyebabnya adalah hilangnya data-data tersebut pada masa Pendudukan Jepang dan berlanjut Agresi Militer Belanda I dan II. Sejumlah informasi terkait sosok Wolff Schoemaker mungkin bisa diperoleh dari buku “Tropical Modernity; The Life & Work of C.P. Wolff Schoemaker” karya C.J. van Dullemen. Sang penulis menuturkan bahwa informasi terkait Wolff Schoemaker itu banyaknya mengandalkan ingatan dari mantan mahasiswa, dosen, dan professor saat aktif mengajar di Technische Hoogeschool (ITB).

Wolff Schoemaker lahir dengan nama lengkap Charles Prosper Wolff Schoemaker di Banyubiru, Semarang, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882. Ia awalnya menjalani pendidikan Akademi Militer di Belanda hingga lulus dengan pangkat letnan zeni militer namun sekembalinya di Hindia Belanda tahun 1905, Wolff Schoemaker justru bekerja sebagai arsitek militer untuk Pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1911 ia keluar dari dinas militer dan dua tahun kemudian bekerja sebagai insinyur teknik pada Dienst Burgerlijk Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum Batavia). Saat menjabat sebagai direktur di Gemeentewerken Batavia diketahui ia menjadi seorang Muslim.

Wolff Schoemaker sempat menjadi guru Soekarno kala belajar di Technische Hogeschool. Wolff Schoemaker yang seorang Muslim bahkan menyarankan mantan muridnya itu dimana kemudian menjadi presiden pertama Indonesia agar mengarahkan republik yang baru berdiri tersebut menjadi Kesultanan Indonesia Islamiyah. Itu karena dalam pandangan Schoemaker sistem demokrasi dari Barat tidak tepat untuk dijalankan di Nusantara. Beberapa pandangannya mengenai Islam sempat dituangkannya melalui tulisan yang diterbitkan tahun 1937 dalam koleksi essay berjudul “Cultuur Islam”.

Mengenal sosok Wolff Schoemaker sangat menarik hingga pada pilihannya menjadi seorang Muslim. Nama ‘Kemal’ yang dilekatkan padanya disebut beberapa kalangan adalah gelar yang diberikan rekan-rekan sesama Muslim saat ia memilih mengkonversi agamanya menjadi Islam. Wolff Schoemaker adalah seorang Muslim yang aktif dalam kegiatan Islam, diantaranya menjabat wakil ketua kelompok Western Islamic Association di Bandung dan bergabung dalam organisasi Persatoean Oemmat Islam setelah masa Perang Kemerdekaan.

Tahun 1938 Wolff Schoemaker mendapatkan tugas untuk menggantikan kakaknya, Richard Schoemaker, sebagai pengajar di Techincal University di Delft. Dalam perjalanan menuju Belanda itu Wolff berkesempatan untuk mampir dan tinggal di Kairo, Mesir. Setelah berada di Belanda, tahun 1938 Wolff Schoemaker memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Akhir tahun 1939 Wolff kembali ke Bandung dan melanjutkan tugasnya sebagai professor di Technische Hoogeschool (ITB).

Sebagai pengajar senior, Wolff Schoemaker disegani mahasiswa Indonesia karena ketegasannya sementara di kalangan mahasiswa Belanda dan orang Eropa mereka masih tidak dapat memahami pilihan Wolff Schoemaker berpindah agama menjadi Islam. Wolff Schoemaker menyatakan bahwa karakter humanis dan toleran dalam Islam memberikan peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Itulah yang membuat Wolff Schoemaker merasa cocok dengan pilihannya. Wolff Schoemaker merupakan figur yang sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan dengan karakter unik meski tidak mudah dipahami lingkungannya saat itu. Tidak mudah pula untuk dapat berteman dengannya karena menilainya sebagai seorang temperamental namun sekaligus flamboyan.

Fakta unik tentang Wolff Schoemaker adalah meski kegiatannya sebagai Muslim cukup menonjol namun dari empat kali pernikahannya ia tidak pernah menikahi wanita Muslim. Anehnya juga sebagai seorang Muslim saat ia wafat pada usia 66 tahun (22 Mei 1949) ia oleh keluarganya dimakamkan di TPU Kristen Ereveld Pandu Bandung. Prof. Ir. Kemal Charles Proper Schoemaker memang hidup dari masa Pemerintahan Hindia Belanda namun ia hampir sepenuhnya mencintai negeri ini dan kota yang dibinanya, yaitu Bandung. Bukan hanya karena ia menjadi Muslim dan mendukung pergerakan kemerdekaan tetapi juga karena ia memang peranakan Indo-Belanda.

Hal yang perlu menjadi perhatian Pemerintah Kota Bandung terhadap arsitek sarat jasa ini adalah mengapa ia tidak memperoleh penghargaan sama sekali meski hanya menjadi nama jalan di kota tersebut. Padahal jelas berkat karya Wolff Schoemaker Bandung memiliki banyak ikon gedung dan bangunan yang mampu menjadi penanda fisik kota yang mendunia.