Bicara batik lasem maka identitas kuat yang melekatinya adalah batik pesisir yang indah dengan pewarnaan cerah serupa merah (warna darah ayam), kuning, biru, dan hijau khas pesisir. Beberapa motif yang mudah dikenali darinya adalah burung hong, bunga peony, teratai, watu pecah atau watu krecak, dan liong. Sering juga batik lasem menghadirkan ornamen kawung, gunung ringgit, dan parangan. Dari kombinasi warna khas dan motif terpengaruh desain budaya Tionghoa bersama budaya Jawa tampak berpadu indah, serasi, anggun dan memukau.
Sempat redup dari gegap gempita batik nusantara tahun 1950-an akibat kondisi politik, batik lasem kemudian menggeliat seperti sudah ditakdirkan. Terlebih karena sejak dahulu memang hampir semua warga keturunan Tionghoa di kota ini telah menjadi pengusaha batik. Mereka memberdayakan warga sebagai perajin terutamanya gadis dan ibu rumah tangga.
Untuk mengenali batik lasem maka hal paling khas yang tidak akan temui pada batik jenis lainnya adalah warna merahnya. Warna tersebut dikenali dengan nama warna ‘abang getih pitik’atau warna darah ayam. Warna merah tersebut dipastikan tidak akan dapat dibuat di labolatorium sekalipun karena diramu dari akar mengkudu dan akar jiruk ditambah air di wilayah Lasem yang kandungan mineralnya sangat khas.
Warna cerah merah lasem atau sering disebut juga Bang-bangan(warna merah) memang sangat terkenal di kalangan pecinta batik Nusantara. Karena warna merah yang tidak dapat ditiru pembuatannya tersebut maka tidak mengherankan jika banyak pengusaha batik dari daerah lain seperti Pekalongan, Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Cirebon, berusaha mendapatkan kain blangko bang-bangan, yaitu kain yang baru diberi pola dasar dan dicelup warna merah pada sebagian motifnya.
Selain Bang-bangan (warna merah), ada juga warna dan motif khas lainnya yang tidak kalah menarik, yaitu: Tiga Negeri (merah-biru-cokelat), Bang-Biron (merah-biru), es teh atau Sogan (kekuningan), Biron (biru), dan Empat Negeri atau Tiga Negeri Ungon (merah-biru-soga-ungu). Masing-masing warna tersebut memiliki makna dan pemakaian yang berbeda.
Batik Lasem juga dikenal dengan sebutan “Batik Tiga Negeri”. Sebutan tersebut didapat dari proses pewarnaan batiknya yang melalui tiga kali proses pewarnaan. Proses pewarnaan merah, dimasukkan klorotan agar lilinnya hilang, dicampur dengan tanah, lalu dimasukkan ke dalam pewarna biru dan yang terakhir adalah warna coklat. Semua proses tersebut dilakukan dalam satu rumah. Secara istilah, Batik Tiga Negeri itu, warna merahnya dari Lasem, biru dari Pekalongan dan Coklat (Soga) berasal dari Solo.
Untuk memudahkan Anda memilih batik laseman maka patokannya adalah apakah Anda akan memburu batik bermotif Lasem-Tiongkok, bermotif Lasem non-Tiongkok, atau perpaduan keduanya. Batik lasem bermotif non-Tiongkok tidak dipengaruhi oleh budaya Tiongkok namun lebih didominasi motif batik Jawa. Beberapa yang cukup dikenal adalah: Sekar Jagad, Parang Rusak, Parang Tritis, Latohan, Ukel, Alge, Ceplok Piring, Ceplok Benik, Pasiran, Lunglungan, Gunung Ringgit, Pring-pringan, Pasiran Kawung, Kawung Mlathi, Endok Walang, Bledak Mataraman, Bledak Cabe, Kendoro Kendiri, Grinsing, Kricak/Watu Pecah, Kawung Babagan, Sekar Srengsengan, Kembang Kamboja, dan Sido Mukti.
Sementara itu, untuk yang bermotif Tiongkok unsur orientalnya begitu kental, diantaranya adalah: motif burung hong (phoenix) atau dikenal sebagai Lok Can, naga (liong), kilin, ayam hutan, ikan emas, kijang, kelelawar, kupu-kupu, kura-kura, ular, udang, kepeting, dan lainnya.
Untuk batik lasem perpaduan Jawa dan Tiongkok akan terlihat pada motif parang, udan riris, kawung, kendoro kendiri, sekar jagad, dan anggur-angguran. Ada pula perpaduan motif flora Tiongkok dengan lainnya seperti bunga seruni (chrysanthemum), peoni, magnolia, sakura (cherry blossom), bambu, dan lainnya. Ada juga motif Tiongkok selain flora dan fauna, contohnya motif kipas, banji, delapan dewa (pat sian), dewa bulan, koin uang (uang kepeng). Masing-masing motif tersebut memiliki makna tersendiri yang sangat kaya nilai filosofinya.
Terkait sejarah industri batik di Lasem berkembang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1420 Masehi. Itu tercatat dalam Kitab Badrasanti (1478 Masehi) yang menyebutkan bahwa proses pembatikan di Lasem sudah berlangsung sejak puteri Na Lui Ni dari Champa (Vietnam) mengajarkan teknik batik kepada anak-anak di daerah Kemendung (Lasem). Na Lui Ni sendiri merupakan isteri dari Bi Nong Hua, yaitu salah seorang nahkoda kapal Cheng Ho. Ia meminta izin pada Cheng Ho untuk menetap di Lasem.
Lasem sendiri pada 1350-1375 merupakan sebuah kerajaan kecil di bawah Kerajaan Majapahit dan uniknya senantiasa dipemimpin oleh wanita. Awalnya batik lasem lebih banyak digunakan wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut dan sempat dinamai batik encim. Berikutnya pengaruh Jawa ikut mewarnai corak dan ragam batik lasem, seperti adanya ornamen kawung dan parang.
Untuk menuju Lasem, dari Semarang jaraknya sekira 130 km atau sekitar 3,5 jam perjalanan. Dari Rembang, Lasem berjarak 12 km arah timur dan berbatasan dengan Laut Jawa sebelah Utara. Luas wilayah Lasem sekira 45,04 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 44.879 orang. Untuk penginapan di Lasem, terdapat akomodasi dengan harga ekonomis mulai dari Rp100 ribu hingga Rp350 ribu. Kota ini menghadirkan nuansa pengaruh budaya Tiongkok yang kuat.