Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran: Hutan Kecil Warisan Residen Priangan Eycken

Ketika lembayung terbenam di tepian horizon, segunduk hutan setia berdiam di hadapan pantai selatan Pulau Jawa. Hutan ini adalah jantungnya Pangandaran dengan lokasi menjorok ke laut dan diapit dua pantai yang hanya terpisah seratus meter saja, yaitu Pantai Barat Pangandaran dan Pantai Timur Pangandaran. Semenanjung kecil ini nyatanya memang tak pernah terhenti untuk terus menjadi tempat berlabuhnya orang-orang yang ingin mengecap segarnya hidangan alam Tanah Pasundan.

Pantai Pangandaran adalah salah satu dari sekian banyak pantai di Nusantara dengan keistimewaan dapat melihat Matahari terbit dan terbenam di satu kawasan. Jelasnya ini adalah sebuah lokasi yang sangat unik dan berharga untuk disambangi. Orang-orang berbondong-bondong menyaksikan keindahan terbit dan terbenamnya Matahari di tempat ini. Tentunya Pangandaran juga menyediakan berbagai pilihan untuk menghabiskan waktu liburan. Di pantai ini tersedia banyak penginapan mulai dari sederhana hingga yang berkelas. Ada juga berbagai restoran dan penjual asesoris yang dapat menjadi oleh-oleh.

Untuk keempat kalinya saya menyambangi Pangandaran, sebuah tujuan wisata favorit di selatan Jawa Barat. Masih teringat saat kecil bagaimana puasnya bermain di pantai ini begitu membekas di benak. Akan tetapi, kunjungan kali ini saya benar-benar ingin merasakan suguhan alam hijau di cagar alamnya itu.

Pangandaran rupanya terus berbenah setelah Tsunami pada Juli 2006. Tujuan wisata favorit di selatan Jawa Barat ini semakin komplit saja. Pengunjung saya amati banyak yang menikmati wisata alam ke cagar alam, bersepeda, berenang, bersampan, scuba diving, snorking, hingga melihat peninggalan sejarah. Selain itu, ada pula jelajah gua alam dan gua Jepang.

Setelah berkendara 6 jam dari Bandung dan tiba malam harinya di Pangandaran, Foursqure saya langsung mengarahkan lokasi pada posisi 7°42,366’S 108°39,332’E. Adapun rute yang saya lalui dari Bandung adalah melalui Tasikmalaya kemudian ke Ciamis dan Banjar, lalu mengarah langsung ke Pangandaran. Jarak yang ditempuh saat itu sejauh ± 223 km. Tempat penginapan yang dituju sudah kami pesan sebelumnya dan berlokasi di Pantai Timur Pangandaran.

Setelah cukup beristirahat semalamam, pagi harinya adalah waktu sempurna saya berjalan-jalan sembari berolah raga di Cagar Alam Pananjung. Perjalanan dari penginapan ke yang lokasinya tidak begitu jauh. Saya memilih berjalan kaki saja ketimbang menggunakan jasa perahu dari Pantai Barat Pangandaran dimana perlu menyewa seharga Rp40.000,-.

Saya begitu bersemangat menyambangi hutan kecil seluas 37,70 hektar yang ternyata sudah ada sejak 1920-an. Pananjung Pangandaran sendiri merupakan semenanjung kecil yang berada di pantai selatan Kabupaten Ciamis. Tak ada yang mengira bahwa sebenarnya dahulu Pananjung merupakan sebuah pulau kecil dan kemudian terhubung dengan daratan Pulau Jawa akibat proses sedimentasi pasir.

Hutan ini terlihat lebih rimbun menghijau dibanding ketika dahulu saya melihatnya belasan tahun lalu. Beberapa jenis tumbuhan laut seperti waru laut, nyamplung, dan ketapang masih nampak belum berubah. Akan tetapi, beberapa hewan tidak saya temukan seperti yang dahulu sempat ada seperti kancil, ular, biawak, landak, ayam hutan, dan banteng. Entah apakah mereka sedang tidur siang di dalam hutan. Di kawasan konservasi flora dan fauna sini dengan mudahnya dapat ditemui rusa menjangan dan kera ekor panjang yang sudah biasa membaur dengan pengunjung. Bahkan, rusa bertanduk lebar pun saat tengah malam keluar dari hutan untuk memasuki kawasan sekitar penginapan dan restoran.

