Waisak di Candi Borobudur: Pengalaman Spiritual dan Ribuan Lampion Pengantar Doa

“Berlatarkan langit malam pekat dan bulat bulan purnama, ribuan lampion berwarna kuning kemerahan beterbangan di udara mengantarkan doa-doa. Inilah sebuah momen yang maha indah sekaligus sakral dan penuh kesan dalam rangkaian perayaan Tri Suci Waisak. Momen ini adalah puncak dari perayaan Waisak yang biasa dilaksanakan di Candi Borobudur—sebuah monumen Buddha terbesar di dunia yang menjadi salah satu ikon kebanggaan warisan budaya Indonesia.”

Setiap tahun, Candi Borobudur yang dibangun pada masa Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra (824 M) ini memang menjadi tempat perayaan hari suci agama Buddha, yaitu Waisak. Perayaan Waisak di candi yang berusia lebih tua 300 tahun dari Angkor Wat tersebut selalu menarik ribuan umat Buddha dari berbagai negara dan juga wisatawan yang khusus datang untuk melihat ritual sakral dan mengesankan itu. Bahkan di hari-hari biasa, monumen Buddha terbesar di dunia dengan 504 patung Buddha, 72 stupa terawang, dan 1 stupa induk adalah pesona warisan budaya yang sungguh berharga dan layak disambangi. 

Waisak dirayakan sekali setiap tahunnya, yaitu setiap bulan purnama di bulan Mei atau Purnama Sidhi. Waisak memperingati tiga peristiwa paling penting dalam kehidupan Buddha Gautama Siddharta dan dikenal sebagai Tri Suci Waisak. Peristiwa penting pertama adalah kelahiran Pangeran Siddharta di Taman Lumbini tahun 623 SM. Peristiwa penting kedua adalah pencerahan dimana Pangeran Siddharta menjadi Buddha di Bodhgaya pada usia 35 pada tahun 588 SM. Ketiga adalah wafatnya Buddha Gautama di Kusinara pada usia 80 tahun (543 SM). 

Upacara sakral didahului sejumlah ritual beberapa hari sebelumnya, seperti mengambil air suci dari mata air murni di Jumprit, Kabupaten Temanggung. Air suci yang dikemas dalam sekira sepuluh ribu botol dan 70 kendi kemudian akan disimpan di Candi Mendut yang terletak tak jauh dari Borobudur. Umat Buddha percaya bahwa air adalah unsur alam penting untuk prosesi Waisak. Air digunakan untuk mengalirkan kebaikan.

Hari berikutnya adalah ritual menyalakan obor Waisak, yang sumber apinya diambil dari api abadi di Mrapen. Mrapen tepatnya berada di Desa Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Seperti halnya air suci, api ini pun terlebih dulu disimpan di Candi Mendut sebelum tiba puncak perayaan Waisak di Borobudur. Bagi umat Buddha, api adalah perlambang cahaya. Sejatinya cahaya dapat menghapuskan kesuraman dan membawa terang atau dapat pula diibaratkan sebagai cahaya pengetahuan di gelapnya kehidupan. Dengan api pula, umat Buddha ingin membersihkan segala jenis kotoran batin dengan cara membakarnya.

Ritual pindapatta juga akan dilakukan sebagai bagian dari ritual Waisak. Berasal dari kata ‘panda’ yang berarti sepotong makanan dan ‘patta’ (patra) yang berarti mangkuk. Pindapatta adalah ritual dimana biarawan Buddha (Bikku dan Bikkhuni) menerima persembahan makanan dari jemaat Buddha. Biarawan Buddha akan berjalan dengan kepala tertunduk sambil memegang mangkuk dan jemaat secara sukarela akan mengisi mangkuk mereka dengan makanan. Filosofi di balik ritual ini adalah tindakan memberi dan menerima sebagai latihan moral baik bagi biarawan dan pengikut Buddha, sesuai dengan ajaran Buddha. Bagi para bhikkhu, pindapatta adalah salah satu cara melatih diri hidup sederhana dan belajar menghargai pemberian. 

Pada hari puncak perayaan Waisak, Biksu dan jemaat Buddha akan berkumpul di Candi Mendut sejak pagi hari. Dari Mendut, mereka akan memulai perjalanan dengan berjalan kaki menuju Candi Borobudur melewati Candi Pawon, Sungai Elo dan Sungai Progo. Dalam prosesi ini obor Waisak, air suci, dan simbol-simbol  Buddha lainnya akan dibawa ke altar utama di halaman sisi barat Candi Borobudur yang menjadi lokasi perayaan Waisak. Selama prosesi, paritta atau bacaan ayat-ayat suci dari kitab suci Buddha dilantunkan para biarawan. Perjalanan ini akan memakan waktu sekira tiga jam perjalanan.

Di pelataran sisi barat Candi Borobudur, patung Buddha raksasa tampak duduk anggun sekaligus megah di singgasana berbentuk lotus. Berbagai macam persembahan mulai dari lilin, bunga, dan dupa dari para jemaat ditempatkan di altar yang berada tepat di depan patung Buddha yang megah tersebut. Saat malam menjelang, kemegahan Borobudur semakin semarak oleh cahaya lilin yang menjadi salah satu unsur penting upacara. Lilin tidak hanya berperan sebagai persembahan tetapi juga merupakan representasi dhamma. Ia memiliki makna yang sakral yakni sebagai simbol rasa hormat kepada Buddha dan kebijaksanaan.

Setelah menyalakan lilin, Ghata Visaka Puja akan dibacakan oleh para jemaat. Cahaya bulan yang bersinar lembut di langit Candi Borobudur menjadi saksi kekhusukan jemaat yang membacakan doa suci. Ritual dilanjutkan dengan pradaksina atau ritual mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali dimulai dari sisi timur dan  bergerak searah jarum jam. 

Menandai akhir seri ritual Waisak, ribuan lentera Puja akan dilepaskan ke langit sebagai perlambang pencerahan bagi seluruh alam semesta. Sebelum melepaskan lampion ke angkasa, jemaat akan menghaturkan doa dan harapannya kepada Tuhan. Para bhiksu akan memimpin tiap kelompok untuk mulai menyalakan sumbu di dalam lampion sebelum melepaskan lampion-lampion hingga memenuhi langit di pelataran Candi Borobudur. 

Keindahan dan kesan sakral akan menyentuh siapa pun terutama saat ribuan lampion-lampion yang kontras dengan pekat langit malam tersebut mengangkasa, mengantarkan doa dan harapan  jemaat kepada Tuhan. Sungguh sebuah pengalaman spiritual yang kesannya tak cukup diwakilkan dengan kata-kata dan bahkan foto sekalipun.