Asal muasal Kaganga diyakini sebagai turunan aksara Palawa yang berkembang sejak abad ke-12 dan 13. Media yang digunakan untuk menulis Kaganga adalah bilah-bilah bambu yang disebut gelumpai, rotan, kulit kayu, tanduk, batu, dan juga kertas. Isi naskah Kaganga antara lain hukum adat, pengobatan, doa, mantra, kisah kejadian, silsilah atau tembo, rejung, perambak bujang dan gadis, serta cerita rakyat.
Cara menulis Kaganga dari arah kiri ke kanan, lalu dari sudut kiri bawah ke kanan atas kecuali untuk huruf yang memiliki garis tegak lurus. Garis tersebut berukuran setengah dari tinggi huruf. Bentuk aksara berupa garis dan siku yang terdiri dari 28 grafem dan begitu melekat dengan vokal A, bunyinya: ka, ga, nga, ta, da, pa, ba, ma, sa, nya, ya, wa, ha, a, ra, mba, nda, dan masih banyak lagi. Jadi ketika menulis kata yang membutuhkan awalan E,I,O dan U, Anda harus tetap menggunakan huruf A dengan merubah bunyinya.
Suku Rejang memiliki tiga dialek bahasa antaarsuku dengan perbedaannya mencolok satu dengan yang lain. 3 dialek tersebut, yaitu: dialek rejang curup, dialek rejang kepahiang, dan dialek rejang lebong.
Beberapa ahli bahasa mengklaim bahwa ada hubungan antara aksara ini dengan hieroglif Mesir dan bahasa ibrani. Istilah Kaganga sendiri dicetuskan oleh Mervyn A. Jaspan, antropolog Inggris yang menerbitkan buku Folk Literture of South Sumatera. Menurutnya, kaganga merupakan kerabat beberapa aksara yang tersebar di Sumatera sebelah selatan. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu dan diperkirakan pernah digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Salah satu Surat Ulu yang ditemukan di Desa Padang Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, berisikan strategi perang melawan Belanda. Inilah sebabnya mengapa pewaris surat kerap menganggapnya sebagai benda pusaka. Untuk membukanya saja harus menyembelih ayam atau kambing.
Walaupun penggunaan Kaganga sudah terhenti pada abad ke-20, sampai saat ini aksara tersebut terus dilestarikan, dijadikan mata pelajaran muatan lokal bagi sekolah-sekolah dasar di kabupaten tersebut. Pengajarnya sendiri merupakan guru-guru asli Suku Rejang. Mempelajari Kaganga lebih mudah daripada aksara Jawa karena grafemnya tidak memilki pasangan.