Randai adalah kesenian teater khas masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat yang dimainkan beberapa orang secara berkelompok atau beregu. Biasanya Randai dimainkan saat perayaan pesta seperti pernikahan, pengangkatan penghulu atau hari-hari besar tertentu. Kesenian randai merupakan penggabungan dari beberapa macam seni yaitu drama, musik tradisional, tari, dan silek (silat) Minangkabau.
“..teater tradisi ini mengabungkan musik tradisional , cerita rakyat, drama, dan silat”
Randai sendiri berasal dari kata merandai yaitu istilah lokal yang artinya mengelilingi atau mengepung. Pendapat lain mengatakan bahwa randai berasal dari kata ronda yang bermakna seorang pengaman lingkungan tradisional masyarakat Minang. Kesenian randai dulunya ditampilkan di malam hari tetapi saat ini dapat ditampilkan kapan pun.
Jika kita mengenal tari saman dari Aceh dengan formasi duduk rapat berjajar membentuk garis menghadap ke penonton maka randai dimainkan dalam formasi lingkaran. Keunikannya randai justru terletak pada bentuk lingkaran ini dimana kedekatan antara pemain dan penonton menjadikan randai sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau. Lingkaran adalah simbol filsafat yang tidak terputus dari masyarakat Minangkabau dan setiap aspek tradisinya didasarkan pada ajaran Islam dalam Al Quran, adat basanding syara, dan syara basanding kitabullah.
Dahulu, randai merupakan media untuk mengkomunikasikan sebuah pesan penting bagi penduduk setempat. Biasanya dilakukan di alam terbuka dalam bentuk arena dan tidak memakai panggung dimana penonton dan pertunjukkan menjadi satu bagian. Penonton boleh saja menyela dialog yang disampaikan pemain atau mungkin bersorak untuk memberikan gairah pemain. Ini mirip seperti halnya kesenian Lenong di Betawi, Jakarta. Dalam randai tidak ada dekorasi, tidak ada pula batasan antara pemain dan penonton termasuk dengan pemain musiknya. Suasana pementasan randai terasa sangat akrab sehingga penontonya tahan menyaksikan dari malam hingga subuh pagi.
Sampai saat ini, randai masih hidup dan berkembang bahkan masih digemari masyarakat Minangkabau terutama di pedesaan. Cerita yang dimainkan umumnya dari cerita popular dan digemari masyarakat Minang, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat Minangkabau lainnya. Bahkan grup randai yang pentas pun memakai nama dari cerita rakyat tersebut, misalnya Grup Randai Magek Manadin, Grup Randai Anggun Nan Tongga, Grup Randai Rambun Pamenan, dan Grup Randai Gadih Rantin.
“..randai sempat menjadi kurikulum pelajaran wajib di Hawaii, Manoa, Amerika Serikat”
Biasanya satu grup randai berjumlah 14 hingga 25 orang. Mereka berlatih selama berbulan-bulan tergantung jenis drama dimainkan. Latihan dapat memakan waktu berjam-jam dan yang paling lama bisanya saat akhir pekan. Anggota Randai bisa terdiri dari petani, pedagang atau pengrajin, mereka disebut sebagai anak randai.
Dalam pertunjukan randai ada beberapa pemain pendukung sebagai satu kesatuan pementasan. Ada pemain galombang yaitu yang melakukan gerakan gelombang dari pencak silat. Pemain musik atau dendang bertugas memainkan talempong, gendang, serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rebab dan alat musik tradisional lainnya. Ada pembawa laur cerita yang menyampaikan narasi yang menjadi alur cerita randai dan dibawakan dengan suara lantang. Ada juga pemain pasambahan bertugas berdialog dalam petuah Minangkabau dan memberi pesan moral lewat kiasan. Tentunya ada juga pemain silek yang tampil saat alur cerita berupa perkelahian.
Teater tradisi randai menyajikan sastra lisan kaba yang atinya ‘cerita’ dan bakaba yang artinya bercerita. Unsur pokok randai ada dua yaitu pertama, meliputi unsur penceritaan kaba yang dipaparkan lewat gurindam, dendang, dan lagu yang diiringi alat musik tradisional Minang seperti: salung, rebab, bansi, rebana, atau yang lainnya. Unsur kedua adalah gerakan atau tarian yang dibawakan melalui gelombang. Gerak tari tersebut berasal dari gerak silek Minangkabau dengan berbagai variasinya gaya.
Sastra lisan kaba dalam randai selalu didendangkan karena sifatnya yang liris dan terikat pada jumlah suku kata dengan adanya sajak, syair, dan pantun. Di dalam randai bagian cerita yang didendangkan itulah yang disebut gurindam. Gurindam dan tari yang bersumber dari gerak silek (silat) inilah yang menjadi ciri randai sebagai teater tradisional yan khas.
Kehidupan budaya Minangkabau tercermin dari pertunjukkan randai, baik dialog yang diucapkan lewat pantun, syair, dan prosa liris yang berupa untaian bait-bait. Bait-bait tersebut terdiri dari empat baris meliputi dua baris berisi sampiran dan dua baris lainnya adalah isi pesan utama. Bait-bait tersebut untuk menjaga irama pertunjukkan agar sesuai gurindam dan dendang yang ada.
“.. randai adalah kombinasi gerakan tubuh dan emosi sarat muatan filosofi dari adat tradisi dan ajaran agama Islam”
Meskipun dijuluki sebagai teater tradisi, randai juga dianggap jenis tari oleh orang Minangkabau. Tarian dalam pandangan filsafat Minangkabau adalah kombinasi gerakan fisik dan emosi yang berakar dari pencak silat sebagai pelajaran penting dalam setiap surau, rumah doa, dan sistem pendidikan tradisional Minangkabau.
Randai dapat Anda temukan di festival lokal di dataran tinggi Minangkabau atau saat acara Idul Fitri dan bulan Ramadhan. Kini kesenian randai sudah dipentaskan di berbagai daerah di Indonesia dan dunia. Bahkan pernah dipentaskan dengan menggunakan versi bahasa Inggris oleh kelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat. Selain itu randai sempat menjadi kurikulum pelajaran wajib di Hawaii, Manoa, Amerika Serikat.