Sebelum tahun 1922 kawasan cagar alam ini merupakan ladang penduduk. Seorang Residen Priangan bernama Y. Eycken mengubah kawasan ini menjadi taman berburu. Saat itu dilepaskan seekor banteng, 3 ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Seiring waktu berjalan, pada 1934 status kawasannya ini diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan luas 530 ha. Secara mengejutkan juga ternyata tahun 1961 ditemukan bunga raflesia padma yang langka sehingga membuat cagar alam ini ditetapkan menjadi Cagar Alam dan tahun 1978 diubah menjadi Taman Wisata dengan luas 37,70 ha. Berikutnya pada 1990, luas Cagar Alam ditambah 470 Ha hingga menjadi 1000 Ha, dimana itu meliputi taman laut dan wilayah perairan yang mengelilinginya. Hingga saat ini Cagar Alam Pananjung berada di bawah pengelolaan SBKSDA Jawa Barat II dan untuk Taman Wisata Alam (TWA) dikelola Perum Perhutani Ciamis.

Saat saya menyambangi kawasan konservasi ini rupanya tidak diperkenankan untuk memasuki wilayah Cagar Alam. Pengunjung hanya diizinkan berkeliling di wilayah Taman Wisata Alam, itu demi menjaga kelestarian alam di sana. Akan tetapi hutan hijau dan pegunungan Cagar Alam bisa dinikmati dengan menyewa perahu dan mengelilingi hutan Cagar Alam dari Pantai Barat Pangandaran ke Pantai Timur Pangandaran.

Taman Wisata Pananjung dapat dituju melalui dua pintu masuk, yaitu pintu di Pantai Barat dan di pintu Pantai Timur. Pilihan yang kedua lebih dekat meskipun Pantai Timur adalah kawasan pelabuhan nelayan. Pantai Timur memiliki ombaknya yang tenang dan lautnya yang dalam tetapi jarang direnangi hanya sekadar untuk memancing atau atraksi banana boat. Kawasan ini berbeda dengan Pantai Barat yang merupakan kawasan wisata dengan banyak restoran, penginapan, toko-toko souvenir, dan beragam kebutuhan wisatawan seperti penyewaan papan selancar kecil, sepeda, atv, tatoo, dan lainnya.

TWA (Taman Wisata Alam) Pangandaran merupakan bagian dari Cagar Alam Pananjung. Taman Wisata Alam memang diperuntukan sebagai tujuan wisata dan juga dimaksudkan untuk memberi batas kepada masyarakat tentang daerah yang boleh dikunjungi dan daerah yang tidak. Cagar Alam Pananjung yang hanya boleh dimasuki jika ada izin tertulis dari BKSDA Jawa Barat II. Pengunjung umum tidak diperkenankan memasuki wilayah Cagar Alam dan hanya sekitar wilayah Taman Wisata saja, itu demi menjaga kelestarian alam di sana. Akan tetapi, hutan dan pegunungan dari Cagar Alam bisa dinikmati dengan menyewa perahu lalu mengelilinginya dari Pantai Barat ke Pantai Timur.

Di kawasan Cagar Alam Pananjung saya melihat binatang-binatang liar dengan mudah ditemui. Nampak rusa menjangan hilir mudik mencari makan, tak jarang monyet ekor panjang serta lutung mencoba mendekat untuk mencari makanan yang barangkali saya buang. Ada juga kelelawar (kalong), banteng, rusa, biawak, tokek, dan ular serta landak. Menurut penjaga hutan, di cagar alam ini ada juga beberapa jenis burung yang sayang tidak saya temui, yaitu cipeuw, cangehgar, tlungtumpuk, dan jogjog.

Selain flora dan fauna, di Pananjung juga terdapat beberapa gua yang menarik dikunjungi, seperti: Gua Panggung, Gua Parat, Gua Lanang, Gua Sumur Mudal dan juga gua peninggalan Jepang saat Perang Dunia II. Tentara Pendudukan Jepang dahulu memang pernah merencanakan kawasan ini sebagai benteng pertahanan mengantisipasi apabila Sekutu menyerang dari arah laut selatan. Hal itu nyatanya tidak terjadi karena Sekutu datang dari utara. Hasilnya gua-gua dan benteng pertahanan itu masih terpelihara dengan baik sampai sekarang.

Selain gua, rupanya kawasan ini juga menyimpan sisa puing-puing peninggalan kerajaan Pananjung, Galuh, yaitu dinamai Batu Kalde. Saya tidak mengetahui cerita di balik peninggalan sejarah tersebut tetapi sudah cukup menjadikan tempat ini memang memiliki beragam daya tarik. Saya juga menyempatkan diri menyambangi Mata Air Rengganis. Konon cerita dari mulut ke mulut mewartakan mata air ini memiliki khasiat awet muda bagi mereka yang mandi di sana.

Menikmati beragam kejutan Cagar Alam Pananjung adalah kesempatan melihat langsung hutan indah di pesisir selatan dengan beragam daya tariknya. Semoga masyarakat dan wisatawan terus menyadari betapa pentingya fungsi hutan lindung dan hidup berdampingan saling menguntungkan dengannya. Dengan begitu hutan pun tetap hijau lestari, hewan dapat mencari makan, wisatawan menikmati keindahan alam dan atraksinya, serta tentunya masyarakat setempat mendapat keuntungan dari datangnya wisatawan.