Tanpa hutan bambu yang mengelilingi Penglipuran, mungkin desa ini sudah berpindah. Betapa tidak, Desa Penglipuran berada di lereng sisi selatan Gunung Batur. Ketinggian desa ini berada di kisaran 500 hingga 600 meter di atas permukaan laut. Hujan yang hadir di bulan Februari hingga Maret, atau disebut pada saat Sasih Kawolu, bisa begitu kuat sehingga mampu menghadirkan banjir dari arah Desa Kayang di sebelah utara Penglipuran. Akan tetapi, berkat rentangan lahan hutan bambu di bagian utara Penglipuran, di belakang Pura Penataran dan Pura Puseh maka gerusan air hujan yang bisa saja menerjang turun dari bukit utara dapat ditahan dan diserap oleh lahan hutan bambu. Terjangan air akhirnya tertahan, dan airnya terserap, lalu disimpan sebagai cadangan air tanah Penglipuran.
Antara Penglipuran dengan Desa Kayang di sebelah Utaranya dibatasi hamparan hutan bambu yang memanjang selebar 200 meter. Keberadaan hutan ini sudah dipikirkan para leluhur untuk menjadi proteksi bagi kesejahteraan warga Penglipuran. Itu pun diberlakukan untuk semua penjuru mata angin di Penglipuran.
Luas lahan kawasan Desa Penglipuran mencapai 112 hektar. Dari luas tersebut, 45 hektar berupa hutan bambu. Dahulu, pastilah hutan bambu ini lebih luas lagi karena Kubu Bayung yang luasnya sekira 8 hektar pun dibina dari pembukaan lahan hutan bambu. Demikian luasnya hutan bambu bagi Penglipuran maka dari ruas-ruasnya yang kokoh berbagai komponen dari rumah-rumah yang didirikan di desa ini berasal dari bambu. Hal ini dapat terlihat dari bagian atap rumah dimana di tempat lain menggunakan sirap atau alang-alang, bahkan genting.
Jenis bambu yang tumbuh di hutan bambu Penglipuran ialah bambu tali dan bambu jajang hitam, jajang hijau, jajang kuning, dan jajang loreng. Walau dari hasil penelitian ditemukan 13 jenis bambu yang tumbuh di hutan bambu Penglipuran, dua jenis itulah yang terhitung paling banyak. Bambu yang tumbuh ditebang secara pilih dan hanya 2 atau 3 batang saja yang diambil dari setiap rumpun bambu.
Bambu ditebang saat seluhung batangnya sudah mulai lepas. Terkadang, pemilik petak hutan bambu menilai kesiapan sebuah batang bambu diperiksa dari bunyinya saat diketuk-ketuk dengan bilah golok yang biasa digunakan. Dengan sistem tebang pilih ini, hutan bambu akan tetap dimanfaatkan sebagai kawasan pelindung dan juga penghidupan yang harmonis bagi warga adat Penglipuran.
Secara adat pun ditetapkan bahwa penebangan batang bambu memiliki waktu-waktu tertentu. Tidak setiap hari bambu dapat ditebang. Dalam sebulan, ada 3 hari menurut penanggalan adat yang menjadi pantangan menebang, yaitu: iswara Kajeng, pancawara Umanis, dan ingkel Buku.
Hutan bambu diperlakukan sebagai tempat yang menjadi bagian dari kegiatan berwisata di Penglipuran. Jalan di antara hutan bambu disiapkan dengan memasang cornblock sehingga nyaman untuk berjalan kaki saat menyusurinya, atau memudahkan pemilik saat memeriksanya menggunakan sepeda motor. Dari pemanfaatan hutan bambu, pengembangan selanjutnya ialah mencari keunikan bambu untuk kepentingan kuliner.
