Letaknya Bayung Gede sekira 30 kilometer ke arah Kintamani. Desa yang menyandang nama desa tradisional ini sejatinya seperti Penglipuran. Walaupun keaslian arsitektur di Penglipuran lebih mencolok namun Desa Bayung Gede tetap mempertahankan beberapa nilai adat yang hampir serupa dengan cerminnya di Penglipuran.
Jalur menuju Kintamani menaik. Di tepinya ditumbuhi berbagai macam pohon dan utamanya adalah pohon jeruk. Saat memasuki jalan menuju Bayung Gede, jalurnya akan terlepas dari arah menuju Kintamani yang lurus dimana kembali lagi hutan bambu mendominasi pandangan mata. Tidak heran berbagai komponen rumah di sini terpasang dari bambu karena alam telah menyediakan bambu sebagai kekayaan.
Di desa ini keunikan yang tidak dimiliki tempat lain di sekitarnya yakni adanya Setra Ari-ari. Itu adalah lahan khusus untuk menguburkan ari-ari dari bayi yang terlahir. Walau disebut sebagai kuburan, ari-ari tidak ditanam di dalam tanah namun disimpan dalam buah kelapa yang digantungkan di dahan pohon di kawasan pekuburan yang terletak di barat daya desa. Hal ini dilakukan sejak dahulu sebagai bagian dari tradisi masyarakat Bayung Gede. Bahkan, Penglipuran pun tak melakukan tradisi ini.
Menemukan Penglipuran
Penglipuran berada di Desa Kubu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dari Bandar Udara Ngurah Rai di Badung, Penglipuran dapat ditempuh dengan taksi atau pun mobil sewaan. Jalan tol yang baru selesai pada Oktober 2013 tentunya akan memperlancar perjalanan. Jarak antara Bandar Udara Ngurah Rai dan Desa Penglipuran sendiri sekira 60 kilometer atau 2 jam perjalanan dengan kendaraan.
Menuju ke Utara, melalui jalur ke arah Gianyar dan melewati jalur lingkar baru, perjalanan akan memakan waktu sekira 2 jam hingga mencapai Kota Bangli. Selama perjalanan, satu jam pertama masih diwarnai jalur by pass yang tidak begitu menawarkan kecantikan alam tetapi dapat dilihat berbagai artshop dan workshop seniman Bali yang menjadikan pulau ini sebagai pusat inspirasi mereka.
Memasuki daerah Gianyar, jalur akan berubah menyusuri jalan yang lebih kecil dengan pemandangan sawah dan perkampungan Bali. Bila perjalanan ditemani seorang tour guide, pastilah akan menjelaskan keunikan setiap daerah. Bila menggunakan taksi, biasanya mereka pun tahu apa yang menjadi kekhasan jalur yang dilalui. Baik mobil sewaan ataupun taksi, harga perjalanan menuju Desa Penglipuran tidak terlalu jauh berbeda. Bahkan bila rencana untuk menginap menjadi agenda maka menggunakan taksi adalah alternatif terbaik.
Dari Kota Bangli yang disebut-sebut tidak begitu ramai dibandingkan kota lain di Pulau Bali, Penglipuran berjarak sekira 4 kilometer ke arah Utara menuju Kintamani. Penanda jalan menuju Penglipuran tertera di tepi jalan dan gapura yang bersih dengan bunga-bunga nan asri di tepian jalan. Suasana ini jelasnya menggambarkan ketenangan sebuah desa tradisional.
Masuklah melalui lapangan parkir umum di Penglipuran untuk menuju kantor Badan Pengelola Pariwisata Desa Adat Penglipuran. Harga tiket bagi wisatawan Nusantara sementara masih berharga Rp10.000,- (dewasa) dan Rp7.000,- (anak-anak) sementara untuk wisatawan asing harga tiket Rp16.000,- (dewasa) dan Rp10.000,- bagi anak-anak.
Information center tersedia bagi pengunjung yang ingin menanyakan hal terkait desa wisata ini. Petugasnya sendiri adalah warga Penglipuran yang sudah tergabung dalam Badan Pengelola Pariwisata. Karena dikelola oleh desa adat maka petugas pun terkadang mereka yang memiliki pendidikan tinggi atau mantan pejabat pemerintah daerah yang secara adat terikat kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada wisatawan.
Warga dan Budaya Penglipuran
Hanya karena disebut desa tradisional bukan berarti pemikiran dan kebijaksanaan warganya pun ikut tradisional. Warga Desa Penglipuran tak kurang modern dari mereka yang berdomisili di jantung wisata Kuta. Pemikiran mereka maju dan begitu pula semangatnya. Satu hal yang menjadikan mereka tetap bernuansa tradisional adalah integritas adat yang dikokohkan oleh komitmen kolektif masyarakatnya.
Beramunisi kesederhanaan dan keinginan untuk mempertahankan legasi para leluhur, warga Penglipuran beserta para pengelingsir atau sesepuhnya dapat muncul dan berdiri tangguh di antara desa-desa lain yang lambat laun terhimpit kepentingan kekuasaan dan komersil. Para sesepuh dan warganya tak pernah menyematkan predikat pada desa mereka sebagai ‘desa tradisional’. Lingkungan luar desalah yang mendandani persepsi umum hingga sedemikian, lalu kabar ciri tradisional ini seperti semerbak bunga di Pulau Dewata, bahkan Nusantara.
Pada akhirnya, warga di luar Penglipuran menyadari bahwa di tengah himpitan gelombang modernisasi dan kepentingan komersial, ada yang masih bisa mereka lihat tentang hal sudah lama hilang di lingkungan lainnya. Mungkin bagi tamu dari luar Bali segala sesuatu yang bernuansa Bali adalah asli. Bagi warga Bali di luar Penglipuran, keaslian itu seperti sedang dilucuti perlahan tetapi tidak di Penglipuran. Ada inti karakter adat yang dipertahankan di desa ini. Itulah bangunan inti dan tata cara hidup warganya, walau memang modernisasi pun sudah lama bergandengan tangan.
Konservasi Bangunan Berwawasan Desa-Kala-Patra
Semua desa di Bali menganut konsep konservasi, yaitu mempertahankan budaya, tata cara, adat istiadat, dan juga tata ruang bangunan di Bali yang oleh aturanasta kosala kosali. Tidak heran bila tamu atau warga di luar Pulau Bali selalu melihat Bali seperti desa teramat besar yang masih mempertahankan keaslian budaya dan adat serta tata cara hidupnya. Warga Bali yang sembahyang dengan mengenakan baju adat, lalu mempersembahkan sajen berupa yadnya atau persembahan bagi Tuhan maupun Dewa dan para bataranya adalah sebuah daya tarik. Kekhasan ini yang menjadikan Bali tetap begitu menarik bagi siapa pun yang mengunjunginya.
Akan tetapi, banyak pula orang berpandangan bahwa keaslian Bali sudah luntur, tak lagi sama seperti apa yang dirintis leluhurnya. Pandangan itu tidak salah, bahkan sangat beralasan dan dibenarkan. Ada satu konsep yang juga diterapkan di seluruh Pulau Dewata dalam hal perubahan dan penyesuaian zaman. Konsep atau prinsip yang dimaksudkan ialah lentur atau dalam bahasa adat Bali dikenal dengan prinsip “Desa – Kala – Patra”.
Desa-Kala-Patra adalah sebuah prinsip yang masih dipahami secara sepintas, bahkan oleh warga Bali sekalipun. Secara harfiah, desa berarti ruang atau tempat dimana masyarakat tertentu hidup sebagai sebuah satu kesatuan sosial dengan tujuan yang sama. Kala sendiri berarti waktu atau masa yang tidak pernah berhenti hingga akhir zaman. Sementara itu, patra bermakna gambaran, kondisi yang terjadi, dan segala hal yang mengisi ruang dan waktu. Desa-Kala-Patra adalah semangat yang mendasari perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu di sebuah kawasan desa adat di Bali. Dapat pula diartikan ketiga kata tersebut sebagai pembangunan sebuah peradaban.
Penerjemahan keliru terkait Desa-Kala-Patra seringkali diarahkan kepada keaslian yang tidak dinamis, dimana suatu kebiasaan atau keadaan harus dipertahankan seperti asalnya. Padahal, penerimaan atau perubahan ke arah yang lebih berkesesuaian dengan zamannya dianggap salah dan menyimpang. Tentu, bukan itu yang dimaksud dalam semangat Desa-Kala-Patra.
Sebaliknya, prinsip ini dalam pembangunan dan dalam konteks Desa-Kala-Patra adalah berasaskan pelestarian atau konservasi hal-hal yang perlu dipertahankan, penambahan komponen yang diperlukan karena sebelumnya tidak ada, dan juga pemberdayaan manusia yang hidup dalam ruang dimana pembangunan itu berlangsung.
Dengan menerapkan prinsip ini, maka tidak ada salahnya bila dinding tembok yang sudah rapuh dan hancur yang akan mengurangi kualitas hidup bahkan membahayakan keselamatan warga terus diganti menjadi dinding baru dengan bahan yang lebih kokoh. Tidak salah pula bila jalan tanah yang membuat proses pembangunan di sekitar kawasan desa akhirnya diperbaiki dan diperbaharui kualitasnya dengan bahan yang lebih baik dan membuat semua warga lebih nyaman. Kloset duduk yang disediakan di homestay yang disediakan pun jangan dianggap sebagai penyimpangan, karena tidak semestinya memperlakukan tamu harus juga disamakan dengan kebiasaan warga dan tidak mengakomodir keperluan tamu.
Prinsip ini pun tidak semata-mata bisa menjadi pembenaran sebuah perubahan besar-besaran. Ada beberapa hal yang memang tetap harus dikonservasi terkait dengan adat, identitas sebuah masyarakat, dan karakter khas yang ingin dipertahankan di dalamnya. Artinya, dalam memahami dan menerapkan prinsip Desa-Kala-Patra, sebuah kebijaksanaan dan kearifan harus menjadi landasan kuat sehingga penerapan prinsip ini tidak menjadi sebuah penghalang ataupun penyebab kehancuran suatu adat istiadat dan akar budaya masyarakat. Dari perspektif pembangunan ekonomi, fleksibilitas ini ditujukan untuk tujuan utama bersama, yaitu peningkatan kesejahteraan warga. Di sini dijalankan prinsip berikutnya yang disebut Desa Mawa Cara, yaitu setiap desa memiliki kewenangan untuk menentukan cara atau jalan yang terbaik bagi warganya.
