Pukul lima pagi pesawat Express Air mulai memecut kecepatan di landasan pacu Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Langit sudah nampak membiru di luasnya cakrawala. Setiap orang tampaknya masih dalam suasana buaian malam, karena setidaknya pukul tiga dini hari mereka pasti sudah bergegas dan bersiap terbang ke tanah Papua. Penerbangan kali ini menuju Sorong, Papua Barat, dan akan cukup panjang, walau transit di Bandar Udara Hasanuddin, Makassar sudah pasti menjadi sebuah jeda yang melegakan.
Satu jam sebelum check-in di Terminal 1B Bandara Internasioal Soekarno-Hatta tempat Express Air berlabuh, beberapa orang di antara kumpulan para penyelam mulai muncul dan menceburkan diri di hangatnya kopi dan mie instant. Lebih nyaman dengan sandal, tak seorang pun mengenakan sepatu, kecuali seorang photographer berperawakan tinggi besar. Ia terpingkal-pingkal membicarakan kopi pembuka mata karena harganya yang berlipat ganda, atau pramugari yang beriring dan berlalu lalang, atau mungkin sekedar mengolok-olok dampak pil kina yang wajib dikonsumsi sebelum menembus batas tanah Papua.
Perbekalan penyelam memang luar biasa dan itu membutuhkan tenaga tambahan hanya untuk menyeretnya. Beban di check-in counter tak jarang melebihi beban di atas 20 kg yang biasanya menjadi batas maksimal beban tak berbiaya. Selepas membayar Rp 40.000 untuk pajak penerbangan domestik, para penyelam dan fotografer beriringan menaiki escalator menuju ruang tunggu maskapai penerbangan setelah sekali lagi melalui pemeriksaan petugas keamanan bandara.
Penerbangan ke Makassar menembus angka dua jam lebih beberapa menit saja dari Jakarta. Di atas ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut, pesawat meluncur memecah ruang sunyi di antara terjalnya awan-awan menjulang.
Bandara Internasional Hasanuddin seperti lapang parkir membentang luas, dipagari oleh visualisasi bukit berlapis-lapis di kejauhan. Udara di Makassar cukup ramah untuk sebuah kota di dekat laut. Sopir bis shuttle yang mengantarkan seluruh penumpang dari pesawat ke gedung megah di tepian jalur transport bandara menegaskan, mungkin udara belum mengganas, karena tak ada yang tak panas di bumi Nusantara yang dirajut tali khatulistiwa ini.
Bandara Hasanuddin nampak begitu mewah. Interior ruangannya didesain sangat apik dan terasa sejuk dengan suasana internasional tapi ada sentuhan lokal di atapnya yang megah menjulang. Dinding-dinding kaca yang mengkilap hampir tak menampakkan batas antar ruang. Toko-toko bandara berjajar rapih dan terang, sangat exclusive dan seperti berjalan dalam buku desain interior. Terlepas dari indahnya gedung ini, teknik passanger management saat itu kurang begitu mengesankan, diwarnai oleh antrian panjang dan bisingnya keluhan-keluhan dan kata-kata melangit dari imigran Jawa dan Sumatra yang bekerja di perusahaan besar di Kota Sorong atau Timika.
Akhirnya, setelah kembali meniti waktu selama dua jam lebih dengan penerbangan yang sama, tibalah Kota Sorong di hadapan. Dan ya! langitnya sangat cerah berwarna biru muda dan tua, dengan sedikit awan, dan banyak pemandangan baru di daratan. Dua jam pun ditambahkan pada menu detik-detik hari di jam tangan. Kota Sorong sudah memasuki Waktu Indonesia Bagian Timur. Kami mendarat tepat jam 1 siang waktu setempat.
Bandara Dominik Eduard Osok yang seperti sebuah sekolah SMP di satu sisi Kota Bandung menyambut hangat. Sebelum keluar bandara, setiap orang diingatkan untuk wajib membeli open tag seharga Rp 250.000 untuk WNI dan Rp 500.000 untuk WNA. Sistem Open Tag berupa pin ini berlaku untuk satu tahun sebagai tanda bahwa seseorang diperbolehkan keluar masuk kawasan Raja Ampat. Satu tahun masa berlaku dimulai dari Januari tiap tahunnya. Jadi bila membeli tag bulan Desember, maka tag hanya berlaku 1 bulan saja. Jika sering ke Raja Ampat, datang dan beli di bulan yang tidak jauh dari bulan Januari.
Di kejauhan, nampak garis lurus dari ujung ke ujung lainnya dilewati mobil minibus berwarna kuning. Tak salah lagi itu pasti angkot, sistem transportasi layanan umum yang paling layak untuk Indonesia dan penduduknya yang kemana-mana ingin murah dan nyaman pada taraf tertentu. Mamayo! Banyak sekali angkot disini.
Angkot disini memang tak ingin kalah dengan kerabatnya di Sukabumi atau Bogor, Jawa Barat. Suara sound system ala Afro-American menggetarkan udara hingga radius 5 hingga 10 meter, tergantung tingkat anti-social sopir yang berada di balik kemudi. Mamayo! Memang angkot gaul sudah masuk tanah Papua Barat.
Dua orang local guide penyambut team sudah nampak mendekati dan berbaur, menyapa dan menjaga jarak dalam waktu bersamaan. Nampaknya salah seorang diantaranya ialah seorang Dive Master, pakar menyelam, berperawakan hitam besar seperti awan cumulus mau hujan, dengan rambut spike dan kaos bergambar penyelam. Wajahnya menunjukkan bahwa ia bukan salah satu etnis dari tanah Papua. Setelah beberapa menit, ia tak begitu menyeramkan seperti sepintas lalu. Pak Kirman namanya. Ia didampingi Ivan yang murah senyum, dan dikenal diberbagai sudut bandara juga pelabuhan laut saat ia mengatur pelayaran Sorong – Waisai buat kami.
Baru saja menggeserkan kursi Rumah Makan Padang Jakarta di Jalan Baru, Ivan mengatakan kalau kapal feri yang akan kami gunakan untuk menyebrang ke Waisai sudah hampir melaut. Jadwal pelayaran ke Waisai, Ibu Kota Raja Ampat, hanya ada dua kali per hari, dan terakhir pada pukul 2 siang. Perut para penyelam dan fotografer harus menunggu untuk lima menit lagi menuju Pelabuhan Rakyat, plus dua jam ke Waisai. Pelabuhan Rakyat ialah pelabuhan untuk pelayaran antar pulau kecil. Sedangkan pelayaran antara provinsi di Pelabuhan Besar. Begitulah perjalanan ke kepulauan Raja Ampat, harus bergegas, mengejar waktu yang juga harganya sangat mahal.
Info Tambahan:
Terminal di Bandara Internasional Soekarno – Hatta, Jakarta:
Terminal 1A: Lion Air, Wings Air
Terminal 1B: Sriwijaya Air, Express Air
Terminal 1C: Batavia Air