Bakar Tongkang: Ritual Adat Unik di Bagansiapiapi

Bakar tongkang 📸 @HimSaifanah

Festival Bakar Tongkang di Bagansiapiapi adalah salah satu alasan penting mengapa Anda perlu menyambangi ibu kotanya Kabupaten Rohan Hilir di Provinsi Riau. Festival ini begitu menarik untuk disaksikan, bukan hanya kemeriahannya, melainkan juga karena nilai sejarah, spiritual, dan keunikannya.

Dalam Festival Bakar Tongkang, Anda dapat menyaksikan kemeriahan prosesi adat mulai dari ritual sembahyang, arak-arakan, pawai, atraksi barongsai, hingga hiburan seni oriental dari penyanyi asal Malaysia, Taiwan dan Singapura yang membawakan lagu berbahasa Hokkian. Tidak ketinggalan juga penyanyi dari dalam negeri seperti Medan, Singkawang, dan tentu saja penyanyi asli Bagansiapiapi. Puncak ritualnya adalah pembakaran replika tongkang raksasa dan penantian arah jatuhnya tiang kapal (menghadap laut atau darat) yang dipercaya akan menentukan keberuntungan selama setahun.

Bakar Tongkang atau dalam Bahasa Hokkien dikenal sebagai Go Gek Cap Lak (Hanzi Sederhana :五月十六日) merupakan ritual adat tahunan warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual dalam bahasa Tionghoa dinamakan Sio Ong Cuan dihelat setiap tahunnya tanggal 16 bulan kelima tahun Lunar (Go: bulan kelima; Cap Lak: tanggal enambelas) atau biasanya jatuh di bulan Juni.

Festival Bakar Tongkang merupakan acara tahunan terbesar di Provinsi Riau dan telah berlangsung sejak 1826. Festival ini juga digelar untuk memperingati kehadiran masyarakat Tionghoa ke Bagansiapiapi. Ritual Bakar Tongkang adalah bentuk syukur kepada Dewa Ki Ong Ya dan Dewa Tai Su Ong yang telah memberikan keselamatan kepada para leluhur hingga mereja tiba di Bagansiapiapi. Dewa Ki Ong Yan dan Dewa Tai Su Ong merupakan perlambang sisi baik dan buruk, suka dan duka, rejeki dan malapetaka.

Dituturkan warga setempat bahwa kisah kedatangan nenek moyang mereka adalah perantau orang Tang-lang (Tionghoa keturunan Hokkian) yang memutuskan meninggalkan tanah kelahiran dari Distrik Tong’an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka kemudian berlayar ke Laut Selatan mencari daerah baru hingga mulanya tiba di Songkhia, Thailand ditahun 1825. Karena konfik di negeri Siam kemudian mereka mengungsi menggunakan tongkang, yaitu perahu yang dasarnya rata untuk mengangkut pasir atau hasil tambang.

Ketika berlayar, awalnya ada 3 buah tongkang tetapi kemudian hanya satu yang berhasil sampai selamat. Tongkang yang selamat ini kebetulan membawa serta patung Dewa Tai Sun Ong Ya yang diletakkan di bagian haluan dan patung Dewa Ki Hu Ong Ya yang ditempatkan dalam rumah tongkang. Satu tongkang yang dipimpin oleh Ang Mie Kui tersebut berhasil berlabuh di daratan saat malam hari karena petunjuk cahaya dari kunang-kunang (dalam bahasa lokal disebut siapi-api) mirip jilatan api di antara padang rumput dan hutan di tepi pantai. Wilayah tak bertuan tersebut kemudian dijadikan pemukiman dengan beberapa bagian (bagan dalam bahasa lokal) berupa rawa, padang rumput, atau hutan.  Nama Bagansiapiapi dipercaya lahirnya dari situ.

Para perantau ini pun bersepakat membakar kapal sebagai isyarat untuk tidak kembali ke tempat asal. Di daerah itulah mereka membuka hutan dan membangun pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagansiapiapi. Mereka itulah yang kemudian menjadi leluhur orang Tionghoa di Bagansiapiapi dimana mayoritas warganya bermarga Ang atau Hong.

Untuk mengenang peristiwa kedatangan leluhur, warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi kemudian rutin setiap tahun menggelar ritual Bakar Tongkang. Mereka akan membuat replika tongkang raksasa berukuran 8,5 meter dan lebar 1,7 meter dengan bobot 400 kg. Replika tongkang tersebut kemudian disimpan satu malam di Klenteng Eng Hok King. Keesokan harinya setelah berdoa, replika tongkang diarak menuju lokasi pembakaran. Saat diarak, ada atraksi Tan Ki, yaitu menunjukkan kekebalan tubuh dengan menusukkan benda tajam ke tubuh.

Setibanya di lokasi pembakaran, di sekeliling tongkang akan ditumpuk ribuan kertas kuning bertuliskan doa dari warga untuk leluhur. Puncak ritual bakar tongkang ini adalah menyaksikan jatuhnya tiang kapal replika tongkang dimana menurut kepercayaan setempat jika tiang kapal jatuh ke arah laut maka peruntungan tahun itu akan banyak berasal dari laut. Sebaliknya, jika tiang kapal jatuh ke arah darat, maka peruntungan tahun itu banyak berasal dari daratan.

Tradisi Bakar Tongkang sebenarnya serupa dengan tradisi yang sudah ada sebelumnya di Tong-an Xiamen, Hokkian ratusan tahun sebelumnya, yaitu upacara “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja). Rupanya tradisi tersebut diteruskan di Bagansiapiapi dengan sedikit perubahan dan peruntukan perayaannya disesuaikan peringatan hari tibanya ke-18 warga Ang semula tanggal 16 bulan 5 Imlek (Goh Cap Lak) setiap tahunnya. Terlebih lagi 18 orang yang selamat tiba di Bagansiapiapi hampir semuanya berasal dari Hokkian. Tradisi Sang Ong Chun sendiri tidak dilanjutkan sampai setengah abad setelahnya.

Ritual “Sang Ong Chun” (Mengantar Kapal Raja) dari  Xiamen, di Hokkian Selatan telah berlangsung sekira 500 tahun lalu. Di sana dilaksanakan setiap 4 tahun dan sempat terputus selama 40 tahun karena Revolusi Budaya Tiongkok. Tata prosesi penyelanggaraan ritual ini berlangsung selama 7 hari sebagaimana yang telah tersebar ke Taiwan dengan nama ritual “Ong Chun Ki”.