Dinding tanah liat yang tak berbeton masih hadir dalam suasana keaslian desa. Hal itu tampak dalam kehidupan warga Desa Penglipuran. Gerbang pintu masuk rumah yang disebut angkul-angkul sebagian masih ada yang berbahan tanah liat dengan atap bambu berlapis yang sangat indah. Lalau dapur dan bale yang senantiasa berdampingan letaknya akan dipertahankan berbahan bambu dan kayu. Hal-hal inilah yang ditawarkan oleh Penglipuran dan menjadi bagian dari konservasi yang didasari oleh prinsip Desa-Kala-Patra dan juga Desa Mawa Cara. Fleksibilitas, bukan kekakuan, dan juga kebebasan menentukan jalan terbaik.
Otonomi Seorang Pemimpin: Kelian Adat
Di Penglipuran tidak dikenal keputusan ‘kepala adat’ tetapi yang ada adalah keputusan ‘musyawarah adat’ dan ditetapkan oleh Kelian Adat. Kata kelian berasal dari kelih atau tua, atau juga ulu yang bermakna tinggi atau penghulu. Posisi pemimpin ini tidak boleh dicari dan tidak boleh dinanti-nanti. Mengapa demikian?
Sejak dahulu Bali sudah memiliki sistem pemerintahan adat yang memiliki independensi. Kekuatan sistem ini sudah memiliki bentuk yang jelas hingga suatu saat diperlukan 200 orang dari setiap desa untuk dipekerjakan atas permintaan kolonial Belanda. Saat itulah terbentuk sistem pemerintahan adminstrasi lingkungan di luar adat yang memiliki pertanggungjawaban pada Pemerintahan Hindia Belanda. Sistem ini yang menjadi cikal bakal terbentuknya pemerintahan lingkungan dinas.
Dari sejarah itu, hingga kini dikenal dua sistem yang berjalan dalam sebuah desa di Bali, yaitu desa adat dan desa administrasi. Desa adat dipimpin seorang kelian adat atau pemimpin adat yang bertanggung jawab pada warga adat. Sementara itu, pemimpin lingkungan oleh kelian dinas atau lingkungan bertanggung jawab pada pemerintah administrasi, misalnya kepada lurah, atau camat, dan bupati.
Desa adat memiliki aturan perundangan yang disebut awig-awig yang isinya mengatur segala hajat hidup dan kepentingan adat. Desa dinas memiliki perangkat perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Desa adat sejak tahun 2001 diganti sebutannya menjadi ‘desa pekraman’. Barang yang sama, nama yang berbeda. Sejarah pergantian nama ini didasarkan dari kepentingan penggunaan istilah yang lebih lokal, yaitu kraman yang berasal dari kata krama yang berarti warga atau penduduk. Kata adat konon disematkan oleh kolonial Belanda sehingga dengan alasan budaya dan historis maka desa adat dirubah menjadi desa pekraman.
Desa adat atau desa pekraman di Bali berdasarkan Peraturan Daerah Desa Adat nomor 06 tahun 1986 dan dimutakhirkan oleh Peraturan Daerah no. 03 tahun 2001 merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di provinsi Bali yang memiliki satu kesatuan tradisi dalam tata pergaulan hidup umat Hindu yang hidup secara turun temurun yang memiliki ikatan kayangan desa, yang mempunyai batas wilayah tertentu, dengan kekayaan sendiri dan memiliki kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri.
Pemimpin sebuah desa pekraman dipilih melalui musyawarah warga adat dan tidak ada campur tangan dari pemerintah atau siapa pun di luar lingkungan adat atau pekraman. Di Penglipuran, pemimpin adat atau kelian adat bukan dari bagian pemerintah daerah karena bila demikian, ia akan dengan mudah diperintahkan oleh atasan. Dengan demikian, seorang kelian adat tetap dijaga hak dan kebebasannya memimpin. Bukan saja pemimpin yang tak bisa diatur oleh pihak manapun. Warga adat pun seperti demikian sehingga sudah umum di Bali apabila saat keperluan adat biasanya diberikan kebebasan oleh siapapun termasuk pimpinan di pemerintahan sekalipun bahwa seorang warga terikat sebagai bagian dari pemerintahan atau pihak luar lain termasuk politik.
Seorang Kelian Adat atau pemimpin adat Penglipuran datang dari warga Penglipuran sendiri. Siapa pun dari 76 orang yang mau tidak mau di dalam kelompok itu harus siap dipilih, dan bukan mencalonkan diri. Ia harus berkarya tanpa pamrih atau yadnya, yaitu berkorban suci dengan penuh pengabdian yang ikhlas. Jangan heran bila seorang kelian adat berkarya selama belasan tahun tanpa dibayar. Prinsip ngayah dipegang erat atau bermakna ‘mengabdi tanpa pamrih’. Bila suatu saat dibayar atau digaji maka hal itu menjadi ancaman bagi hak dan kebebasan seorang pemimpin adat.
Seorang ketua adat yang baik akan mendahulukan swadharma atau kewajiban dibandingkan swadikara atau hak. Ia adalah bagian dari warga yang terikat dengan prinsip ngayah, dan saat dipilih warga maka ia akan memiliki kemanunggalan pikirian dan harapan warga dengan pikiran dan harapan dirinya. Akan tetapi kesuksesan yang tercipta bukan dan tidak boleh disandingkan langsung dengan pemimpin karena semua kesuksesan datang dari warga secara keseluruhan. Ini berkeselarasan dengan prinsip yang juga biasa diterapkan dalam prinsip di era Majapahit, yaitu Kedigjayaan Ira Narendra Ring Praja, keberhasilan saya adalah akibat dari keberhasilan warga.
Sakti Tanpa Aji, keperkasaan tanpa tanda jasa.
Banyak pihak menyadari kebebasan berpolitik dan berdemokrasi di Penglipuran. Tidak satu pun organisasi, perusahaan, atau pun pemerintah memberikan sumbangan dengan pamrih atau ikatan tertentu kepada desa adat ini. Dari hal itu maka tamu akhirnya dapat menikmati kenyamanan suasana desa asli yang bersih tanpa bendera politik, pesan komersial, ajakan berbau promosi ataupun semacamnya dalam bentuk visual apapun. Hal yang hadir dalam pandangan sejauh mata memandang di desa ialah rumah bergaya Bali Aga, penjor atau umbul-umbul tradisional, serta tentunya warga yang beraktivitas tanpa tamu merasa dipaksa untuk membeli atau paksaan apapun. Kedamaian telah ditawarkan dan kedamaian juga dijadikan prinsip oleh warga Desa Pekraman Penglipuran.
Dalam konteks kepemimpinan, masyarakat Bali Aga dan juga Bali Mula termasuk Penglipuran menganut sistem kepemimpinan kembar. Bahwa secara senioritas dan tidak berdasarkan pemilihan, pemimpin secara otomatis dipimpin oleh dua orang yang paling tua atau dituakan. Oleh karena itu, biasanya dalam masyarakat Bali Aga pemimpin dan warga tidak terlihat batas atau jarak yang memisahkan. Dalam penamaan pun tidak disebut ‘kepala’, tapi ‘tetua’ atau pengelingsir, yang berasal dari kata ‘lingsir’ atau tua. Kepemimpinan ini menjalankan prinsip ngiringan kayu ida dane atau maknanya mengikuti keinginan rakyat.
Dari 76 krama pengarep atau warga desa adat inti ini, kedudukan nomor 1 paling tinggi dan senior. Setiap orang akan mengikuti tahapan dari nomor 76 ke nomor 75 dan terus naik hingga puncak. Anggota yang berada dalam kelompok 76 ini akan lepas dari kelompok 76 saat anak termuda sudah menikah, atau istrinya meninggal dunia. Saat dua kondisi itu terjadi maka posisi di bawahnya akan naik menggantikan posisi anggota yang keluar tadi dan diikuti oleh semua yang ada di bawahnya. Sistem ini disebut sistem Ulu Apad atau bermakna yang di atas akan menarik mereka yang ada di bawah.
Karena keterbatasan sistem ini dalam mengikuti perkembangan zaman maka sistem pemerintahan kembar disesuaikan setelah masuknya masyarakat Bali Majapahit. Berikutnya menjadi sistem pemerintahan tunggal, yaitu tetua desa atau bendesa bisa dipilih dari tingkat mana pun yang akan menjadi kekuatan eksekutif dalam desa.
Warung Devi’s
Ada beberapa warung di Penglipuran yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi wisatawan ataupun warga desa. Warung-warung di sini menyuguhkan makanan ringan dan minuman instan dalam botol dan kemasan. Kopi pun biasanya dihidangkan dengan pesanan. Dari semua warung yang ada, Warung Devi’s adalah warung yang pada prakteknya menyediakan makanan dan minuman selayaknya di restoran atau warung makan. Berbagai menu bersahaja ditawarkan dengan kelengkapan seperti restoran pada umumnya. Mulai dari mie goreng, nasi goreng, serta nasi putih dengan hidangan lauk seperti ayam goreng sayur dan tumis capcay. Minuman pun dijajarkan dalam uraian menu minuman, mulai dari minuman instan hingga kopi Bali. Ada pula loloh cemcem, yaitu minuman khas asal Penglipuran.
Tidak jauh letaknya dengan lapangan parkir Desa Tradisional Penglipuran, hanya berseberangan saja dengan homestay milik desa adat, Warung Devi’s tampak seperti rumah biasa dengan angkul-angkul di depannya dan memiliki pura keluarga layaknya rumah-rumah lain di sepanjang jalan utama Penglipuran. Tempat ini tidak sukar untuk dicari karena dilihat dari muka jalan utama, terlihat tulisan besar tepat segaris lurus dengan angkul-angkul, Warung Devi’s.
