Kesenian kuda renggong merupakan atraksi menarik yang dapat Anda nikmati saat menyambangi Sumedang. Sebagai seni pertunjukan rakyat berbentuk helaran (pawai), kuda renggong terus berkembang sejak awalnya menjadi budaya masyarakat Sumedang mengakar kuat. Atraksi ini mempertunjukan keahlian kuda menari dengan tidak hanya berjingkrak tetapi mengikuti ritme musik sehingga menghibur penonton. Umumnya kuda renggong memiliki dua kategori bentuk, yaitu: pertunjukan kuda renggong (di) desa dan kuda renggong (di) festival.
Kata renggong sendiri merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) atau cara berjalan kuda yang dilatih untuk menari mengikuti irama kendang yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak khinatan. Setidaknya ada 5 jenis gerakan kuda renggong, yaitu: (1) adean, gerakan larinya ke arah pinggir seolah-olah melintang, (2) torolong, gerak langkah pendek-pendek namun gerakannya cepat, (3) congklang, lari dengan gerakan cepat dan kaki menjulur ke depan. Gerakan ini seperti kuda pacu (balap), (4) jagrog, gerak langkah kuda biasa dan tidak lari namun gerakannya cepat, (5) anjing minggat, gerak langkah kaki setengah berlari.
Saat diperdengarkan musik, kuda-kuda akan bergerak layaknya sedang menari memainkan gerakan kaki, kepala dan badan mengikuti irama musik yang mengiringinya. Pilihan kudanya pun adalah yang lebih tegap dan kuat, juga asesoris dan perlengkapan musik pengiring, dan penari lebih semarak dengan pelbagai kreasi baju tradisional sunda. Bukan itu saja, tata musik dan tabuhan, dan pola gerak dan formasi parade kuda serta alur demonstrasi lebih memikat karena disinergikan antara tradisi dengan kekinian.
Alat musik tradisional yang menjadi pengiring biasanya kendang, bedug, goong, trompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Kini sesuai perkembangan iringan musik juga dipadupadankan dengan irama dari terompet, bass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dan lainnya. Sementara itu, tembang yang dipilih mengiringi diantaranya berjudul: “Kaleked”, “Mojang Geulis”, “Rayak-Rayak”, “Ole-Ole Bandung”, “Kembang Beureum”, “Kembang Gadung”, ”Jisamsu”, dan lainnya.
Kuda Renggong muncul pertama kali di Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang, awal abad ke-20. Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian Kuda Renggong. Dia adalah anak peternak kuda dari Buahdua. Awalnya Sipan tergerak hati saat mengamati gerakan kepala dan kaki kuda peliharaannya bila mendengar bunyi kendang. Gerakan-gerakan itulah yang menjadi dasar intuisi penciptaan kesenian kuda renggong atau kuda yang bisa menari. Cara yang digunakan untuk melatih kuda adalah dengan cara memegang tali kendali dan mencambuknya dari belakang agar kuda mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Latihan dilakukan selama berbulan-bulan hingga kuda menjadi terbiasa dan setiap kali mendengar musik pengiring maka akan menari dengan sendirinya.
Keberhasilan Sipan melatih kuda kuda yang bisa menari menarik perhatian pemimpin Sumedang saat itu, Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) yang tengah memajukan peternakan di Sumedang dengan mendatangkan bibit kuda unggul dari Pulau Sumba dan Pulau Sumbawa. Selain digunakan sebagai alat transportasi bangsawan, pada masa itu kuda sering difungsikan juga sebagai pacuan kuda dan alat hiburan. Sejak Sipan diperintahkan melatih kuda-kuda milik Pangeran Aria Surya Atmadja kemudian membawa nama Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian Kuda Renggong. Sipan meninggal dunia di usia 69 tahun (1939) dan keahliannya melatih kuda menari diturunkan kepada keturunannya. Pertunjukkan kuda Renggong sebagai seni kuda menari diawali tahun 1910 di kediaman Bupati Sumedang saat acara khitanan cucu Kanjeng Dalem.
Sekarang kesenian kuda renggong terus berkembang di Sumedang bahkan telah menjadi atraksi tahunan kepariwisataan Sumedang dimana selalu digelar setiap tanggal 29 September. Atraksi ini selain sudah telah menjadi tradisi juga sebagai daya tarik budaya khas Sumedang sekaligus menjadi ikon pariwisata.
Video via: Krisna Euy