Ritual Bakar Tongkang atau Go Cap Lak di Bagansiapiapi kini telah menarik minat wisatawan lokal hingga mancanegara seperti yang rutin datang dari Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga Tiongkok. Diperkirakan sedikitnya 40 ribu pengunjung hadir dalam Festival Bakar Tongkang. Baiknya lagi, warga setempat menyadari bahwa atraksi turun-temurun tersebut mampu mendatangkan banyak wisatawan sehingga mereka pun rela menghias kota dengan aneka ornamen oriental untuk menyambut tamu yang datang. Hampir smeua warga akan menyambut perayaan dengan memasang lampion dan lukisan Dewa di rumah masing-masing.

Bagi warga Tionghoa di Bagansiapiapi, perayaan Bakar Tongkang dipercaya akan membawa kesuksesan dalam meniti hidup dan jika tidak diikuti maka hidup mereka akan kekurangan tanpa arah serta tujuan, selain itu kesukesan yang diraih tidak akan ada artinya. Oleh karena itu, bukan hanya wisatawan yang akan datang untuk menyaksikan kemeriahannya tetapi juga warga Tionghoa asal Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai daerah atau negara lain pun akan pulang saat acara Bakar Tongkang. Ada kepercayaan bila warga keturunan Tionghoa Bagansiapiapi tidak ikut ambil bagian dalam acara ini maka akan ada malapetaka.

Daerah Bagansiapiapi dahulunya merupakan bagian dari  Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kini, Warga keturunan Tionghoa telah berbaur hidup saling berdampingan dengan beragam etnis dan suku lain termasuk dengan suku Melayu sebagai mayoritas.

 

Kota Bagansiapiapi di Kabupaten Rokan Hilir, dapat dicapai dari Pekanbaru (Ibukota Provinsi Riau) dengan perjalanan darat sekira 6 – 7 jam atau berjarak kurang lebih 350 km. Dapat pula dari Medan di Provinsi Sumatera Utara dengan perjalanan selama 10-12 jam melalui Lintas Timur Sumatera. Apabila Anda datang dari Kota Dumai maka hanya dibutuhkan waktu tempuh 2 – 3 jam melalui jalan darat. Di Kota Bagansiapiapi telah tersedia banyak hotel dan penginapan melengkapi kota cantik ibarat Taiwan di Pulau Sumatera ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagansiapiapi: Pecinan Bumi Melayu Lancang Kuning

Keterangan

Kota ini terbilang istimewa ibarat Taiwan di Pulau Sumatera. Bagansiapiapi adalah ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Terbentuknya kota ini bermula dari perantau asal Tiongkok yang meninggalkan kampung halaman untuk mencari tempat tinggal baru ke arah timur dengan berlayar. Menggunakan tiga tongkang (perahu kayu sederhana untuk tambang) mereka terombang-ambing di lautan hingga akhirnya selamat di Kuala Sungai Rokan tahun 1826 karena kunang-kunang yang menjadi petunjuk cahaya di atas bagan.

Di daratan mereka tertambat kemudian mereka membuka lahan hutan untuk pemukiman dan perlahan berbaur dengan warga pribumi.  Komposisi penduduknya semula 70 persen etnis Tionghoa dan sisanya sebagian besar etnis Melayu. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, para pendatang ini memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan. Seiring waktu, warga keturunan Tionghoa ditunjang keahlian menangkap ikan berhasil menjadikan Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut berlimpah yang diekspor ke negara lain.

Bagansiapiapi tumbuh sebagai kota penghasil ikan terbesar kedua terbesar di dunia setelah Bergen di Norwegia. Pemerintah Hindia Belanda saat itu melirik potensi besar perikanan Bagansiapiapi dan memindahkan pemerintah controuler daerah di sana  dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi tahun 1901. Kota Bagansiapiapi pun berkembang sebagai pelabuhan perikanan dan penumpang yang paling modern di Selat Melaka saat itu.

Bagansiapiapi sebagai kota ikan lama kelamaan memudar. Faktor alam yang menyebabkan pemudarannya secara berangsur-angsur karena pesisir sekitar Bagansiapiapi mengalami pendangkalan dan sempit oleh endapan lumpur yang dibawa air Sungai Rokan.

Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi. Ada juga karet alam. Di masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Bagansiapiapi menjadi salah satu daerah penghasil karet berkualitas untuk kebutuhan peralatan perang. Pengolahan karet alam tersebut dilakukan masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Setelah Perang Dunia II selesai, permintaan akan karet menurun hingga beberapa pengusaha menutup pabrik karet tersebut.

Kini, salah satu penunjang perekonomian warga menggantikan perikanan dan karet adalah budidaya burung walet untuk diambil sarangnya telah menjadi alternatif usaha dan sangat jamak ditemukan di Bagansiapiapi, terutama di pusat kota, dimana banyak ruko-ruko dibangun 3 sampai 4 tingkat, dengan tingkat teratas dijadikan sebagai tempat budi daya burung walet, sedangkan tingkat 1-2 digunakan sebagai toko dan tempat tinggal.

Kegiatan

Bagansiapiapi adalah kota bernuansa Tiongkok yang cantik. Anda dapat berkeliling kota dengan menyewa motor. Amati bagaimana gedung-gedung tertata rapi bersih dengan dan trotoar untuk pejalan kaki. Bangunan berupa ruko 4 lantai (lantai 3 ke atas untuk memelihara burung walet), berjejer di kiri kanan dengan kelenteng dimana-mana. Suasana kota ini kental sebagai  pecinan.

Kelenteng Ing Hok Kiong adalah kelenteng pertama dan tertua di Kota Bagansiapiapi. Klenteng ini juga merupakan induk kelenteng dan pusat tradisi kepercayaan dan keagamaan Kong Hu Cu serta pusat kebudayaan Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Kelenteng ini diperkirakan didirikan tahun 1826 dengan arsitektur klenteng kuno beratap ukiran naga. Ketika pertama didirikan pintu utama kelenteng menghadap jalan lurus ke arah Pelabuhan Bagan Siapi-api seabad lalu.