Seperti sudah menjadi tradisi, seseorang yang telah memiliki anak akan menyandang nama anak pertama atau yang paling populer dalam nama orang tuanya. Devi adalah nama dari anak pertama Bapak Syukur. Pasangan ini memiliki pengalaman bekerja di dunia pariwisata. dimana sang ibu pernah bekerja di sebuah restoran dan suaminya bekerja di kapal pesiar. Dengan niat ingin menjalankan bisnis sendiri maka dibangunlah Warung Devi’s.
Tamu banyak hadir di Penglipuran dan untuk menikmati makan siang atau makan malam, biasanya mereka diarahkan untuk langsung makan di Warung Devi’s. Fasilitas seperti meja makan panjang di halaman rumah dan juga di bale keluarga tertata rapi. Selain tersedia saklar pengisi daya bagi pengguna gadget, Warung Devi’s juga menyediakan free Wifi yang sangat dibutuhkan oleh mereka yang kerap berkomunikasi lewat media internet. Bu Devi pun menyediakan homestay sederhana dengan bangunan yang sangat memadai.
Dinding bambu yang dibuat oleh Pak Syukur manarik perhatian banyak tamu. Pemilihan dinding bambu ini sengaja agar berkesesuaian dengan ambience desa tradisional. Di Warung Devi’s, pengunjung masih dapat melihat bagian dari konservasi bangunan lama, yaitu dapur bambu dan bale bambu. Keramahan Bu Devi yang sangat tulus membuatnya terkenal dan selalunya dikenang oleh tamu yang mengaku ingin kembali lagi dan menginap lama di rumah Bu Devi. Selain praktis untuk mencari makanan, fasilitas komunikasi di Warung Devi’s menarik perhatian tamu yang tergolong instensif menggunakan piranti komunikasi modern.
Teknologi Tak Mesti Hapuskan Tradisi
Radio komunikasi hadir di genggaman para pecalang atau keamanan desa untuk bertukar informasi. Smartphone bukan lagi sebuah kejanggalan dalam menggali dan merancang berita. Akan tetapi, seorang ‘mepengarah’ tak mesti sirna dari bumi Penglipuran. Mepengarah ialah seseorang yang dipercaya sebagai agen komunikasi yang mengumumkan atau pengarah untuk berbagai kegiatan warga.
Seorang mepengarah akan berjalan dari tepi utara (kaja) hingga ujung selatan (kelod) desa untuk kemudian meneriakkan dari mulutnya isi pengumuman. Dengan kuat teriakannya itu yang diulang maka dipastikan semua rumah akan mendengarnya.
Semisal suatu waktu akan digelar gotong royong membersihkan lingkungan maka seorang mepengarah akan meneriakan pengumunan dalam Bahasa Bali seperti berikut:
“Jero, krama desa penglipuran, benjang semeng mangde tedun ngayah mereresik ring wewidangan desa duwene”.
Dalam Bahasa Indonesia artinya: “Jero, warga desa penglipuran besok pagi gotong royong membersihkan linkungan.
Sajen
Sajen adalah persembahan yang diberikan kepada Tuhan sebagai bentuk rasa syukur karena telah memberikan berkah kepada manusia. Sebelum dikonsumsi, semua makanan dan segala rejeki manusia harus dipersembahkan dahulu sebagai lambang bahwa segalanya harus diterima dahulu substansi ibadahnya. Setelah makanan dipersambahkan maka makanan tersebut baru dapat dinikmati manusia.
Dalam istilah Bali, segala sesuatu yang telah selesai dipersembahkan disebut lungsuran. Mengkonsumsi lungsuran sudah biasa dilakukan. Apa yang dipersembahkan kepada Tuhan, sudah pasti bukan fisik sajennya tetapi niat manusia yang mempersembahkannya dan ruh makanan itu yang diserahkan kembali kepada-Nya. Masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa sebelum mencapai Tuhan, manusia yang masih hidup bisa meminta bantuan roh-roh suci untuk dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya. Roh-roh suci ini perlu diberikan sajen sebagai media untuk menjadi perantara permintaan pertolongan ataupun menyampaikan rasa syukur.
Mengkonsumsi sajen yang sudah menjadi lungsuran disebut nunas lungsuran atau menikmati makanan yang sudah diberkati para roh suci. Dalam proses pemberkatan ini semua hal-hal buruk dalam makanan sudah dihilangkan dan juga diyakini bahwa lungsuran ini sudah ditambahkan nilai yang lebih tinggi, baik dari segi spiritual maupun kesehatan. Jadi jangan merasa bersalah ataupun takut bila kita memakan bahan makanan yang sebelumnya menjadi sajen.
Tajen
Kurungan ayam jago atau ayam jantan tampak menghiasi suasana pagi di beberapa pekarangan rumah di Penglipuran. Sebagian warga gemar memeliharanya dan sebagian yang lain bisa lebih jauh dari sekedar memelihara hewan luar biasa ini.
Tajen, atat dikenal juga ‘gocekan’ adalah kegiatan mengadu ayam jantan yang digemari warga pria di Bali. Tajen berasal dari kata ‘tajian’ yang akar katanya adalah ‘taji’. Taji adalah bilah pisau yang diikatkan pada kaki kiri ayam jantan yang akan ditarungkan. Dahulu, tajen merupakan tradisi yang menyebar di seluruh pulau. Tahun 1981, segala bentuk perjudian di negeri ini harus dihapuskan dan karenanya tajen pun tak jarang melibatkan pertaruhan dalam bentuk uang dan benda sehingga tajen sempat dihapuskan izinnya. Selepas masa reformasi, membawa tajen kembali muncul ke permukaan sebagai salah satu tradisi adat yang justru tak boleh sirna.
Ayam jago yang diadukan tak sembarangan dalam jenis, warna, ciri, serta keturunannya. Setidaknya, dulu seperti itu. Saat ini, ayam tajen tidak hanya berasal dari Bali, karenanya hadir dalam berbagai event tajen adalah ayam jago dari Jawa, Lombok, Filipina, bahkan dari benua Amerika. Meski demikian, yang diperbolehkan ikut serta dalam tajen adalah untuk ayam-ayam yang berkualitas saja.
Ada satu jenis ayam jago yang menjadi pantangan untuk dimasukkan dalam arena tajen, yaitu ayam brahma dan ayam camah. Keduanya ialah ayam jago khusus yang sakral dan tidak boleh dijadikan ayam jago yang diperkelahikan. Ayam ini memiliki ciri memiliki raja wilah, yaitu flek hitam di kakinya, atau memiliki warna merah di semua uratnya, lidah, maupun kulit. Menurut kepercayaan mistis, bila dilanggar maka akan terjadi kekacauan dan juga penyakit bagi yang melanggar.
Jenis-jenis ayam jago yang dikenal di Bali bermacam-macam. Biasanya ciri itu dilihat dari bulu atau ules, dan karakter fisik lainnya. Ayam jago berwarna-warni disebut buik. Ayam jago abu-abu disebut kelau. Ayam jago berbulu merah disebut bihing, sendangkan ayam jago berwarna putih disebut sa. Ayam jago yang dadanya berwarna putih dan sayapnya merah disebut wangkas, serta ayam yang memiliki kombinasi warna merah, putih, dan hitam disebut brumbun. Ayam yang memiliki ciri berbulu lebat di lehernya disebut ook. Ayam yang berbulu di kepala disebut jambul dan ayam jago berbulu di kaki disebut godek.
Menurut sejarahnya, sabung ayam atau tajen di Bali berawal dari kebiasaan tentara dan masyarakat di Jawa Timur yang dibawa oleh pelarian prajurit Majapahit tahun 1200-an. Di Jawa Timur dahulu dikenal upacara yang disebut tabuh rah atau menumpahkan darah sabagai upacara pengorbanan, salah satu yadnyamasyarakat Hindu. Selain itu, ada versi lain menyatakan bahwa tajen merupakan salah satu bagian dari upacara odalan tahunan di pura yang mesti menghadirkan caru atau kurban.
Canang
Canang ialah wadah yang terbuat dari daun janur kuning sebagai tempat persembahan yang isinya terdiri dari pinang, sirih, dan kapur. Kita biasanya melihat canang di tepi jalan atau pun di depan rumah Bali. Sebetulnya, terdapat titik-titik penting dalam pekarangan rumah yang mesti disimpan persembahan.
Orang Hindu Bali harus ngaturan canang dan bukan ngaturan banten. Banten ialah persembahan yang terdiri dari buah-buahan yang tersusun indah dan tersusun tinggi. Mengapa harus ngaturan canang, bukan ngaturan banten, karena pada substansi yang disebut juga tattwa, seseorang harus tahu arti mempersembahkan dengan bunga, atau pinang, sirih, dan kapur. Hal itu adalah perlambangan dari Tuhan dengan cahaya dewanya.
Pinang, sirih, dan kapur memiliki makna spesifik. Ketiga komponen ini disebut porosan, yaitu berasal dari kata poros atau inti. Pinang berwarna merah melambangkan Dewa Brahma atau cahaya penciptaan. Daun sirih berwarna hijau melambangkan Dewa Wisnu atau cahaya pemeliharaan. Sedangkan kapur berwarna putih, sebagai perlambang Dewa Siwa, atau cahaya kekuatan peleburan. Ketiga komponen ini adalah inti dari persembahan kepada Tuhan.
Di Penglipuran, setiap pagi dapat dilihat canang dipersembahkan di berbagai sudut pekarangan seperti biasanya juga dapat dilihat di banyak tempat di Pulau Bali. Lihatlah susunan yang ada di dalamnya dan amati unsur-unsur warna yang diletakkan di dalamnya.