Cerita Mitos Hutan Bambu di Penglipuran
Diceritakan dari generasi ke generasi, bahwa dahulu terjadi penyerangan Raja Panjisakti dari Singaraja ke Kerajaan Klungkung. Prajurit dan para pekerja pembawa logistik diserang saat tengah beristirahat di daerah Bangli di kawasan Kekeran, yaitu di perbatasan Penglipuran dengan Kayang di sebelah utara desa saat ini. Dalam waktu peristirahatannya, para prajurit dan pekerja itu terperangah melihat api berkobar dari tubuh seseorang yang terlihat dari kejauhan. Ternyata api yang berkobar itu berasal dari tubuh Raja Bangli yang sakti mandraguna.
Melihat kejadian tersebut, para prajurit dan pekerja dari Kerajaan Singaraja berlarian ketakutan dan merasa penyerangannya sudah diketahui dan dinantikan. Perbekalan yang ditandu batang-batang bambu dan tombak yang dimiliki para prajurit pun ditinggalkan dan sebagian tertancap di tanah. Karena kesuburan tanahnya maka bambu-bambu yang tertanam tersebut kemudian tumbuh dan berkembang hingga menjadi hutan bambu yang luas.
Bambu Dianyam Indah
Bahkan seorang Ibu Negara pun sempat singgah untuk melihat sendiri seperti apa bambu melambai-lambai terhempas angin berubah menjadi susunan kotak indah berwarna-warni berlukis style ukiran Bali yang molek. Itulah Penglipuran yang kaya dengan bambunya yang merentang lebar seluas 45 hektar. Warganya tidak bisa tinggal diam melihat kekayaan itu, dan dengan kearifan lingkungan yang diturunkan leluhurnya, warga pun membatasi diri untuk tidak serta merta menjadi masyarakat industri kerajinan. Dari seluruh warga yang ada di Penglipuran berjumlah 936 orang, menurut data tahun 2013, hanya 75 orang yang terlibat dalam kerajinan bambu.
Bambu akan diambil dari hutan bambu yang dimiliki oleh perorangan yang menyewa lahannya dari adat. Dengan aturan yang diberlakukan, para pemilik hutan bambu akan memanen bambunya dan dijual kepada pembeli, salah satunya adalah perajin bambu. Karena pembuatan kerajinan terdiri dari beberapa proses pembuatan, mulai dari pemotongan hingga pembuatan bahan dasar dan juga finishing maka para pembuat bahan dasar biasanya membeli bilahan bambu yang sudah disiapkan oleh pemanen bambu.
Setelah dipanen, bambu dibuat dalam bentuk bilahan dan dihaluskan sesuai keperluan untuk bahan dasar. Bilahan bambu disusun di dalam ruang khusus yang menjadi workshop para perajin. Para perajin biasanya saling berkomunikasi untuk merencanakan produk yang akan dihasilkan. Para pembuat bahan dasar akan berkoordinasi dengan perajin yang berspesialisasi pada proses finishing. Ukuran, bentuk, bahan, dan jumlah yang dihasilkan akan didiskusikan.
Setelah mendapatkan jumlah yang disepakati, dimana sering kali jumlah disesuaikan dengan jumlah pesanan atau pun jumlah permodalan yang tersedia untuk produksi sebagai supplier ke berbagai point of sales maka dilakukan proses finishing yang melibatkan keahlian desain dan estetika yang tinggi. Tidak hanya mewarnai, bambu yang sudah selesai biasanya dibentuk dalam produk sokasi (sejenis bakul tertutup). Bentuk sokasi ini yang paling populer di Penglipuran karena banyak diperlukan untuk kepentingan peribadatan di pura atau perkawinan dan kematian, juga untuk kepentingan penjualan souvenir.
Sok dibuat dalam beberapa proses finishing, mulai dari pewarnaan yang dicelup, juga penggambaran desain yang akan memperlihatkan gaya ukiran Bali selain dibatik dengan bahan khusus. Sok-sokan yang dihasilkan dapat berharga mulai yang kecil dan sederhana Rp30.000,- hingga Rp300.000,- yang besar dengan desain rumit. Ada pula sok-sokan yang dibuat dari kulit bambu terluar yang ada di bagian luarnya dengan warna asli setelah diberi pengawet dan hiasan bisa berharga sekira Rp500.000 atau lebih.