Sempatkan pula menyambangi  3 Tugu Perjanjian Setan, salah satunya  di Jalan Klenteng, Kota Bagansiapiapi. Tugu yang berukuran kecil tersebut memiliki ceritanya sendiri. Dilatari kisah mistis tentang sering munculnya kejadian aneh di kota ini tahun 1928, seperti batu-batu mahyong sering berputar-putar sendiri di tempat perjudian, seringnya terlihat kaki manusia di atas meja di kedai kopi, atau sering terdengar suara orang sedang mandi namun ketika dilihat ternyata tidak ada orang. Situasi tersebut bisa diatasi setelah meminta bantuan biksu Budha dari Singapura dan Taiwan yang melakukan perjanjian dengan para roh-roh yang sebelumnya mati di laut. Isi perjanjiannya adalah para roh itu dibiarkan selama satu minggu untuk bebas melakukan apapun yang mereka suka di tempat hiburan yang bisa mereka datangi, setelah seminggu berakhir mereka pun harus kembali ke asal. Sebagai bukti pengukuhan perjanjian tersebut dibuatlah tiga prasasti atau tugu yang bertuliskan “LAM HU OMITOHUD”, yaitu salah satu nama sang Buddha. Ketiga tugu tersebut tidak boleh hilang apalagi dimusnahkan, karena jika hal itu terjadi akibatnya perjanjian dengan roh jahat batal dan roh jahat itu akan datang menghantui kembali.

Tempat lain yang dapat Anda sambangi di Bagansiapiapi adalah Gedung Taman Budaya Bagansiapiapi di jalan kecamatan batu empat bagansiapiapi. Gedung tersebut menjadi lokasi aktivitas kebudayaan di Kota Bagansiapiapi.

Warga lokal sendiri seringkali biasanya berkumpul untuk mengisi waktu senggang di Taman Tepian Sungai Rokan dan Taman Rekreasi dan Pancing Thaicong.

Acara yang patut diperhatikan di Bagansiapiapi adalah Ritual Bakar Tongkang, yaitu bertujuan untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa ketika menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur kepada Dewa Ki Hu Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang diadakan setiap tanggal 16 bulan kelima penanggalan Lunar (Imlek) setiap tahunnya, yang dalam bahasa Hokkian disebut “Go Cap Lak”. Acara tersebut menjadi andalan pariwisata Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau karena mampu menyedot ribuan wisatawan dalam dan luar negeri setiap tahunnya.

Transportasi

Kota Bagansiapiapi berada di muara Sungai Rokan, persisnya di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir. Kawasannya menempati lokasi strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas perdagangan internasional. Dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru dibutuhkan 6-7 jam perjalanan darat dengan jarak tempuh +/- 350 km. Sementara itu, dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dibutuhkan 10-12 jam perjalanan darat melalui Lintas Timur Sumatera. Dari Kota Dumai hanya dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam melalui jalan darat.

Berkeliling

Moda transportasi yang lazim dijumpai di Bagansiapiapi adalah becak dayung, sepeda dayung, dan sepeda motor. Becak motor (becak dengan mesin motor) bisa dijumpai di Bagansiapiapi. Sedangkan mobil dapat dijumpai dalam jumlah yang sedikit.

Berbelanja

Sempatkan membeli oleh-oleh khas Bagansiapiapi terutamanya kuliner yang dapat dibawa pulang seperti kacang pukul, terasi, kerupuk udang, kerupuk singkong, udang kering, permen kelapa, kue Kiat-hong, kue Lik-tao-ko, kue ang-che-nai-ko, dan jajanan khas lainnya yang tidak ditemukan di daerah lain. Untuk mendapatkan beraneka makanan tersebut Anda dapat mengarahkan tujuan ke pasar tradisional  diPasar Pelita dan Pasar Datuk Rubiah. Pilhan lain ada pasar jalanan di sepanjang Jalan Satria, atau warga lokal menyebitnya Pasar Satria Tangko.

 

 

Tips

Mayoritas warga Bagansiapiapi adalah keturunan Tionghua yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Bagan atau merujuk pada Bahasa Hokkian. Bahasa Hokkian Bagansiapiapi masih kental dengan nuansa Tionghoa murni tanpa campuran dengan bahasa Indonesia sehingga mirip dengan bahasa Hokkian yang dipergunakan di Xiamen, Jinmen (Kim-men), dan Taiwan. Oleh karenanya, terkadang penggunaan Bahasa Indonesia tidak terlalu banyak. Anda mungkin perlu memerhatikan hal tersebut. Meski demikian, plang nama jalan yang ada di kota Bagansiapiapi menggunakan tiga bahasa, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Arab Melayu, dan Bahasa Mandarin sehingga menambah keunikan dan ciri khas kota Bagansiapiapi yang mungkin tidak dimiliki kota lainnya di Indonesia.

 

Akomodasi

Ada banyak hotel atau motel yang meski tidak sangat mewah namun menawarkan layanan yang lebih dari cukup dan nyaman. Pilihlah yang berada di pusat kota atau dekat dengan pusat jajanan dan makanan. Itu karena saat malam hari tiba kota ini akan menyulap dirinya dengan distrik penjual makanan.

Lion Hotel

Jl. Mawar No. 7, Bagansiapiapi

Phone: (0767) 25551, (0767) 25552

Fax : (0767) 25098

Hotel Bagan

Jl. Sentosa No.24 Bagansiapiapi

Telp. 0767-21888

Hotel Kades Bagan

Jl. Sentosa No.25 Bagansiapiapi

Telp. 0767-22139

Hotel Horrison

Jl. Perniagaan Bagansiapiapi

Telp. 0767-21001

Insani Hotel

Jl. Gedung nasional No.02 Bagansiapiapi

Telp. 0767-22346

Hotel Mahera

Jl. Utama No.17 Bagansiapiapi

Telp. 0767-21819

Hotel Paradice

Jl. Perwira No.13C

Telp (0767)-21917

Wisma Dewi MZ

Jl. Bawal Bagansiapiapi

Telp. 0767-22577

Wisma Indah

Jl. Syahbandar Bagansiapiapi

Telp. 0767-21162

Wisma Mawar

Jl. Gedung Nasional Bagansiapiapi

Telp. 0767-22346

Tarif : Rp.80.000-Rp.110.000

Wisma Mina

Jl. Syahbandar Bagansiapiapi

Telp. 0767-21742

Wisma Irma

Jl. Utama No.17 Bagansiapiapi

Telp. 0767-21325

Penginapan Ulung Ujang

Jl. Pahlawan No.88 Bagansiapiapi

Telp. 0767-21338

Kuliner

Seperti umumnya pecinan yang terbentuk dari komunitas keturunan Tionghoa, Bagansiapiapi menyuguhkan aneka kuliner khas Tiongkok yang lezat. Anda perlu mencicipi kwetiau-nya yang berwarna merah (tergantung tingkat kepedasannya, karena berasal dari warna cabe). Isi kwetiau tersebut adalah udang, cabe, bawang putih yang dihaluskan, tauge dan kucai. Kwetiau di sini tidak menggunakan kecap sehingga warnanya tidak seperti kwetiau umumnya.