Karang Memadu
Di area nista pada tata ruang desa, yaitu di tepi teben atau barat daya desa, terdapat sebuah tanah kosong yang bernama Karang Memadu. Tanah ini disediakan desa adat bagi anggota warganya yang melanggar aturan khusus dalam ihwal perkawinan. Bagi warga Desa Penglipuran, poligami adalah hal terlarang. Tidak satu pun warga Desa Penglipuran dari dahulu hingga kini diperbolehkan untuk memiliki istri dua secara bersamaan dalam waktu yang sama. Bila ada yang melanggarnya maka istri kedua akan ditempatkan di lahan ini, di Karang Memadu.
Dari semua pelanggaran yang berpotensi terjadi di desa ini, tampaknya poligami mendapatkan perhatian khusus. Undang-undang adat yang disebut awig-awig menetapkan bahwa hukuman bagi warga yang melakukan poligami akan ditempatkan secara khusus di Karang Memadu. Hingga kini, lahan Karang Memadu tak berisi rumah satu pun. Artinya, tak ada seorang pun berani melanggar aturan ini.
Awig-awig menetapkan bahwa dasar perkawinan adalah menciptakan kondisi sakral dimana suami istri harus membina keluarga dengan baik dan tujuannya untuk menciptakan kebahagiaan, lahir dan batin. Memadu dikhawatirkan akan mengarah pada kejadian kekerasan dalam keluarga, baik secara lahir maupun batin. Tidak akan ada seorang suami yang rela istrinya dihukum secara adat dan ditempatkan di Karang Memadu. Biarpun secara awig-awig ditetapkan bahwa istri yang ditempatkan di sana akan dibuatkan rumah oleh warga desa adat tetap saja hal ini menjadi sebuah hukuman yang membuat seseorang merasa malu, sebuah sanksi sosial, hukuman moral yang harus dihindari.
Dalam konteks adat, sebetulnya tidak ada hukuman tapi pengenaan sanksi. Di dalamnya, terdapat tiga macam sanksi atau denda yang disebut danda. Danda-danda tersebut yakni harta danda, jiwa danda, dan askara danda. Harta danda ialah sanksi yang dibebankan berupa pengeluaran harta benda, termasuk uang. Jiwa danda ialah sanksi yang berkaitan dengan pengenaan sanksi badan secara fisik maupun non-fisik, misalnya dahulu dengan dihukum mati, atau sekarang dengan pengucilan yang membuat seseorang merasa malu sejalan dengan berubahnya peradaban manusia. Sedangkan askara danda adalah sanksi bagi mereka yang melanggar kesucian sehingga sanksinya harus melakukan yandya atau pengorbanan suci dengan penyucian diri atau tempat agar dapat mengembalikan kesucian diri atau tempat. Dalam hal ini, karang memadu ialah jenis sanksi yang tergolong pada jiwa danda.
Peradilan adat kukuh untuk menegakkan asas kedamaian dan kepatutan. Saat terjadi perselisihan, diupayakan diselesaikan secara adat dan bila tidak selesai maka dapat diteruskan ke tingkat hukum perundang-undangan negara atau hukum positif. Dengan menegakkan kekuatan hukum adat ini akan dipelihara martabat yang dihukum dan juga yang menang. Sekala, atau alam nyata, dan niskala atau alam ghaib menjadi penting dalam pertimbangan keputusan adat sehingga ada pertanggungjawaban kepada masyarakat dan juga kepada keyakinan agama.
B. Lingkungan Penglipuran
Hutan Bambu Penyangga Kelestarian Desa
Sudah pasti dalam menyisir manfaat hutan bambu bagi Penglipuran akan diawali dengan prinsip Tri Hita Karana, tiga penyebab keharmonisan atau keseimbangan, meliputi: pertama, parahyangan, atau keharmonisan manusia dengan tuhannya, kedua, pawongan, atau keharmonisan manusia dengan sesamanya, serta ketiga, palemahan, atau keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya.
Berkaitan hutan bambu, jelas di dalam konteks Tri Hita Karana berada dalam pembahasan palemahan atau keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya. Meski demikian, hal ini tetap tidak bisa lepas dan manifestasinya terkait sistematis dengan parahyangan dan pawongannya.
Tanpa hutan bambu yang mengelilingi Penglipuran, mungkin desa ini sudah berpindah. Betapa tidak, Desa Penglipuran berada di lereng sisi selatan Gunung Batur. Ketinggian desa ini berada di kisaran 500 hingga 600 meter di atas permukaan laut. Hujan yang hadir di bulan Februari hingga Maret, atau disebut pada saat Sasih Kawolu, bisa begitu kuat sehingga mampu menghadirkan banjir dari arah Desa Kayang di sebelah utara Penglipuran. Akan tetapi, berkat rentangan lahan hutan bambu di bagian utara Penglipuran, di belakang Pura Penataran dan Pura Puseh maka gerusan air hujan yang bisa saja menerjang turun dari bukit utara dapat ditahan dan diserap oleh lahan hutan bambu. Terjangan air akhirnya tertahan, dan airnya terserap, lalu disimpan sebagai cadangan air tanah Penglipuran.
Antara Penglipuran dengan Desa Kayang di sebelah Utaranya dibatasi hamparan hutan bambu yang memanjang selebar 200 meter. Keberadaan hutan ini sudah dipikirkan para leluhur untuk menjadi proteksi bagi kesejahteraan warga Penglipuran. Itu pun diberlakukan untuk semua penjuru mata angin di Penglipuran.
Luas lahan kawasan Desa Penglipuran mencapai 112 hektar. Dari luas tersebut, 45 hektar berupa hutan bambu. Dahulu, pastilah hutan bambu ini lebih luas lagi karena Kubu Bayung yang luasnya sekira 8 hektar pun dibina dari pembukaan lahan hutan bambu. Demikian luasnya hutan bambu bagi Penglipuran maka dari ruas-ruasnya yang kokoh berbagai komponen dari rumah-rumah yang didirikan di desa ini berasal dari bambu. Hal ini dapat terlihat dari bagian atap rumah dimana di tempat lain menggunakan sirap atau alang-alang, bahkan genting.
Jenis bambu yang tumbuh di hutan bambu Penglipuran ialah bambu tali dan bambu jajang hitam, jajang hijau, jajang kuning, dan jajang loreng. Walau dari hasil penelitian ditemukan 13 jenis bambu yang tumbuh di hutan bambu Penglipuran, dua jenis itulah yang terhitung paling banyak. Bambu yang tumbuh ditebang secara pilih dan hanya 2 atau 3 batang saja yang diambil dari setiap rumpun bambu.
Bambu ditebang saat seluhung batangnya sudah mulai lepas. Terkadang, pemilik petak hutan bambu menilai kesiapan sebuah batang bambu diperiksa dari bunyinya saat diketuk-ketuk dengan bilah golok yang biasa digunakan. Dengan sistem tebang pilih ini, hutan bambu akan tetap dimanfaatkan sebagai kawasan pelindung dan juga penghidupan yang harmonis bagi warga adat Penglipuran.
Secara adat pun ditetapkan bahwa penebangan batang bambu memiliki waktu-waktu tertentu. Tidak setiap hari bambu dapat ditebang. Dalam sebulan, ada 3 hari menurut penanggalan adat yang menjadi pantangan menebang, yaitu: iswara Kajeng, pancawara Umanis, dan ingkel Buku.
Hutan bambu diperlakukan sebagai tempat yang menjadi bagian dari kegiatan berwisata di Penglipuran. Jalan di antara hutan bambu disiapkan dengan memasang cornblock sehingga nyaman untuk berjalan kaki saat menyusurinya, atau memudahkan pemilik saat memeriksanya menggunakan sepeda motor. Dari pemanfaatan hutan bambu, pengembangan selanjutnya ialah mencari keunikan bambu untuk kepentingan kuliner.
Cerita Mitos Hutan Bambu di Penglipuran
Diceritakan dari generasi ke generasi, bahwa dahulu terjadi penyerangan Raja Panjisakti dari Singaraja ke Kerajaan Klungkung. Prajurit dan para pekerja pembawa logistik diserang saat tengah beristirahat di daerah Bangli di kawasan Kekeran, yaitu di perbatasan Penglipuran dengan Kayang di sebelah utara desa saat ini. Dalam waktu peristirahatannya, para prajurit dan pekerja itu terperangah melihat api berkobar dari tubuh seseorang yang terlihat dari kejauhan. Ternyata api yang berkobar itu berasal dari tubuh Raja Bangli yang sakti mandraguna.
Melihat kejadian tersebut, para prajurit dan pekerja dari Kerajaan Singaraja berlarian ketakutan dan merasa penyerangannya sudah diketahui dan dinantikan. Perbekalan yang ditandu batang-batang bambu dan tombak yang dimiliki para prajurit pun ditinggalkan dan sebagian tertancap di tanah. Karena kesuburan tanahnya maka bambu-bambu yang tertanam tersebut kemudian tumbuh dan berkembang hingga menjadi hutan bambu yang luas.
Bambu Dianyam Indah
Bahkan seorang Ibu Negara pun sempat singgah untuk melihat sendiri seperti apa bambu melambai-lambai terhempas angin berubah menjadi susunan kotak indah berwarna-warni berlukis style ukiran Bali yang molek. Itulah Penglipuran yang kaya dengan bambunya yang merentang lebar seluas 45 hektar. Warganya tidak bisa tinggal diam melihat kekayaan itu, dan dengan kearifan lingkungan yang diturunkan leluhurnya, warga pun membatasi diri untuk tidak serta merta menjadi masyarakat industri kerajinan. Dari seluruh warga yang ada di Penglipuran berjumlah 936 orang, menurut data tahun 2013, hanya 75 orang yang terlibat dalam kerajinan bambu.
Bambu akan diambil dari hutan bambu yang dimiliki oleh perorangan yang menyewa lahannya dari adat. Dengan aturan yang diberlakukan, para pemilik hutan bambu akan memanen bambunya dan dijual kepada pembeli, salah satunya adalah perajin bambu. Karena pembuatan kerajinan terdiri dari beberapa proses pembuatan, mulai dari pemotongan hingga pembuatan bahan dasar dan juga finishing maka para pembuat bahan dasar biasanya membeli bilahan bambu yang sudah disiapkan oleh pemanen bambu.
