Di Jalan Pancasan No. 17, tak jauh dari pusat kota Bogor, berdiri pabrik gong tertua dan bisa jadi satu-satunya di Jawa Barat. Memang agak sulit membedakan pabrik ini dengan rumah-rumah di tepi Jalan Pancasan yang berdempet dan padat di tepian hiruk-pikuknya Kota Hujan. Pabrik gong tersebut berjarak sekitar 2 kilometer dari Taman Raya Bogor Botanical Garden yang berdampingan dengan Museum Zoologi Bogor.
“Gong Factory”, tertulis jelas berwarna merah di tembok kuning yang sudah hampir pudar. Ya, pabrik gong yang jauh dari popular ini bernama Gong Factory tetapi masyarakat Bogor mengenalnya sebagai Gonghom. Di bawah tulisan itu berjejer tanaman hijau yang menandakan masih ada kehidupan di dalam gedungnya.
Pabrik berumur tua tersebut dikelola oleh Haji Sukarna dengan bantuan anaknya yaitu Krisna. Tempat ini berdiri dengan segudang karya budaya yang indah di tengah himpitan modernisasi juga kapitalisme modern dimana bisa saja mencerabut akar tradisinya dengan mudah.
Gonghom menempa dentuman demi dentuman logam timah bercampur tembaga, menyusuri waktu sejak hampir 300 tahun lalu. Di tempat inilah keterampilan membuat gong diturunkan selama 6 generasi dari ayah ke anak dan tak pernah berpindah jalur keturunan, begitu pula lokasinya.
Jalan Pancasan sendiri begitu padat dilalui kendaraan yang datang dan pergi meninggalkan kota Bogor. Pelataran parkir pabrik gong ini hanya cukup untuk dua mobil. Itupun harus dipakai menjemur kenyi, yaitu cetakan dari tanah liat untuk membuat gong, bonang, dan saron, jenis-jenis perkusi dari satu set gamelan.
Pintu kayu tak bercat pun terbuka, mengizinkan suara dentuman dari dalam bergelora keluar ruang. Nampak semburan dan bercak lidah api melambung di kegelapan tanpa lampu. Saat itu juga panas menyeruak, membuat sehelai baju terasa terlalu tebal.
Pekerja di dalamnya berkumpul memegang palu besi, bergiliran menempa sebuah lingkaran besar berwarna merah memutih, barulah kemudian dikeluarkan dari liputan api membara. Tak sehelai baju pun dikenakan pengrajin ini karena panasnya ruangan. Besi lingkaran itu pun kembali dimasukkan ke dalam tungku api bersuhu 400 derajat Celsius.
Sehari, dua gong besar dapat dihasilkan. Mulai dari mencampurkan timah dan tembaga sebagai bahan dasarnya, kemudian mencetaknya dengan bantuan cetakan tanah liat, menempanya, hingga dibersihkan dari kerak oksidasi yang menghitam. Artinya, untuk menyelesaikan satu set gamelan siap pakai lengkap beserta dudukan gong, bonang, dan saron yang berukir maka perlu satu bulan penuh dengan tiap hari kerja.
Untuk menghasilkan satu set gamelan perlu lebih dari sekadar dedikasi. Pengrajin gong ini menunjukan betapa keterampilan mereka telah mendarah daging diturunkan dari ayah ke anak. Ada tradisi dan kebanggaan menyeruak bersama dentuman besi dan bercak lidah api di antara gelapnya ruangan pabrik.
Di ujung ruangan nampak seorang tua menumbuk batu keras berwarna hitam. Batu hitam yang disebut karawa itu berasal dari cetakan pertama tanah liat yang sudah dibakar dengan suhu tinggi. Bubuk tanah yang dihasilkan dapat kembali digunakan untuk membuat cetakan. Di sampingnya, tak terganggu oleh suara ataupun orang berlalu lalang, seorang penyerut gong mengikir dengan serutan.
Warna hitam kelam sebuah gong yang baru ditempa kemudian diserut permukaannya hingga warna keemasan muncul di balik kerak menghitam. Butiran berkilau emas menumpuk di antara jari kakinya yang menjepit satu sisi gong. Jarang sekali ia menengadah, karena harus bisa menyelesaikan dua gong sehari. Alatnya sangat sederhana, walau sekarang telah dibantu mesin penghalus. Nyatanya, serutan adalah alat yang sudah berusia lebih dari dua ratus lima puluh tahun dan digunakan di tempat ini.
Di dalam bangunan yang lain, pembuat meja dudukan gamelan tengah sibuk membubut bentuk tiang kaki dan juga tiang gong. Di dekat jendela yang memancarkan sinar matahari, seorang pemahat ukiran bekerja dengan palu kayunya, meliuk mengikuti gambar pola ukiran yang menggurat di atas kayu mahoni. Rekannya yang masih muda, memolesnya dengan hati-hati, agar kayu tampak lebih cantik saat diwarnai tanpa menghilangkan lekukan ukiran.
Pekerja di pabrik gong ini adalah kombinasi seorang pengrajin sekaligus pekerja seni. Semua bekerja satu nafas, satu ritme, memainkan atraksi indah dan harmonis seperti suara gamelan yang merdu dan sarat nilai.
Karena dedikasi pengrajin gong inilah maka masyarakat Sunda dan Indonesia masih memiliki dan mengenal salah satu kekayaan budayanya. Bila saja ada beberapa tempat pembuatan gong seperti ini maka mungkin kita tak begitu khawatir akan ancaman hilangnya permata budaya Indonesia ini.
Akan tetapi, tempat ini mungkin hanya satu, jadi perlulah kiranya siapa pun turut menjaga dan melestarikan karya mereka layaknya buah hati. Tak salah lagi, ini adalah salah satu zamrud yang dinamakan warisan budaya yang masih hidup dari Indonesia, a living heritage.