Ada juga kemi, yaitu mie besar yang berbahan sagu ditambah tepung terigu. Rasanya lebih kenyal karena saat diracik perbandingannya 4 sendok sagu + 2 sendok tepung terigu. Sajiannya akan dipadukan dengan udang, daging, bakso ikan, dan bawang putih yang dihaluskan.

Cicongpan mirip kwetiau hanya saja perbandingannya 1 bungkus tepung beras ditambah 5ons tepung sagu (kwetiau bahannya 1 bungkus tepung beras ditambah 7ons tepung sagu). Sajiannya dicampur dengan kacang tanah, ebi (udang kering), bawang goreng dan seledri. Dimakan dengan cabe seperti tampak gambar diatas.

Kiamke serupa dengan kwetiau dan cicongpan, yaitu dari tepung beras dan sagu. Bisa juga bubur putih polos yang tidak habis dimakan, diblender halus dicampur sagu, kemudian ditambahi perasa dan dikukus. Kiamke biasanya dimakan dengan kacang tanah, ebi, bawang goreng, seledri, dan cabe.

Wantanmie serupa mie ayam, hanya saja isinya diganti dengan daging babi panggang, kucai, tauge dan bawang merah goreng. Sajiannya biasa ditambahi dengan cabe yang banyak.

Karipeng merupakan sajian nasi kari dengan daging kecap, telur, kentang. Terkdang ditambahi daging babi panggang).

Miso serupa sup dibuat dari rempah-rempah seperti lada, cintan,pala, cengkeh, kembang pala, bunga rawang, kayu manis, lada hitam, dan ketumbar. Sajiannya dicampur irisan daging ayam, tahu yang sudah digoreng, telur, bawang goreng dan seledri. Cabenya adalah cabe rawit yang digiling halus. Miso biasanya dimakan panas-panas dan cocok untuk yang sedang demam atau flu.

Heci adalah udang goreng dengan adonan tepung terigu ditambahi sawi. Di atasnya ditaruh udang baru digoreng.  Biasanya menyantap dengan dicocol cabe.

Lolia adalah rujak khas Bagansiapiapi yang isinya berupa bakwan udang, nenas, mentimun, tauge, tahu goreng diaduk dengan kacang tanah dan gula.

Engkiuapeng berupa nasi kuning dengan udang, daging, dan kentang.

Oie terbuat dari  talas yang dibentuk bulat-bulat. Sajiannya dicampur seperti cicongpang yaitu kacang tanah, ebi, bawang goreng dan seledri dan tak lupa cabe. Terkadang oie juga dimasak kuah dicampur udang, tauge dan sawi hijau, jadinya namanya Oie teng (teng=kuah).

Untuk mendapatkan ragam kuliner lezat khas Bagansiapiapi berikut ini pilihannya.

  1. Anda

Jl. Perdagangan, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-23059

  1. Kota Baru

Jl. Sentosa No. 51 B, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-21004

  1. Marina Sea Food

Jl. P. Diponegoro, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-24567

  1. Soto Medan

Jl. Perniagaan No. 1, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-22227

  1. Teluk Kuantan

Jl. Pulau Halang, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-24073

  1. Anda

Jl. Perdagangan, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-23059

  1. Kota Baru

Jl. Sentosa No. 51 B, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-21004

  1. Marina Sea Food

Jl. P. Diponegoro, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-24567

  1. Soto Medan

Jl. Perniagaan No. 1, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-22227

  1. Teluk Kuantan

Jl. Pulau Halang, Bagansiapiapi

Tel.+62-767-24073

///

Prosesi Sembahyang

Bakar Tongkang biasanya dimulai dengan prosesi sembahyang yang digelar menjelang ritual puncak. Kelenteng In Hok Kiong yang berada di kawasan Pekong Besar, Kota Bagan Siapiapi akan dipadati ribuan warga Tionghoa. Mereka sembahyang dan berdoa dengan khusyuk.

Prosesi persembahyangan ini dilakukan dalam dua gelombang. Pertama, dilakukan sebelum tongkang diarak ke kelenteng In Hok Kiong tanggal 15, bulan 5 imlek. Kedua, dilakukan setelah tongkang diresmikan dan disemayamkan di kelenteng In Hok kiong tanggal 16 bulan 5 imlek.

Persembahyangan pertama dilakukan saat masuk waktu pukul 00.00 WIB tanggal 15 bulan imlek. Para peziarah mulai melakukan sembahyang, hio-hio (dupa) raksasa mulai dibakar, kemudian sesembahan seperti be, buah-buahan, daging babi, ikan atau ayam mulai disusun di atas altar.

Ritual ini berlangsung hingga siang harinya sampai saat menjemput tongkang yang masih berada di tempat pembuatannya.

Pukul 16.00 WIB, kapal diarak dari rumah pembuatan menuju kelenteng In Hok Kiong melewati jalanan Kota Bagan Siapiapi. Sebelum diarak, terlebih dahulu diadakan sedikit upacara atau ritual yang dilakukan orang yang dituakan. Atraksi barongsai dan berbagai tabuhan kemudian mengiringi prosesi mengarak Tongkang (kapal) ini.

Setelah diarak, Tongkang disemayamkan di depan kelenteng In Hok Kiong, maka aktivitas persembahyangan di kelenteng In Hok Kiong ditutup untuk sementara waktu, agar memberikan kesempatan bagi Dewa Kie Ong Ya menjamu para Dewa-Dewa lainnya untuk menikmati shingle yang telah disiapkan para peziarah.

Prosesi ini berlangsung sampai pukul 00.00 WIB.Saat masuk tanggal 16, maka Tongkang diresmikan. Upacara peresmian dilakukan oleh seorang ahli gaib/suhu yang biasa dipanggil Tang Ki. Setelah itu, kelenteng kembali dibuka dan persembahyangan dilakukan sampai acara selesai, yakni saat tongkang dibakar di tempat pembakaran di Jalan Perniagaan, Bagansiapiapi.

Pada malam harinya, untuk memeriahkan suasana digelar berbagai hiburan di kawasan Pekong Besar. Hiburan ini diisi oleh artis-artis dari Taiwan yang menyanyikan lagu berbahasa Hokkian. Pada kesempatan ini juga ditampilkan berbagai tarian Melayu. Ribuan masyarakat Tionghoa tumpah-ruah menyaksikan hiburan yang dilaksanakan tak jauh dari kelenteng In Hok Kiong ini.

Selain menikmati hiburan, sebagian warga Tionghoa pada malam itu juga memilih melakukan aktivitas sembahyang di kelenteng In Hok Kian. Pada malam hari ini altar yang berada di depan kelenteng tampak dipenuhi dengan amlop-amplop/kertas angpao yang disusun menyerupai bunga, nenas dan kapal tongkang.