Setelah dipanen, bambu dibuat dalam bentuk bilahan dan dihaluskan sesuai keperluan untuk bahan dasar. Bilahan bambu disusun di dalam ruang khusus yang menjadi workshop para perajin. Para perajin biasanya saling berkomunikasi untuk merencanakan produk yang akan dihasilkan. Para pembuat bahan dasar akan berkoordinasi dengan perajin yang berspesialisasi pada proses finishing. Ukuran, bentuk, bahan, dan jumlah yang dihasilkan akan didiskusikan.
Setelah mendapatkan jumlah yang disepakati, dimana sering kali jumlah disesuaikan dengan jumlah pesanan atau pun jumlah permodalan yang tersedia untuk produksi sebagai supplier ke berbagai point of sales maka dilakukan proses finishing yang melibatkan keahlian desain dan estetika yang tinggi. Tidak hanya mewarnai, bambu yang sudah selesai biasanya dibentuk dalam produk sokasi (sejenis bakul tertutup). Bentuk sokasi ini yang paling populer di Penglipuran karena banyak diperlukan untuk kepentingan peribadatan di pura atau perkawinan dan kematian, juga untuk kepentingan penjualan souvenir.
Sok dibuat dalam beberapa proses finishing, mulai dari pewarnaan yang dicelup, juga penggambaran desain yang akan memperlihatkan gaya ukiran Bali selain dibatik dengan bahan khusus. Sok-sokan yang dihasilkan dapat berharga mulai yang kecil dan sederhana Rp30.000,- hingga Rp300.000,- yang besar dengan desain rumit. Ada pula sok-sokan yang dibuat dari kulit bambu terluar yang ada di bagian luarnya dengan warna asli setelah diberi pengawet dan hiasan bisa berharga sekira Rp500.000 atau lebih.
Aliran Sungai Sangsang Pembawa Berkah
Sungai Sangsang bak urat nadi bagi Penglipuran. Singgahlah beberapa saat di hutan bambu yang memayunginya. Perhatikan bagaimana bambu dipanen di tepi aliran sungai, lalu lihatlah pula dinding-dinding cadas yang menyediakan aliran bagi jalannya air sungai. Di jalur berliku dan berbukit Desa Kayang, akan tampak pula batu paras yang ditambang. Dinding tebing Sungai Sangsang memberikan berkah lain selain hutan bambu di tepiannya. Para penambang harus mendaki jalan setapak yang curam untuk mengangkut bilahan batu paras yang sudah dipotong menjadi blok-blok berukuran 60 x 20 x 30 centimeter.
Sungguh luar biasa saat menyaksikan ibu-ibu bergelut dengan jalur mendaki, berlumur peluh membawa balok batu yang masih kasar di atas kepala mereka. Sebuah kebiasaan lama bagi para perempuan Bali untuk membawa segala benda di atas kepala mereka. Balok batu yang kira-kira seberat 10 hingga 15 kilogram per balok diangkat dan ditempatkan di atas kepala mereka sebanyak 2 hingga 4 balok. Artinya, beban terberat sekira 60 kilogram harus mereka pindahkan dari aliran Sungai Sangsang yang berada di bawah tebing, naik ke tepi jalan sejauh 100 meter atau bahkan lebih dengan jalur mendaki, sehari sebanyak 20 hingga 25 kali. Tidak akan percaya bila perempuan Bali disebut perempuan lemah secara fisik.
Anjing Penjaga
Walau tak setiap rumah memiliki anjing di Penglipuran, di beberapa sudut, anjing menjadi pemandangan lumrah. Bagi warga Penglipuran, memelihara anjing sudah menjadi tradisi seperti memelihara ayam. Anjing memiliki fungsi dengan sebutan pengijeng karang, atau penjaga pekarangan atau halaman. Bila digongong oleh anjing, setiap orang berjalan dan berlalu tanpa harus takut karena memang sudah tugasnya untuk menggonggong. Gonggongan mereka dapat dianggap sebagai sapaan bagi tamu.
C. Rumah Tradisional Penglipuran
Orientasi 9 Mata Angin Penglipuran
Adalah para pembawa agama baru yang merapihkan budaya dan keyakinan masyarakat Bali Mula. Pembawa agama baru sekarang dikenal dengan sebutan Bali Aga. Bali Aga datang dari Aga di daerah Gunung Raung di Jawa Timur yang dibawa oleh perguruan dari Resi Markandea. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Bali Mula masih sama dengan Bali Aga. Dalam beberapa hal, mungkinlah terdapat kesamaan tetapi yang jelas hubungan Bali Mula dengan Bali Aga seperti murid dan guru.
Masyarakat Bali Aga lambat laun mengajarkan keyakinan baru yang lebih sistematis kepada masyarakat asli Bali, Bali Mula, seperti berkitab suci dan berpemimpin spiritual. Dalam perjalanan waktu, banyak yang akhirnya berpadu menjadi pengikut Bali Aga dan ada juga yang bertahan dalam keyakinan lama, yaitu Bali Mula.
Gelombang berikutnya yang membentuk kelompok masyarakat Bali adalah Bali Majapahit di abad 14 dan 15 saat runtuhnya Majapahit. Masyarakat Bali Majapahit banyak tinggal di daerah dataran atau pesisir, sedangkan Bali Aga di pegunungan. Itulah sebab, Aga pun diartikan sebagai gunung atau masyarakat gunung. Perbedaan ini tidak pernah menjadi sebuah kesenjangan dan menganggap bahwa orang Bali adalah orang Bali seutuhnya yang memiliki prinsip Desa Mawa Cara, berasal dari latar belakang historisnya ini.
Dalam sistem keyakinan adat, Bali Aga dikenal mewariskan beragam konsep sosial termasuk sistem subak. Konsep lainnya dari Bali Aga ialah orientasi 9 arah mata angin yang dikenal dengan Nawa Sanga.
Arah Utama
Poros Tengah
Timur disebut Kangin atau Kanginan
Barat disebut Kauh atau Kawanan
Utara disebut Kaja, berasal dari kata ‘Ke Aja’ yang bermakna Ke tempat tinggi, atau ke atas. Utara pun berasal dari kata utama, dimana ‘ut’ artinya tinggi.
Selatan disebut Kelod, berasala dari kata ‘Ke Laut’ yang bermakna ke tempat rendah atau ke bawah.
Arah Antara
Timur Laut, antara Timur dan Utara
Tenggara, antara Timur dan Selatan
Barat Daya, antara Barat dan Selatan
Barat Laut, antara Barat dan Utara
Dari konteks kesucian, kaja ditempatkan sebagai tempat yang tinggi dan utama, walau konsekuensi orientasi arah mata anginnya tidak akan selalu bermakna Utara, seperti di daerah Singaraja yang berada di sisi utara gunung, dimana tempat tingginya secara logis ada di arah mata angin Selatan.
Tri Mandala Makro dan Mikro: Tata Ruang Desa Adat Penglipuran
Dari orientasi dan juga konteks kesucian ini, dibentuklah sistem Tri Mandala, yaitu tiga pembagian ruang yang didasarkan atas fungsi dan kesuciannya. Tri Mandala ini disederhanakan dengan pembagian poros ulu dan teben, yaitu pangkal dan ujung atau lebih spesifik di Penglipuran dengan poros kaja dan kelod, Utara dan Selatan. Selain kaja dan kelod, dikenal juga poros Timur dan Barat, karena dalam proses kehidupan, manusia selalu dipengaruhi oleh terbit dan terbenamnya Matahari.
Di Penglipuran, sisi timur dan utara dianggap sebagai sisi paling suci. Sisi utara disebut sebagai Utama Mandala. Lalu di Selatan disebut sebagai Nista Mandala. Di antara utara dan selatan, disebut tengah, atau Madya Mandala. Di setiap area kesucian ini, dibagi lagi menjadi tiga berdasarkan kesucian dan fungsinya, menjadi utama, madya, dan nista. Maka dari itu, terdapat sembilan (9) daerah berdasarkan fungsi dan kesuciannya. Hal ini adalah orientasi dan pembagian ruang secara makro atau ruang desa.
Secara mikro, hal ini pun diterapkan dalam pekarangan rumah dan di dalam rumah. Di dalam pekarangan, terdapat area utama, madya, dan nista. Di area utama ditempatkan pura keluarga. Tempat tinggal anggota keluarga ada di madya, dan tempat sampah atau kandang hewan peliharaan ada di nista. Hal ini berlaku secara mutlak di Penglipuran bagi pekarangan di sisi Barat. Untuk sisi timur, Tri Mandala mikro ini akan menjadi hal yang kurang implementatif dan kurang tepat dalam tatanan kesusilaan, dimana di depan rumah harus ditempatkan kandang hewan peliharaan atau tempat sampah dan lain hal yang kurang suci. Maka dari itu, Tri Mandala disebut sebagai pembagian ruang berdasarkan tingkat kesucian dan fungsi. Fungsi ini yang akan menjadi sebuah ruang untuk penyesuaian. Dengan demikian, Utama Mandala ada di tengah, Madya Mandala ada di Barat, dan Nista Mandala dipindahkan ke teben atau belakang atau rendah, yaitu di sisi timur.
Dalam penerapan Tri Mandala ini, Desa Penglipuran memandang bahwa jalur utama atau jalan utama merupakan tempat paling suci sehingga hal ini tidak menjadi sebuah kesulitan dalam menerapkan prinsip Tri Mandala. Jalan utama yang berada di Penglipuran merupakan bagian penting dari tata ruang perkempungan maupun pekarangan. Jalan utama disebut sebagai Rurung Gede. Rurung Gede memiliki nilai kesucian utama dalam konteks pengaturan pekarangan. Me Ulu Ke Marga adalah kearifan lokal setiap desa di Bali yang menjaga etika dan kesopanan dalam bermasyarakat.
