Sigale-Gale: Dari Tarian Hiburan hingga Tarian Kematian

Ketika orang bertanya apa yang paling mengesankan dari Pulau Samosir maka sebagian orang akan menjawab: “sigale-gale’. Mengapa? Apa uniknya?

Sigale-gale adalah salah satu atraksi seni budaya khas Batak Toba yang bisa Anda nikmati saat menyambangi Pulau Samosir, tepatnya di Desa Tomok Kecamatan Simanindo. Dalam bahasa Batak, sigale-gale berarti lemah gemulai yang diarahkan kepada boneka kayu yang menari layaknya manusia hidup. Boneka tersebut memiliki tinggi 1,5 meter dengan mengenakan baju adat Batak Toba.

Gerakan sigale-gale mengikuti iringan musik sordam dan gondang sabangunan. Kepalanya dapat berputar ke samping kanan dan kiri, kedua tangannya dapat ikut menari Tortor, serta menurunkan badannya seperti berjongkok di atas peti mati, tempat penyimpanan boneka ini.

Tarian Sigale-gale dilengkapi 8-10 orang penari yang mengiringinya dimana mereka menari tortor sesuai musik meskipun fokus utama tetap pada Sigale-gale. Sigale-gale dimainkan oleh satu sampai tiga orang dalang yang menarik jalur-jalur tali dari belakang boneka. Dahulu, Boneka Sigale-gale tidak perlu digerakan dengan tali, melainkan bergerak dengan sendirinya karena kerasukan roh gaib.

Cerita rakyat atau legenda yang beredar mengenai tarian sigale-gale adalah bermula dari seorang Raja bernama Tuan Rahat di Huta Samosir, Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak bernama Manggale. Pada zaman tersebut masih sering terjadi perang antar kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan, dan saat itu Manggale diutus untuk ikut berperang melawan musuh. Nahas yang terjadi sang putera gugur saat berperang dan meninggalkan duka mendalam bagi Sang Raja dan warganya.

Karena terpukul dan merasa kehilangan maka Raja Tuan Rahat jatuh sakit seakan kehilangan semangat hidup. Kondisi raja yang semakin kritis menggerakan hati penasehat untuk bertindak dengan meminta bantuan datu (dukun) sehingga diusulkan membuatkan patung kayu menyerupai wajah Manggale.

Pembuatan boneka dikerjakan di hutan belantara untuk mengambil kayu tertentu. Setelah boneka atau patung itu selesai dibuat, berangkatlah penatua dan penasehat kerajaan ke hutan di mana patung tersebut dipahat. Kemudian dilakukan upacara ritual yang dipimpin Datu dengan meniup sordam dan  memanggil roh sang putera mahkota untuk memasuki patung tersebut.

Patung Manggale diangkut dari pondok tempat pembuatan di dalam hutan menuju ke istana dengan iringan suara sordam dan gondang sabangunan sebagai alat musik yang dimainkan untuk memohon berkat dari roh leluhur. Setibanya di istana, Raja menangis menatap patung yang serupa dengan wajah putera kesayangannya dan tiba-tiba ia pun pulih dari sakitnya.

Menyusul tabuhan gondang Datu mengikatkan tali tiga warna berwarna merah, hitam, dan putih di kepala patung tersebut, mengenakan ulos, membaca mantra sambil mengelilinginya tujuh kali. Tiba-tiba patung tersebut bergerak dan manortor (menari tortor) bersama Datu, Datu pun menjemput Raja untuk menari bersama. Rakyat yang hadir dalam upacara tersebut pun ikut bergabung manortor bersama dengan Raja dan patung Manggale sampai sebelum fajar pagi, ketika roh yang ada di dalam patung kembali ke alamnya.

Sejak saat itu Raja selalu melakukan upacara ritual ini setiap kali ia merindukan anaknya untuk manortor bersama patung Manggale hingga ia meninggal dunia. Nama sigale-gale pun diberikan kepada patung tersebut karena gerakannya yang lemah dan seolah tak bertenaga. Sang Raja pun berpesan agar sigale-gale ditempatkan cukup jauh dari rumahnya yakni di Sopo Balian.

Seiring berjalannya waktu, kebiasaan Raja tersebut diperluas bagi setiap orang yang tidak memiliki keturunan, sehingga tarian Sigale-gale layaknya obat impian bagi orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya. Siapapun yang sengaja memesan sigale-gale untuk alasan tersebut dinamakan Papurpur Sapata yang artinya menabur janji.

Saat ini pertunjukan tari sigale-gale tergolong langka. Jumlah boneka kayu ini pun terbilang sedikit karena kepercayaan yang beredar di masyarakat, bahwa tidak mudah membuat Sigale-gale. Masyarakat Toba meyakini bahwa pemahat sigale-gale harus menyerahkan jiwanya kepada boneka kayu buatannya agar sigale-gale dapat bergerak layaknya manusia hidup.

Konon, sang pemahat atau yang disebut dengan datu panggana dipercaya akan menjadi tumbal setelah menyelesaikan pembuatan sigale-gale. Datu diyakini akan meninggal jika mengerjakannya sendirian sampai selesai. Oleh karena itu, dengan adanya kepercayaan tersebut pembuatan sigale-gale menjadi ekslusif dan tidak banyak. Kini pengerjaan Sigale-gale dilakukan lebih dari  satu orang untuk menghindari tumbal.

Kayu yang dipakai untuk membuat Sigale-gale juga harus kayu tertentu saja, yaitu kayu ingul dan kayu nangka. Jika bagian kepala dibuat dari Kayu Ingul maka bagian lainnya akan dibuat dari kayu nangka atau sebaliknya. Kemudian, patung Sigale-gale tidak diperkenankan disimpan di dalam rumah. Pembuat sigale-gale akan menyimpannya di tempat khusus di tengah persawahan yang disebut Sopo Balian.

Beruntung, pertunjukan tarian mistis ini masih melekat dalam budaya Batak Toba sehingga sampai saat ini masih dapat dijumpai sejumlah patung yang dipahat dari puluhan tahun silam. Pertunjukan sigale-gale sering digelar di Desa Tomok dan Museum Huta Bolon Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo. Jika beruntung, Anda akan menyaksikan tarian Sigale-gale dan Tortor di kawasan ini. Jika Anda ingin menonton pertunjukannya dapat memintanya kepada penari dengan biaya Rp 80.000-Rp 200.000 per pertunjukan.