Persiapan menjelang pembakaran Tongkang, segala utusan dari kelenteng-kelenteng di Bagansiapiapi berkumpul untuk bersiap-siap mengarak tongkang. Masing-masing utusan memakai seragam sendiri sebagai penanda dari rombongan.

Selain itu, setiap rombongan membawa Tang Ki masing-masing sekaligus dengan pelengkapan atraksi debus. Setelah seluruh pengarak Tongkang berkumpul di halaman kelenteng In Hok Kiong, maka iring-iringan segera menuju arena pembakaran tongkang di Jalan Perniagaan, Bagansiapiapi. Puluhan ribu peziarah mengikuti arak-arakan ini.

Arak-arakan dimulai jam 2 siang. Tongkang berukuran besar ini diangkat oleh ratusan orang serta diiringi ribuan orang lainnya. Mereka mengenakan berbagai pakaian khas, tak lupa dengan aneka atraksinya masing-masing.

Meski Kota Bagansiapiapi sangat panas saat siang hari, namun tak menyurutkan warga Tionghoa, masyarakat dan ribuan turis domestik dan mancanegara untuk menyaksikan kemeriahanevent ini.

Tongkang kemudian dilepas dengan melintasi jalanan di Kota Bagan Siapiapi. Suara mercon kemudian terdengar bersahut-sahutan. Disepanjang jalan menuju arena pembakaran, warga Tionghoa yang bermukim di ruas jalan ini ikut menyediakan sesembahan dan memasang dupa di depan rumahnya masing-masing.

Orang tua, laki-laki dan perempuan serta anak-anak ikut memberikan penghormatan saat Tongkang melintas.

Sekitar pukul 14.30 WIB, Tongkang sampai di arena pembakaran. Di arena pembakaran ini terlebih dahulu ditentukan arah posisi haluan Tongkang sesuai petunjuk Dewa Kie Ong Ya yang menurut filosofi mereka adalah petunjuk arah rezeki atau kebaikan untuk usaha dan keselamatan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

Bila tiang jatuh ke arah laut, maka masyarakat Tionghoa percaya bahwa rejeki dan keselamatan tahun ini akan berada di laut. Namun, bila tiang jatuh ke arah darat, maka rejeki dan keselamatan akan berada di darat.

Setelah haluan Tongkang ditentukan, maka Tongkang diletakkan dan kertas sesembahan ditimbunkan dekat lambung kapal yang sedang dibakar. Ribuan orang memenuhi arena pembakaran Tongkang. Masing-masing tampak memegang dupa.

Dalam hitungan menit kertas sesembahan berubah menjadi kobaran apibesar dan menghanguskan seluruh bagian kapal hingga menjadi abu.(rio)

///

Budaya Ritual Bakar Tongkang Menyikapi Kearifan Sejarah

Budaya Ritual Bakar Tongkang Menyikapi Kearifan Sejarah

Budaya Ritual Bakar Tongkang  yang di peringati setiap tahun nya oleh Etnis Tionghua  Bagan Siapi Api Kabupaten Rokan Hilir Profinsi  Riau , adalah merupakan Budaya Ritual satu satu nya di Indonesia. Menurut  cerita  kalangan Etnis Cina Bagan Api, di Peringatinya Budaya Ritual Bakar Tongkang oleh Etnis Tionghua Bagan Siapi Api bukan hanya sekedar untuk memperingati sejarah masa lalu,  sebagai ungkapan  rasa syukur kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Su, yang menyelematkan para leluhur  etnis Tionghua ketika menjadi imigran dari Provinsi Fu-Jian di Negara Cina ketika berada di Kuala Sungai Rokan pada tahun 1826 yang silam

Ritual Bakar Tongkang ini sebenarnya telah lama di peringati oleh etnis Tionghua Bagan Siapi Api, Sejak Tahun 1826, ketika delapan belas Imigran Cina dari Profinsi Fu-Jian yang terdiri dari  Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan,  Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan  An The Tui. Menjejakkan kaki di Bumi Lancang Kuning Bagan Siapi Api. Dan  mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Cina Bagan Siapi Api, telah membakar Tongkang yang membawa mereka ke Negeri harapan.

Pembakaran tongkang itu mereka lakukan, setelah mereka bersumpah bahwa Bagan Siapi Apilah sebagai pengganti tanah leluhur mereka. Mereka tidak akan kembali ketanah leluhurnya di Cina dengan menaiki tongkang.  Implementasi dari sumpah mereka ini lah maka mereka membakar tongkang yang telah membawa mereka mengharungi kejam nya samudra. Dan dari sejak itu pula Ritual Bakar tongkang ini mereka lakukan setiap tahun nya, hingga sampai saat ini.

Namun, ketika peristiwa silam itu diperingati dalam konteks kekinian dengan berbagai multiplayer efect yang ditimbulkannya, menjadi sebuah kearifan dalam menyikapi sejarah, sehingga tidak terjebak ke dalam romantisme masa lalu ketika  mereka berangkat merantau menyeberangi lautan

Bakar tongkang yang di peringati oleh warga etnis Bagan Siapi Api dari tahun ketahun semakin meriah. Sejak Bupati Rokan Hilir di Jabat oleh pasangan H.Anas Maamun dan Wakilnya Suyitno Tahun 2005-2010 dan 2010-2015,  Ritual Bakar tongkang ini tidak hanya di peringati oleh segelintir orang yakni warga turunan Cina Bagan Siapi Api saja, tapi melainkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir acara Ritual Bakar Tongkang ini  di jadikan sebagai even Wisata  Budaya Ritual para warga Turunan Cina Bagan siapi Api dan masyarakat Rokan hilir. Dan untuk Tahun 2014 ini Budaya Ritual Bakar Tongkang ini dilaksanakan pada Tanggal 12-13 Juni 2014 bertepatan dengan penanggalan 16 bulan kelima yang dalam bahasa Hokkien di sebut Gocap Lak.

Sebagai even Wisata Budaya Ritual Bakal Tongkang mampu untuk mendatangkan para turis domestic dan dan Mancanegara untuk datang ke Bagan Siapi Api, yang dulu pernah mengalami masa jaya sehingga  mendapat julukan sebagai daerah penghasil ikan terbesar di dunia setelah Negara Norwegia. Disamping itu bagi para etnis Tionghua Bagan Siapi Api baik yang masih berdomisili di Bagan Siapi Api, maupun yang berada di perantauan yang tersebar di tanah air, maupun di luar negeri akan kembali pulang ke kampung halaman nya Bagan Siapi Api. Ritual Bakar Tongkang selain mereka jadikan sebagai penghormatan kepada para Dewa, juga mereka jadikan sebagai lapak untuk melepas rindu bagi para perantau yang kini tersebar di penjuru dunia.