Bila hanya diterapkan Tri Mandala dengan menganggap timur adalah daerah yang memiliki tingkat kesucian utama, dan barat memiliki tingkat kesucian terendah dimana biasa ditempatkan kamar mandi, tempat cuci, kandang babi, ayam dan hal-hal lain yang kurang suci maka bagi penghuni di sisi timur, angkul-angkul akan berada di teben atau belakang, dan tamu masuk dari arah teben. Secara etika hal itu pasti kurang berkesesuaian. Oleh karen itu, makna penting Me Ulu Ke Marga dengan pengertian kepala menuju ke jalan adalah prinsip yang menjaga martabat manusia dan mempertahankan etika sebagai bagian penting.
Bagi rumah yang berada di sisi timur, teben akan dipindahkan ke sisi paling timur dan menggeser ulu atau daerah kesucian utama ke bagian tengah, dan madya bergeser ke bagian barat yang menjadi di dekat angkul-angkul. Dengan demikian, Tri Mandala akan tetap terjaga sekaligus etika kesopanan sosial pun tidak dikorbankan.
Kosala Kosali
Metode pengukuran dan pengelolaan jarak dan dimensi ruang atau tata letak di dalam membangun sebuah set up kawasan pekarangan rumah tradisional Bali menggunakan cara yang disebut kosala kosali. Uniknya, cara ini memiliki unit pengukuran atau dimensi yang disesuaikan dengan ukuran fisik kepala keluarga pemilik pekarangan. Selain itu, nama unit ukuran pun diambil dari panjang anggota badan tertentu. Bila berbadan besar maka ruang pun akan sedikit besar dibandingkan mereka yang berbadan kecil. Jadi, seorang kepala keluarga semisal diharuskan memiliki dapur dengan ketentuan lebar 20 hasta, belum tentu sama dengan pemilik lain yang berbadan lebih besar dengan ukuran 20 hasta. Di sinilah terdapat nilai keadilan bagi setiap pemilik pekarangan.
Beberapa unit pengukuran yang umum digunakan dalam kosala kosali ialah musti, hasta, dan depa. Musti ialah dimensi yang digunakan berpedoman pada ukuran tangan mengepal dengan ibu jari menghadap ke atas. Hasta ialah pedoman dimensi menggunakan sejengkal jarak tangan manusia dari pergelangan tengah tangan hingga ujung jari tengah yang lurus terbuka. Sedangkan depa ialah pedoman pengukuran dengan menggunakan jarak antara dua bentangan tangan yang terbuka lebar.
Di Penglipuran, kosala kosali masih berlaku. Setiap pekarangan di jalur poros utama Utara-Selatan atau Kaja-Kelod didefinisikan sebagai ruang yang diberikan oleh adat kepada keluarga yang masuk ke dalam kelompok warga atau kromo atau krama pengarep, yang dibagi dua menjadi pengayah dan roban. Pengayah ialah mereka yang memiliki tanah ayah desa baik di jalur utama maupun di luar jalur utama. Sedangkan roban ialah mereka yang tidak memiliki tanah adat tapi bisa diberikan tanah desa melalui sistem sewa dengan bayaran tertentu dan secara tradisi dibayar sejumlah beras.
Contoh penerapan kosala kosali dapat dilihat dari letak dan besar sebuah dapur yang ada di setiap pekarangan rumah warga. Letak dapur selalunya terdapat di sisi utara pekarangan. Posisi dapur pun uniknya terletak pada garis yang sama dalam poros Utara-Selatan. Akan terlihat dapur yang berjajar segaris antara satu pekarangan keluarga dengan pekarangan tetangganya, baik tetangga di utara maupun di selatannya.
Pura
Sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan Jawa yang dibawa oleh Majapahit ke Bali, kata pura belum dikenal karena sebelumnya masyarakat Bali Mula dan Bali Aga menggunakan istilah Ulon Hulu. Setelah istilah itu, perkembangan menggantinya dengan kata Hyang. Dua istilah ini berulang disebutkan dalam prasasti Bali lama. Kata pura sebenarnya berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti kota, istana, rumah resmi raja, atau ibu kota kerajaan.
Dari objek pemujaannya, pura dibagi menjadi Pura Kahyangan Jagat, yaitu tempat persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasinya. Selanjutnya ialah Pura Kulawarga, yaitu tempat suci untuk memuja roh suci leluhur yang dianggap berstatus dewa-dewi.
Dari fungsinya, pura dibagi menjadi Pura Kahyangan Jagat atau pura umum, Pura Kahyangan Desa yang sifatnya teritorial, Pura Swagina yang dibuat berdasarkan fungsi atau pengelompokkan profesi warganya, dan Pura Kulawarga atau Kawitan.
Salah satu bagian terpenting dari keberadaan desa adat ialah adanya pura. Untuk dapat disebut sebagai desa adat, syarat minimal yang perlu dipenuhi ialah memiliki Pura Kahyangan Desa yang sifatnya teritorial, dimana salah satu jenisnya ialah adanya Pura Kayangan Tiga dan syarat ini mutlak dipenuhi. Pura Kayangan Tiga artinya tiga pura utama dalam konteks tata ruang desa adat. Pura Penataran, Pura Puseh, dan Pura Dalem adalah tiga syarat utama yang harus dimiliki sebuah desa adat tadi.
Pura Penataran ialah pura tempat Dewa Brahma sebagai manifestasi cahaya Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pencipta. Pura Puseh ialah pura tempat Dewa Wisnu sebagai manifestasi cahaya Tuhan yang memiliki sifat Maha Pemelihara. Sedangkan Pura Dalem ialah pura tempat Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk meleburkan hasil ciptaan-Nya. Desa Penglipuran memiliki tiga pura tersebut dan juga beberapa pura lain yang hadir sebagai bagian dari sejarah dan juga tradisi panjang keyakinan Hindu di Bali.
Pura yang juga melengkapi Desa Adat Penglipuran ialah Pura Penaluah, Pura Empu Aji, Pura Dukuh, Pura Rabut Sri Sedana, Pura Ratu Sakti Pingit, Pura Balai Banjar, Pura Ratu Sakti Gde Tungkub, Pura Dalem Prajapati, dan Pura Sakti Mas Ayu Manik Melasem. Semua itu adalah pura yang diusung oleh desa adat dan merupakan tanggung jawab pemeliharaan desa adat.
Di Pengliatan pun terdapat pura yang menjadi simbol peribadatan klan, yaitu Pura Dadia Dalem Tampuangan Pulasari. Di samping pura yang sedemikian banyaknya, pura keluarga atau pura sanggah di setiap pekarangan rumah akan memperkaya jumlah pura yang ada di Penglipuran.
Sebagai tempat suci, pura harus diperlakukan dengan baik. Saat memasuki pura, setiap orang, termasuk non-Hindu Bali harus mengenakan kain yang pantas untuk diterima dalam kondisi yang dibenarkan. Bagi wanita yang sedang menstruasi, memasuki pura merupakan sebuah pantangan. Selain kondisi tersebut bagi wanita, mereka yang tinggal di Karang Memadu pun dilarang untuk memasuki Pura Penataran. Di desa ini, bagi keluarga yang ditinggalkan oleh anggotanya karena meninggal dunia pun dalam kurun waktu tertentu tidak dapat memasuki pura karena dianggap belum suci. Agar dapat kembali memasuki pura, maka mereka harus terlebih dahulu disucikan.
Rumah
Bisa disebut bahwa keunikan Penglipuran ialah jumlah pekarangan rumahnya yang 76 di dalam lingkup desa adat. Di jalur utama terdapat 72 pekarangan rumah, dan 4 di luar jalur utama. Jumlah ini tidak ditambah walau ada kemungkinan untuk bertambah. Selama ini rumah dengan jumlah 76 ini tak pernah berubah jumlahnya. Konon, dulu jumlahnya hanya 45 dan sejalan dengan perkembangan warganya, jumlahnya mencapai 76 dan tidak pernah lagi ditambah.
Rumah-rumah di Penglipuran dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu bangunan tradisional dan bangunan non-tradisional. Bangunan yang masih tradisional pun dibagi menjadi bangunan asli dan sudah diperbaharui. Bagian utama dari sebuah rumah terdiri dari struktur utama yang terdiri dari rangka dan kolom, lalu ditutup struktur atap yang terdiri dari sunduk berbahankan bambu. Selain itu dilengkapi pula dengan bahan utama yang secara tradisi berbahan kayu dan bambu dimana lantainya berbahan tanah. Hal yang menjadi kekhasan rumah-rumah tradisional di Penglipuran ialah dindingnya yang berbahan dari bambu, atau gedeg.
Bambu telah digunakan sebagai bahan dasar sejak lama dalam pembangunan perumahan di Penglipuran. Karena lahan hutan bambu yang begitu luas, tak dapat dihindari bahwa penggunaan bahan bambu menjadi sangat dominan saat itu. Komponen bangunan dalam sebuah pekarangan perumahan yang paling menonjol dalam pemanfaatan bambu dapat dilihat dengan adanya atap sirap bambu, dinding bambu, dan tiang-tiang bambu yang masih lestari dalam bentuk angkul-angkul, dapur tradisional, dan juga bale.
Pelestarian penggunaan bambu sebagai bahan bangunan khususnya perumahan tetap dipertahankan dalam banyak aspek walau konsep konservasi budaya ini pun tak serta merta diterjemahkan sebagai sebuah keterbatasan dalam mengikuti perkembangan zaman. Berbagai bangunan baru tetap diperbolehkan dengan tidak merusak tatanan tradisi dan juga pesan konservasi yang diajegkan oleh adat di Penglipuran. Realitas kehidupan di Penglipuran tetap menghargai nilai-nilai manfaat yang praktis, ekonomis, dan ekologis.
Dalam membangun rumah, setiap kepala keluarga di Penglipuran masih menerapkan prinsip Tri Mandala, tiga ruang fungsi dan kesucian. Tri Mandala terdiri dari Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Utama Mandala merupakan area yang paling disucikan terletak di sisi Timur Laut. Madya Mandala adalah bagian kedua yang merupakan tempat kegiatan keluarga sehari-hari. Nista Mandala ialah bagian ketiga yang merupakan area untuk kegiatan yang tidak dinilai begitu suci.
