Tari Gandrung: Memikat Dinikmati dari Banyuwangi

Tari Gandrung Banyuwangi | Photo credit: Him

Seorang penari gandrung akan menari mengikuti irama instrumen gamelan dengan berbekal sebuah kipas. Ketika kipas sang penari dikibaskan pada salah seorang penonton maka itu berarti sang penari mengajaknya maju ke arena untuk menari bersama.

Banyuwangi dijuluk sebagai “Kota Gandrung” mengingat daerah ini merupakan rumah kesenian tersebut. Bahkan, sejak tahun 2000, tari gandrung telah resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi dan dipromosikan lewat pementasan di berbagai daerah seperti Surabaya, Jakarta, Hongkong, bahkan hingga ke Amerika. Tarian gandrung juga adalah salah satu tarian Nusantara khas Banyuwangi yang disukai oleh Presiden Soekarno. Bahkan, saat itu sang presiden sering mengundang penari ganrung untuk tampil di Istana Negara.

Tarian gandrung biasanya dibawakan sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama dan lelaki dari penonton yang diajak menari atau disebut sebagai paju. Tari gandrung sering dipentaskan pada acara perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan, dan acara lainnya. Pertunjukan tarian secara khusus biasanya dimainkan pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh.

Tari gandrung mirip tari ketuk tilu di Jawa Barat, tari tayub di Jawa Tengah, tari lengger di Cilacap dan Banyumas, atau joged bumbung di Bali. Tarian ini juga mirip tari seblang apabila dilihat dari seni gerakan tari, nyanyian, serta alat musik yang digunakan. Hal yang membedakan pada tari seblang biasanya disertai kerasukan pada sang penarinya, sementara tari gandrung lebih bersifat hiburan semata.

Tari gandrung sendiri berasal dari kata gandrung, yang berarti kekaguman. Kemunculan tarian ini diperkirakan saat dibabadnya Hutan Tirtagondo (Tirta Arum) untuk dijadikan wilayah Ibu Kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada 2 Februari 1774. Tarian gandrung dimainkan untuk menghibur para pembabat hutan dan mengiringi upacara selamatan terkait pembabatan Hutan Tirtagondo yang dianggap angker saat itu oleh warga sekitar.

Ada pula versi lain yang menyatakan bahwa tarian ini adalah kesenian peninggalan Majapahit dan pada masa itu hanya ditampilkan untuk kalangan kerajaan saja. Pada masanya tarian ini dipentaskan malam hari saat Bulan Purnama. Ketika pertama kali berkembang, tari gandung hanya dimainkan penari pria yang berdandan dengan pakaian dan riasan perempuan. Seiring berkembangnya pengaruh agama Islam, tarian gandrung kemudian lebih banyak dimainkan penari perempuan karena adanya fatwa ulama bahwa seorang lelaki tidak diperkenankan berdandan seperti perempuan.

Saat pertama kali berkembang, tarian gandrung hanya diiringi alat musik tradisional gamelan. Barulah pada masa sekarang tarian ini diiringi alat musik yang lebih lengkap namun kendang dan biola tetaplah menjadi ciri khasnya. Selain itu, dahulu busana yang dikenakan penari sangat sederhana, berupa mahkota terbuat dari dedaunan. Sekarang, pakaian penari gandrung telah menyesuaikan dengan zaman mahkota dan pakaian yang indah penuh warna berkilap.

Apabila diperhatikan, seorang penari gandrung akan selalu mengenakan mahkota unik yang disebut omprok. Pada mahkota juga diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah penari bulat telur serta tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Mahkota penari tersebut biasanya terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, yaitu putra Bima dalam legenda pewayangan.

Pakaian yang dikenakan penari gandrung terbuat dari beludru berwarna hitam yang dihias ornamen kuning emas serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada. Untuk bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka lalu bagian lengan dihias kelat bahu dan bagian pinggang dengan ikat pinggang serta sembong sebagai pemanis. Selendang juga akan selalu dikenakan sang penari di bahunya.

Sementara itu, untuk bagian bawah busananya, penari gandrung mengenakan kain batik dan yang umum adalah batik corak gajah oling atau corak tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Dahulu seorang penari ganrung akan menari tanpa alas kaki dan baru sejak tahun 1930-an penarinya selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukan.

Setiap kali taian ganrung dimainkan maka akan selalu melibatkan penari, instrumen alat musik tradisional, nyanyian, gerak tari, dan arenanya yang berupa lapangan terbuka atau panggung. Saat ini biasanya ketika tarian ini dipentaskan maka erat kaitannya dengan kepentingan pemilik hajatan. Tari ini juga sering dijadikan media untuk mencari sumbangan dari tamu yang hadir.

Sebagai salah satu kesenian daerah asli Banyuwangi, tari gandrung banyak dibawakan masyarakat mulai dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Selain itu, tarian ini pun terus dilestarikan dimana sekolah-sekolah di daerah tersebut menjadikan tarian ini masuk salah satu kegiatan ekstrakurikulernya dalam berbagai macam versi seperti tari gandrung jejer, jaran dawuk, atau tari gandrung jejer gandrung dor.

Tari gandrung juga kini telah berkembang hingga ke Bali dan Sasak (Lombok). Apabila di Banyuwangi tari ini menunjukkan penari yang bertingkah mesra pada maka di Lombok tariannya lebih riang dengan penari yang sering berlenggang-lenggok. Sementara itu, di Bali tarian ini lebih dikenal sebagai tari joged muani dengan goyangan atraktif dan sorot mata khas tari Bali sehingga cukup digandrungi kalangan muda. (Him)