Kepiawaian Bupati Rokan Hilir H.Anas Maamun dalam memoles acara Bakar Tongkang menjadi even Budaya Ritual Bakar Tongkang sebagai Visit Bagan Api Year, memang pantas untuk di acungi jempol. Sejak di jadikan nya Bakar Tongkang sebagai Budaya Ritual Visit Bagan Api Year, mengundang datangnya turis turis domestic dan Mancanegara ke Bagan Siapi Api. Acaranya pun di kemas sedemikian rupa dan di hadiri pula oleh para Menteri dan pejabat tinggi dari profinsi Riau dan Indonesia.

Kedatangan para turis turis domestic dan Mancanegara ke Bagan Siapi Api juga memberikan nuansa baru bagi perkembangan prekonomian masyarakat Rokan Hilir. Perputaran uang pun terjadi di arena Budaya Ritual Bakar Tongkang, para pedagang dapat meningkatkan omset dagangan nya. Pemilik hotel juga mendapat kecipratan rezeki.

Bazar Dan Budaya:

Dua tahun belakangan ini sejak acara Ritual Budaya Bakar Tongkang ini di gelar yakni pada Tahun 2013 – 2014, acara ini tidak hanya di isi dengan upacara ritual dalam menghor mati para dewa. Tapi juga diisi dengan pagelaran kebudayaan dari dua etnis yang berbeda, yakni etnis keturunan Cina dan Etnis Melayu Pesisir Pantai Selat Malaka, di padu menjadi satu dan di tampilkan kehadapan masyarakat.

Selain itu even Wisata Ritual Bakar Tongkang ini juga di isi dengan kegiatan perdagangan/bisnis dengan menggelar pelaksanaan bazar. Para pedagang baik anak daerah, maupun pedagang yang dating ke arena even Budaya Ritual Bakar Tongkang ini di beri kesempatan untuk memerkan dagangan nya di lokasi stand yang dibangun oleh pihak pemerintah Kabupaten Rokan Hilir di sepanjang jalan Merdeka yang berada persis di depan taman kota.

Hanya saja yang kurang menariknya dari pelaksanaan Bazar tersebut, produksi yang di pamerkan dan di jual tidak mencerminkan produksi anak tempatan. Hasil produksi yang di jual adalah hasil produksi luar daerah yang kebanyakan dapat di temui di pasar pasar, maupun swalayan yang ada di kota kota besar.

Memang tidak terlihat hasil produksi yang spasifik dari daerah Kabupaten Rokan Hilir selaku tuan rumah yang punya gawe perhelatan akbar ini. Akibatnya para pendatang/turis yang ingin melihat Ritual Budaya Bakar Tongkang di kota Bagan Siapi Api tidak mempunyai kesan yang mendalam, karena oleh oleh yang akan mereka bawa pulang tidak ada yang istimewa. Malah kebanyak yang di jual para pedagang itu adalah barang barang yang dengan gampang dapat di temuai di pasar pasar atau maal di kota kota besar.

Kedepan seharusnya pihak Pemerintah Rokan Hilir sudah memikirkan pelaksanaan bazaar ini tidak hanya di isi dengan pedagang, yang hanya menjual barang barang pakaian dan asesoris yang banyak beredar di pasaran. Tapi melainkan juga memberikan kesempatan kepada para pedagang pedagang tradisional yang mendagangkan dagangan nya berupa makanan ataupun cendramata yang bernuansa budaya melayu Rokan Hilir.

Cermin Kerukunan :

Satu hal penting yang patut diketahui, ritual Bakar Tongkang yang akan di lakasanakan pada tanggal 12-13 Juni 2014, tidak saja berkisah tentang puja-puji terhadap Dewa Ki Ong Ya dan Tai Su Ong juga dipercaya sebagai dewa yang melambangkan dua sisi kehidupan, baik dan buruk, suka-duka, serta rezeki-bencana serta di akhiri pembakaran replika tongkang berukuran 8×2 meter setelah diarak dari Klenteng Ing Hok King, sebuah tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah Kota Bagansiapi-api. Puluhan ribu warga yang tumpah ruah dari berbagai negara seperti Malaysia, Sungapura, Brunei, Cina dan lainnya juga datang dengan membawa dan membagi kisah-kisáh  sukses kepada sanak saudara, teman kerabat di kampung halaman. Makna spiritual Bakar Tongkang yang terungkap dalam nilai rasa syukur, kebersamaan, menjadi spirit terbangunnya hubungan sosial yang tetap terjaga di mana pun mereka berada.

Disamping itu di balik  even Budaya Ritual Bakar Tongkang ini terselip sebuah pesan, bahwa even Buadaya Ritual Bakar Tongkang ini tidak semata merupakan even Budaya Wisata Ritual belaka, tapi ada makna tersirat di dalam nya, yakti sebuah cermin kerukunan antar ummad beragama terlihat di sana. Warga Rokan Hilir yang terdiri dari berbagai etnis suku bangsa dan berbeda agama dan kepercayaan berbaur menjadi satu saling sokong dan dukung dalam mensukseskan even Wisata Budaya Ritual Bakar Tongkang ini.

Sebagai manana Yang membuat berbagai media nasional dan internasional melirik terhadap acara Bakar Tongkang ini, bukan hanya karena menjadi satu-satunya tradisi masyarakat Tionghoa yang tak dimiliki oleh daerah mana pun. Lebih dari itu, dalam prosesi ritualnya, telah terjadi dialektika kebudayaan, antara lampu lampion dan don-doncai lonjak baronsai dengan berbagai kesenian Melayu dan etnis lainnya melahirkan harmoni orkestra kehidupan yang saling menyapa dan isi mengisi. Hal tersebut tentu menjadi pelajaran yang menarik, ketika kebudayaan tidak lagi dianggap sesuatu yang given, yang turun dari langit bak kitab suci yang tak boleh diutak-atik dan di ubah sesuai Kebudayaan kata Emha Ainun Najib, bukan ”kata benda” melainkan ”kata kerja”.