Dalam konteks Tri Mandala bagi pengaturan rumah, tempat tidur biasanya ada di sisi timur. Bagian tengah atau madya biasanya dijadikan tempat berkumpul keluarga, dan bagian barat menjadi area untuk kamar mandi dan tempat mencuci. Air disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan jumlah terbatas, dan sebagian lagi disediakan oleh desa adat. Di Penglipuran, menurut awig-awig yang berlaku, setiap rumah dilarang membuang limbah air ke saluran utama di depan pekarangan. Dengan awig-awig ini, maka kebersihan dan kesehatan sanitasi desa tetap terjaga.
Dinding Penyatu, Bukan Pemisah
Setiap pekarangan rumah yang berjumlah 76 ini dibatasi dinding yang memanjang dari timur ke barat. Jalan masuk utama tentu melalui angkul-angkul atau gerbang pintu tradisional yang menghadap langsung dengan jalur utama Desa Penglipuran. Di belakang, sudah banyak kepala keluarga menambah rumah baru yang diisi masing-masing kepala keluarga lain dalam garis keluarga yang dekat, seperti adik dan kakak serta orang tua. Untuk memudahkan akses, pintu di belakang pun sudah menjadi pintu masuk, walau lewat belakang rumah dimana sebenarnya menghadap langsung ke jalan alternatif yang beraspal dan lebih besar dari jalan utama Desa Penglipuran.
Lagi-lagi, keunikan dari Desa Penglipuran yang memegang salah satu prinsip berkehidupan sosial atau tata krama yang dikenal dengan Desa Mawa Cara, pintu akses tak hanya ditetapkan dari depan dan belakang saja. Lihatlah di setiap samping pekarangan rumah dimana dinding-dinding yang biasanya menjadi pemisah antara satu pekarangan dengan pekarangan lain, nyatanya menjadi pemersatu antara pekarangan satu dengan lainnya.
Dengan ditetapkannya aturan ini maka keterbukaan semakin terjadi antar warga. Pengendalian sosial menjadi hidup dan dihidupkan secara tradisi. Keamanan pun menjadi sesuatu yang murah karena satu sama lain saling memperhatikan dan menjaga. Tidak perlu seseorang menitipkan apa-apa kepada tetangganya karena kebiasaan keseharian yang saling terbuka menjadikan aset sebuah keluarga merasa dijaga oleh tetangganya. Dinding yang biasanya dibangun untuk memisahkan tampak tak berlaku di Penglipuran karena keberadaannya justru menjadi pemersatu.
Dinding Bali biasanya dihiasi ornamen khas Bali. Sebetulnya, itu bukan hanya sebagai ornamen estetika saja tetapi juga di dalamnya terdapat filosofi yang berperan dalam kehidupan religius masyarakat Bali. Terutama di Penglipuran, selain keunikannya ialah menjadi pemersatu antara satu pekarangan dengan pekarangan lain juga dapat ditemukan mahkota-mahkota yang dipasangkan pada dinding di Desa Penglipuran.
Arti dan makna dari mahkota-mahkota yang dapat ditemukan berawal dari pandangan ketuhanan dengan sifat-sifat-Nya, atau cahaya suci-Nya. Cahaya suci ini kita kenal dengan sebutan dewa yang berasal dari kata ‘div’ yang berarti cahaya. Seperti disebutkan bahwa di sebelah timur yang disematkan dengan warna putih, merupakan tempat untuk Dewa Iswara atau Indra, di sebelah selatan untuk Dewa Siwa yang representasi Tuhan Yang Maha Meleburkan dengan lambang warna merah, di barat yang disematkan dengan warna kuning adalah sifat Maha Dewa atau Brahma, dan di utara yang disematkan dengan warna hitam merupakan tempat Dewa Wisnu.
Mudra, yakni bentuk yang menyerupai mahkota, menjadi hulu pada struktur penyangga dinding bagian atas yang disebut pada raksa. ‘Pada’ artinya saling, dan ‘raksa’ artinya berpegang, memelihara, atau melindungi. Kata pada raksa dapat diartikan saling berpegangan.
Tembok-tembok yang didirikan akan lebih kokoh bila dibuatkan struktur penyangga pada raksa di titik-titik pertengahan dan ujung. Pada raksa sebenarnya merupakan struktur penguat yang menjadi kerangka dasar dari dinding, terutama di setiap sudut. Setiap sudut di Penglipuran dan di Bali umumnya memiliki nama raksa masing-masing. Raksa-raksa inilah yang secara spiritual dan juga arsitektur menjadi pemersatu antara sisi timur, selatan, barat, dan utara.
Timur Laut bernama Sri Raksa
Tenggara bernama Guru Raksa
Barat Daya bernama Rudra Raksa
Barat Laut bernama Kala Raksa
Homestay Berdinding Anyaman Bambu
Bali memang lain dari yang lain. Sejauh apapun langkah ditapakkan di tanah Nusantara, bayangnya mengikuti dalam angan. Tidak adil untuk dibandingkan karena Bali bukan hadir untuk diperbandingkan. Keberadaannya justru menjadi satu kekayaan. Kaya pengalaman sekaligus kaya dengan kuatnya kenangan.
Bermalam di Penglipuran membawa romansa terindah bagi setiap tamu. Kenangan manis apapun seperti terhanyut oleh waktu dan dihadirkan di setiap pandangan mata tertuju. Ukiran kayu homestay bersama dinding bambu yang menjadi ciri arsitektur rumah asli Penglipuran seperti mustahil untuk tak mengingat masa bulan madu. Kesederhanaan bertabur nilai kenangan adalah racikan yang diteguk tamu untuk selalu merindu.
Dahulu, dinding-dinding yang menjadi penghalang angin, cuaca panas dan dingin, terbuat dari tanah liat atau disebut tanah polpolan. Kini, sebagian sudah dikonversi menjadi tembok gaya Bali yang penuh sentuhan seni. Indahnya, struktur baru dan lama hadir dipertahankan.
Tembok semen tak merusak pandangan saat di berbagai tepi rumah masih berdiri dinding tanah liat yang termakan zaman. Mereka justru indah berpadu. Walau dari tanah liat, dinding ini bertahan dengan warna dasar coklat kemuning, samar ditumbuhi lumut daun yang juga berwarna coklat. Hadir di depan tembok ini saat mentari mulai meninggi memberi sensasi keemasan pada permukaannya. Penjor atau umbul-umbul adat yang menguning lembaran daun nyiurnya memberikan nuansa pagi semakin megah.
Bila tak memiliki peluang tidur di homestay khusus bagi tamu di tepi lapang parkir timur maka tidak perlu kecewa karena begitu banyak rumah tradisional memiliki ruang lebih di pekarangan bagian belakang yang sudah ditata menjadi persinggahan bagi mereka yang ingin rasakan malam berganti siang di Penglipuran. Justru di dalam lingkungan rumah tradisional ini, tamu dapat menemukan tembok tanah liat dan dapur bambu yang mustahil ditiadakan. Setiap gerbang pintu masuk atau angkul-angkul, dapur dan bale di masing-masing lingkungan rumah wajib dipertahankan struktur bambunya yang hadir dari dahulu.
Dapur dan bale penting dipertahankan sehingga lestari keberadaannya, karena dua tempat ini erat kaitannya dengan penghormatan kepada leluhur. Para tetua di dalam lingkungan rumah yang masuk ke dalam level kubayan adalah mereka yang memang patut menempati posisi paling pertama atau orang suci di antara warga lainnya. Mereka akan menjalani proses pertapaan di dalam kehangatan dan kesakralan sebuah dapur berikutnya pindah ke bale lalu mandi di sungai.
Nelengen atau Angkul-angkul
Hilangkan semua hal yang bernuansa penambahan dan pembaruan di Penglipuran, lalu sisakan segala komponen yang sifatnya asli di Penglipuran maka akan terlihat sebuah perkampungan adat yang mempertontonkan jajaran angkul-angkul atau gerbang pekarangan, bale tempat kegiatan rumah tangga, dan dapur yang khas. Tentu pura keluarga dimana para roh leluhur bersemayam menjadi bagian penting yang akan juga terlihat. Dari semua komponen ini, kecuali pura keluarga, semua ciri khas yang ditampilkan ialah adanya atap sirap bambu dan dinding bambu. Ciri khas bangunan lama yang berbahan bambu inilah yang menjadi guratan tangan para leluhur di Penglipuran.
Sudah menjadi kewajaran bila pekarangan rumah dibuatkan jalur masuk utama dan lainnya adalah pembatas baik berupa tanaman atau dinding dan pagar. Di Penglipuran, semua pekarangan dibatasi dinding dan dibuatkan celah masuk berupa angkul-angkul atau dalam bahasa di Penglipuran disebut nelengen.
Angkul-angkul merupakan gerbang masuk dan keluar penghuni dan tamu yang datang. Pekarangan di Penglipuran hampir sama dalam ukuran lebar walaupun ada sebagian yang memiliki lebar lebih tergantung dari ketentuan yang disuratkan dalam aturan kosala kosali. Terkadang pula itu disesuaikan dengan ukuran badan kepala keluarga yang menghuninya. Angkul-angkul seolah menjadi awal dan akhir saluran yang mengatur alur jalan penghuni dan tamunya agar tak masuk secara acak ke dalam pekarangan.
Dua pilar adalah struktur utama dari angkul-angkul dan akhirnya akan menjadi penopang atap yang berbahan bambu. Pilar angkul-angkul dibuat secara tradisi dari bahan tanah liat. Tanah yang dicampur dengan air berasal dari pekarangan itu sendiri dan dibuat semacam bola besar lalu dicetak dengan cara membantingkan bola tadi agar padat. Proses ini biasa disebut oleh warga lokal dengan istilah tanah polpolan.