Oleh sebab itu, tak ada kebudayaan yang lahir di muka bumi ini yang berdiri sendiri tanpa dialektika. Begitu juga dengan kebudayaan Melayu yang kita agung-agungkan hari ini, juga tak terlepas dari dialektika. Berabad-abad yang lalu, ketika orang Jawa main gamelan, orang Melayu sudah menyapa Eropa dengan akordion. Ketika Minang bersaluang, Melayu telah menyapa Eropa dengan saxophone. Ketika orang Batak bergendang berogung, Melayu justru menyapa India dengan tabla. Menyapa Timur Tengah dengan gazal, zapin bahkan dengan bahasa. Lalu megapa Melayu hari ini tidak lagi mau menyapa bunga-bunga kebudayaan lain yang ada di sekitarnya?

Patut  di akui, dalam waktu yang cukup lama, kita keliru memahami hakikat kebudayaan yang dimaknai sebagai ruang sunyi mimpi yang terkubur. Kebudayaan dianggap sesuatu yang usai dan harus diterima sebagai warisan yang tak boleh diganggu gugat. Kekeliruan cara pandang tersebut, telah melahirkan romantisme masa lalu yang berlebihan yang meyakini kebudayaan menjadi kebenaran tunggal milik masa lalu.

Maka, belajarlah dari Ritual Bakar Tongkang di Rokan Hilir, sebuah kearifan dalam menyikapi sejarah yang dilakukan Bupati Annas Maamun yang kini telah menjadi Gubernur Provinsi Riau agar kita tidak lagi melahirkan generasi yang hanya mampu membuat tugu dan patung yang tak menjadi representasi kehidupan hari ini. Generasi yang terjebak kepada pikiran sektoral yang sempit dalam memahami Melayu itu sendiri. Melainkan sebuah generasi yang mampu dan berani bersikap berbeda bahkan  berkianat terhadap sejarah dan nilai-nilai kebudayaan lama yang dipandang tak relevan lagi dengan semangat kekinian. Bak kata orang bijak, baik buruknya hari ini tidak tergantung baik buruknya masal lalu melainkan dari cara menyikapinya.***

///

Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut yang mengiring Kapal Tongkang menyusuri sekitar Pulau Kuala Kubu, Teluk Mengkudu (sekarang Penipahan) sampai kemudian dilakukan pendaratan tepat di belakang Pulau Barkey terdapat sebuah Pulau penuh dengan kunang-kunang api-api di hutan bakau tepi pantai, yang akhirnya di jadikan tempat pemukiman baru yang berdasarkan catatan sejarah pemukiman warga Tionghoa pada Pulau kunang-kunang api kemudian diberi nama dan dikenal dengan sebutan Bagan Siapi-api.

Merupakan suatu kebahagiaan karena mereka telah bebas dari ganasnya ombak yang telah menenggelamkan rekan-rekan mereka yang berada di dua kapal lain. Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.

Dipemukiman pada Pulau penuh kunang-kunang api, mereka cocok dan betah terus menetap di Bagan Siapi-api yang terletak di muara sungai Rokan kurang lebih di pinggir Pelabuhan sampai akhirnya mereka mendirikan

Di Daratan ini mereka mendapati Banyak ikan laut, sehingga kemudian mereka segera mengajak sanak famili dari negeri tirai bambu untuk tinggal di bagan siapi-api yang dominan memiliki keahlian menangkap ikan.

Dahulunya Bagan siapi-api pernah diklaim sebagai Penghasil Ikan nomor 2 di Dunia setelah Norwegia. Di Kota Bagan Siapi-api hingga kini terdapat Kelenteng Tua yang kini telah berumur Ratusan Tahun. Di Kelenteng inilah Patung Dewa Kie Ong Ya yang utuh / asli saat para leluhur menginjak kaki di Bagan siapi-api.

Kemudian mereka bertekat untuk menjadikan Bagan siapi-api sebagai tempat tinggal mereka selamanya dan membakar tongkang (kapal) sambil meminta petunjuk kepada Dewa Kie Ong dimana mereka memperoleh rezeki. Beberapa versi menyebutkan asal usul Bagan siapi-api adalah api/cahaya di daratan yang diberikan secara Mistis oleh Dewa Kie Ong Ya.

Untuk menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut dari dahulu sampai sekarang maka setiap tahunnya di Bagan Siapi-api masyarakat Tionghoa melakukan Prosesi Sembahyang dengan membakar Tongkang dan dilaksanakan pada tanggal 15 dan 16 Bulan 5 Imlek. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun 1920-an.

Uniknya karena tidak ditemukannya di daerah lain selain pada masyarakat Tionghoa di Bagan Siapi-api. Walaupun belakangan ini sudah ada ritual yang serupa di kota Tanjung Balai Asahan namun tidak semeriah di kota Bagan Siapi-Api.

Prosesi Ritual Sembahyang Tongkang

Sembahyang ini dilakukan dengan dua tahap, pertama sebelum Tongkang di arak ke Kelenteng In Hiok Kiong tanggal 15 bulan 5 Imlek. Kedua setelah Tongkang di semayamkan di Kelenteng in Hiok kiong pada tanggal 16 bulan 5 imlek. Tahun ini, ritual berlangsung pada 3 dan 4 Juli 2012.

Go Gwe Cap Lak atau yang biasa dikenal dengan ritual

Bakar Tongkang merupakan persembahan untuk Dewa Ki Ong Ya (Dewa Laut) yang rutin digelar setiap tahun.

Upacara yang telah menjadi agenda tahunan ini setiap tahunnya tidak pernah sepi. Keinginan untuk melihat dari dekat ritual ini tidak saja mereka yang lahir di Bagan Siapi-api, tetapi juga masyarakat etnis Tionghoa dari berbagai daerah. Ribuan masyarakat etnis Tiongha asal Bagan siapi-api yang merantaupun pulang. Bagaikan reuni, tak jarang mereka juga berasal dari beberapa negara jiran seperti Malaysia dan Singapura.

Sebuah replika Kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya, dengan ukuran Replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram.

Sehari menjelang puncak kegiatan acara prosesi Ritual sudah dimulai pada pukul 00.00 tanggal 15 bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 3 Juli 2012. Di kota ini juga terdapat 168 kelenteng untuk sejumlah marga yang ada. Tetapi Kelenteng Ing Hok Kiong yang paling padat didatangi.

Selain kelenteng pertama yang didirikan di kota ini, juga menjadi pusat pelaksanaan upacara Bakar Tongkang. Kelenteng itu dikhususkan bagi penghormatan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun. Pada tanggal 16 bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 4 Juli 2012 dimulai

Upacara Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah pencapaian spiritual yang membawa kita menuju buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya mengingatkan kita pada ketidak kekalan semua benda, termasuk kehidupan kita.

Ini mendorong kita untuk menghargai setiap momen kehidupan kita dan tidak terikat padanya.

Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai Lilin besar dan tinggi bercahaya mengingatkan kita pada pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi kegelapan kita mencapai penerangan sempurna; serta Dupa (Hio) yang yang ragam wanginya dimeja Altar sembahyang Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun.

Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat dengan nyala Lilin dan Dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang baik dan perbuatan yang tulus.

Memberi persembahan merupakan salah satu cara membentuk potensi aura positif dalam diri dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran kita. Persembahan dalam upacara sembahyang Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun sebagai wujud memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan untuk kebaikan semua makhluk.

Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki, keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan kehidupan, pada saat inilah permintaan tersebut diucapkan.

Pada hari itu seluruh Rombongan Suhu Spiritual yang disebut Tang Ki yang berasal dari berbagai Kelenteng di Kota Bagan Siapi-api hadir silih berganti memberi penghormatan spiritual kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun. Dan melalui upacara ini masyarakat Tionghoa yakin Dewa Kie Ong Ya akan memberikan rezeki kepada mereka. Ritual ini mencerminkan kekompakan suku dan marga Tionghoa di Bagan Siapi-api.

Ritual Mengarak dan Bakar Tongkang

Prosesi puncak dari ritual Bakar Tongkang memang berlangsung sangat meriah, ribuan orang mengiringi prosesi arak-arakan rombongan yang membawa replika tongkang yang akan dibakar. Saat itulah jalan-jalan menuju tempat pembakaran dipenuhi ribuan orang.

Tak lama berselang, setelah arak-arakan sampai pada tempat pembakaran, prosesi pembakaran tongkang pun berlangsung. Replika dari kapal yang berukuran pajang kira-kira sekitar 8,5 meter dan lebar 1,7 meter tersebut pun akhirnya dilangsungkan dengan diiringi suara riuh ribuan orang dan bunyi-bunyian khas masyarakat Tionghoa.

Meski tiang kapal jatuh ke arah laut, namun beberapa orang tetap meyakini kalau rezeki mereka bisa saja di laut ataupun di darat, namun kemungkinan laut memberikan rezeki yang lebih. “Ya sama saja, namun mungkin tahun ini laut mungkin agak lebih baik,” ujar salah seorang pengunjung.

Setelah semua prosesi usai, ribuan orang tersebut pun membubarkan diri sembari berharap kalau tahun ini kehidupan mereka akan jauh lebih baik dari tahun sebelumnya, ritual yang sudah ada sejak 1820 tersebut akhirnya hanya menyisakan arang dan abu dari tongkang yang dibakar.

///

Bakar Tongkang, Bagansiapi-api

BAGANSIAPI-API-Minggu keempat Juni di Kota Bagansiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, hujan rintik-rintik di sore hari tak mengurangi niat para penyanyi melantunkan lagu-lagu merdu berbahasa Mandarin di atas panggung di tengah kota.

Para penyanyi berasal dari Taiwan hingga Malaysia, tak ketinggalan dari dalam negeri seperti Medan, Singkawang, dan tentu saja penyanyi asli Bagansiapiapi.

Meski bangku plastik di depan panggung kosong karena terkena hujan, penonton tak beringsut menyaksikan di teras-teras rumah toko di sekitar panggung. Trotoar-trotoar sempit di depan ruko-ruko sesak oleh penonton. Jelang malam, suasana semakin meriah.

Penduduk Bagansiapiapi yang didominasi masyarakat keturunan China bersiap menuju puncak upacara ritual tahunan Go Ge Cap Lak lebih dikenal dengan disingkat Upacara Go Cap Lak.

Sebetulnya upacara sudah dimulai pada tanggal 16 bulan 5 (penanggalan Imlek), namun yang paling ditunggu-tunggu adalah Upacara Bakar Tongkang yang diadakan pada tanggal 17 bulan 5 (penanggalan Imlek) atau hari kedua.

Sekitar 30.000 warga keturunan China Bagansiapiapi yang sebagian besar beragama Khonghucu memadati Klenteng In Hok Kiong yang berada di samping alun-alun kota untuk bersembahyang.

Hio-hio raksasa dibakar dan sesajen, seperti buah-buahan, daging babi, ikan, ayam, dan kue-kue, disusun di atas altar. Bau hio terbakar dan kepulan asap seakan tidak dipedulikan.

Sejak pagi, sebagian besar warga China sudah menutup tokonya. Baru saja lewat tengah hari, dari berbagai penjuru kota berdatangan rombongan utusan dari berbagai kelenteng. Satu rombongan memiliki seorang tan ki yang didominasi laki-laki.

Tan ki inilah yang menjadi ikon upacara bakar tongkang. Tan ki adalah para suhu yang memiliki ilmu gaib. Saat keluar dari kelenteng, para tan ki sudah dalam keadaan in trance. Pandangannya biasanya kosong dan kepala terus bergerak mengikuti iringan suara tabuhan.

Sesampai di Kelenteng In Hok Kiong, para tan ki diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja persembahan. Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan ki yang membawa parang membacokkan senjata ke tubuh. Tan ki yang membawa bola duri secara atraktif memukulkan bola ke sekujur tubuh dan kepalanya.

Ribuan orang yang tidak dapat merapat ke Kelenteng In Hok Kiong memegang hio dan menggerak-gerakkan turun-naik dari dada ke kepala sembari menghadap ke arah kelenteng. Tua, muda, besar, kecil semuanya memegang hio. Asap hio yang menyebar di Bagansiapiapi laksana kabut tebal yang biasa terjadi di Riau.

Pukul 16.00, tongkang dikeluarkan dari Kelenteng In Hok Kiong. Tongkang seberat 4 kuintal itu digotong oleh puluhan, bahkan sampai ratusan orang utusan dari kelenteng secara bergantian. Jarak dari kelenteng sampai ke tempat upacara bakar tongkang mencapai 2 kilometer melintasi jalan-jalan di tengah kota.

Setelah berjalan sekitar satu jam, tongkang sampai ke sebuah lapangan kompleks lokasi pembakaran. Sejumlah orang terlihat mempersiapkan tiang-tiang kapal dan memasang layar. Hanya dalam hitungan detik, api sudah berkobar dahsyat membakar tongkang beserta uang-uangan yang menggunung.

Ritual puncak bakar tongkang adalah melihat ke arah mana tiang akan terjatuh. Masyarakat China 2010 ini, tiang tongkang ternyata jatuh ke arah darat. Tahun 2010 ini, tiang tongkang ternyata jatuh ke arah darat. Tahun 2015, tiang tongkang akan jatuh kemana?

///