Angkul-angkul dibangun dari bawah ke atas. Awalnya dibuatkan dahulu fondasi yang kokoh, baik dari tanah liat, batu, ataupun batu paras atau cadas yang berasal dari dinding aliran Sungai Sangsang yang lokasi sekira 1 kilometer ke arah barat laut desa Penglipuran. Setelah fondasi dikokohkan maka dibangun pilar-pilar dengan tanah polpolan satu demi satu atau blok demi blok. Lebar antarpilar diseragamkan dengan lebar antar poros tengah pilar satu dengan lainnya sekira satu depa (sekira 1,5 meter). Sebuah blok tanah yang sudah terbentuk akan dibiarkan dahulu hingga kering dan kuat lalu diteruskanlah pembuatan blok baru di atasnya dengan tanah polpolan. Proses ini terus berlanjut hingga ketinggian angkul-angkul mencapai 2,5 meter.
Setelah selesai dengan ketinggian yang cukup maka dibuat atap dengan berbahan bambu. Bambu dipasang berlapis-lapis dan semuanya disusun sebanyak 5 lapis bilah bambu. Bilahan bambu dipasang memanfaatkan bagian dalam bambu sebagai sisi luar atau menghadap ke atas sehingga aliran air hujan seolah mendapat tampungan aliran dan mengalir di atas bilahan bambu yang cekung.
Banyak orang mengira bahwa bagian kulit terluar bambu adalah bagian paling tahan cuaca. Nyatanya, bagian dalam bambulah yang paling tahan dengan cuaca panas dan hujan, bukan bagian kulit luar bambu. Bila diuji ketahanannya, bilah bagian dalam bambu yang dipanaskan dan dihujankan, dengan bagian kulit luar bambu yang juga dipanaskan dan dihujankan secara alami maka bagian kulit luar bambulah yang pertama akan mengalami deformasi. Hal ini sudah sejak lama diketahui dan diterapkan sebagai kearifan lokal masyarakat sekitar Penglipuran dalam memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan.
Dapur dan Bale
Dapur khas Bali yang masih asli bangunannya terbuat dari bahan bambu secara keseluruhan. Bagian pintu biasanya ada juga yang dibuat dari bahan kayu agar tahan lama. Di Penglipuran, dapur dan bale ini dipertahankan dalam keadaan asli, walau bangunan lain dalam pekarangan sudah lebih modern. Dari keindahan visual, hal ini menjadi daya pikat pengunjung yang menjumpai adanya harmonisasi antara bangunan lama dan baru.
Dapur yang juga disebut paon atau pawon, hampir sama ukuran antara satu dapur di sebuah pekarangan dengan dapur lain di pekarangan tetangganya. Ada juga dapur yang lebih besar dari ukuran biasanya karena dahulu kepala keluarga yang menjadi penghuni pertama sebuah pekarangan tersebut berbadan lebih besar dari warga lainnya. Dengan aturan kosala kosali yang menjadi pedoman, ukuran tersebut termanifestasikan dalam ukuran dapur dan segala ukuran jarak atau dimensi bangunan yang ada.
Dapur terdiri dari dinding bambu dan atap bambu. Dinding dianyam dengan bilah panjang bambu sehingga kuat sebagai dinding pelindung. Atap dapur pun dibuat sama aturannya seperti dalam membuat atap angkul-angkul. Fondasi dapur biasanya dibuat dari batu paras yang lama kelamaan berubah mengeras menjadi batu. Tinggi fondasi biasanya sekira 40 cm, tergantung ukuran kosala kosali.
Di dalamnya, terdapat tungku api yang berada di sisi paling barat dimana proses memasak dilakukan. Di atas tungku api biasanya ditempatkan lapisan bambu yang digantung untuk menyimpan biji-bijian seperti jagung, kopi, dan juga bahan makanan lain yang dikeringkan seperti bawang dan kelapa. Di tepi kiri biasanya ditempatkan gentong air untuk persediaan air minum untuk memasak, disimpan di atas batu berongga yang akan menjadi agak lembab. Di dalam rongga tersebut disimpan beberapa macam bumbu atau rempah-rempah yang memerlukan kelembaban seperti jahe agar tak lekas kering.
Di tepi belakang tungku dan kanan biasanya dibuat lapisan penyangga untuk menyimpan alat-alat dapur dan bahan makanan yang sering digunakan, termasuk padi gogo atau padi huma yang ditanam di ladang tanpa pengairan khusus. Lapisan ini ada juga di bagian atasnya yang juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi selain disimpan di jineng atau lumbung padi.
Di bagian timur dapur dibuat dipan yang menjadi bagian utuh dan bersatu dengan rangka dapur. Dipan ini adalah tempat orang tua atau jompo untuk tidur. Secara tradisi, orang yang sudah tua dalam keluarga biasanya menempati dapur sebagai tempat tidur mereka. Walau bukan sebuah keharusan, dapur merupakan tempat mengolah masakan dan juga tempat tidur para orang tua dan jompo. Di dalamnya pun disisihkan sedikit ruang untuk menyimpan sesajen bagi leluhur yang dahulu menempati dapur tersebut. Biasanya sesajen diberikan setiap hari satu canang dan juga pada saat purnama tilem.
Dapur dapat bertahan dengan struktur bambunya hingga puluhan tahun karena bambu yang diasapi setiap hari cenderung lebih kuat dan bertahan lama. Berbeda dengan umur bambu yang tidak selalu terkena asap maka bambu yang terkena asap bisa bertahan hingga 30 tahun lamanya. Dapur yang aktif dengan kegiatan memasak untuk keperluan keseharian, biasanya bertahan lama. Kepulan asap yang terperangkap dalam dapur akan menyebar ke setiap pori-pori bambu sehingga menguatkan bambu tersebut atau menghilangkan rayap yang menggerogoti bambu. Jadi, memasak dengan menggunakan kayu bakar bagi warga Penglipuran menjadi begitu penting karena terkait kelangsungan dan umur dapur itu sendiri, walaupun di ruangan lain keberadaan kompor gas boleh dijadikan alternatif lain.
Saat memperingati Galungan sebagai hari kemenangan melawan nafsu dan musuh bathin maka di setiap dapur akan ditemukan sebuah keranjang bambu yang unik bentuknya. Keranjang ini hanya ada saat Galungan dan Kuningan saja. Bentuknya bundar, berwarna coklat tua dan di dalamnya berisi sate khas Bali yang biasanya dari daging ayam atau babi. Keranjang ini disebut dengan katung. Katung ini khusus untuk sate dan bukan makanan lain. Sate dimasukkan di dalamnya dan katung ditempatkan di atas tungku agar asap dari tungku terus mengelun dan menjadi pengawet alami bagi sate yang ada di dalamnya.
Di luar dapur, terdapat sebuah batu berbentuk seukuran drum berukuran sedang. Beberapa keluarga masih menggunakannya sebagai bagian dari aktivitas keseharian di dapur namun sebagian lagi hanya mempertahankan keberadaannya saja. Batu ini adalah tempat penampungan air untuk mencuci atau memasak. Sekarang batu tersebut tampak begitu kokoh meski sudah berusia ratusan tahun. Konon, dulu batu tersebut terbuat dari batu paras atau cadas sehingga tidak begitu berat dan mudah dibentuk. Karena termakan usia, paras membeku menjadi batu.
Bale atau balai adalah ruang yang biasanya memiliki satu dinding dibiarkan terbuka atau seluruhnya terbuka. Dalam konteks bale di dalam pekarangan rumah, bale biasanya berdinding 3 dengan satu dinding terlebar yang menghadap ke dapur dibiarkan terbuka. Dengan tiang 6, sebuah bale dibangun di atas fondasi yang tingginya sekira 50 cm dari lantai jalan pekarang rumah. Bale digunakan untuk tidur anggota keluarga pada awal pembangunannya kemudian setelah bertambahnya jumlah anggota keluarga dan menurut kemampuan dan kemapanan sebuah keluarga maka biasanya dibuat kamar-kamar di lokasi lain di daerah madya pekarangan rumah.
Saat ini, sebuah bale adalah tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan untuk upacara dan di bagian bawah bale yang memiliki kolong biasanya disimpan kayu bakar. Hal yang paling sering ditemui di dalam bale ialah kotak bambu yang berukuran besar seperti besek yang dinamakan sokasa sokasi atau singkatnya disebut sok-sokan atau sok. Karena kaya dengan hutan bambu, warga Penglipuran menjadi salah satu pengrajin terbaik sok-sokan.
Baik bale maupun dapur dan juga angkul-angkul sering ditumbuhi tanaman benalu yang akan menyelimuti atap bambunya. Warga Penglipuran berkeyakinan bahwa tanaman itu tidak boleh dibersihkan. Tanaman tersebut dikenal dengan sebutan pispisan yang arti kata dari pispisan sendiri ialah uang atau rejeki (kepingan uang di bali disebut pis). Jadi semakin banyak tanaman pispisan tumbuh di atas angkul-angkul atau bale dan dapur maka semakin baik karena hal tersebut dimaknai sebagai limpahan rejeki yang akan dirasakan keluarga-keluarga dalam pekarangan rumah tersebut.
Membuat Lawar
Lawar adalah makanan khas Bali yang terbuat dari campuran daging dan sayuran. Hal yang berbeda dari makanan ini adalah prosesnya melibatkan pencucian dengan darah babi. Maka dari itu, lawar ini tidak setiap hari dapat ditemukan karena harus menyiapkan darah segar babi. Bila ada upacara besar, biasanya babi disiapkan sebagai bagian penting. Dagingnya akan disediakan sebagai jamuan bagi warga dan bagian tertentu untuk persembahan ibadat di pura.
Lawar dibuat oleh kelompok juru masak desa adat yang disebut seka peratangan atau mebat (kata ebat artinya memasak). Semua anggota seka peratangan biasanya adalah pria. Dalam proses memasak selalu ada satu orang kelian atau tetua yang juga memantau pekerjaan dan terlibat dalam proses pembuatan masakan. Ia pun biasa menjadi orang yang mencicipi masakan untuk memastikan rasa sudah pas saat dihidangkan.
Lawar akan disiapkan dari proses awal dengan membuat bumbu dan memotong bahan dasar lawar hingga akhir dihidangkan. Daging yang digunakan dalam lawar biasanya ayam, sapi, atau babi. Selain itu, ada kelapa yang diparut secara tradisional dan juga buah nangka muda yang diiris. Sate ayam khas Bali pun biasanya menemani menu lawar.