Apabila Anda berkesempatan mengunjungi Wakatobi, Togean, atau Komodo maka besar kemungkinan akan melihat deretan rumah apung atau perkampungan yang berdiri di atas permukaan laut dangkal sekitar kepulauan tersebut. Itulah perkampungan Suku Bajo yang terkenal sebagai pengarung lautan Nusantara.
Suku Bajo adalah satu dari sekian banyak suku di Nusantara dengan kearifan lokal yang mengagumkan untuk hidup berdampingan dengan ekosistem laut. Saatnya kali ini Anda benar-benar berinteraksi dengan dan mendengar kisah mereka saat mengarungi lautan luas yang membentang tanpa gentar hati.
Meski kini mereka hidup menetap di rumah-rumah sederhana tetapi tetap tidak terpisahkan dari laut. Kemungkinan besar karena alasan inilah mereka membangun rumah di tepian pantai atau di atas permukaan laut yang dangkal. Tampak pancang-pancang terbuat dari kayu menjadi semacam pondasi yang memisahkan dan menjaga rumah-rumah mereka dari terjangan air laut saat pasang. Beratapkan rumbia, berdinding kayu dengan luas yang tidak seberapa, rumah-rumah tersebut biasanya dihuni satu keluarga bahkan lebih. Nampak pula perahu-perahu kayu sederhana terparkir di sekitaran pelataran rumah yang halamannya adalah air laut.
Mata pencaharian utama Suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajo memang masih terbilang sangat sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat.
Dengan membangun rumah dan pemukiman di sekitar pulau, akses terhadap kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak suku ini diharapkan lebih terjamin. Meskipun begitu, kepala keluarga biasanya tetap menghabiskan sebagian besar waktunya di laut lepas, mengingat laut adalah ladang mata pencaharian mereka. Ibu rumah tangga suku Bajo selain mengurus rumah tangga juga membantu suami dengan cara mengolah hasil tangkapan ikan atau menenun. Saat melintasi perkampungan yang sederhana ini nampak hamparan ikan hasil tangkapan yang dijemur di sekitar rumah.
Beberapa Suku Bajo bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut tertentu, misalnya lobster, ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka menyebut tempat budidaya sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak jauh dari pemukiman. Sebagian kecil masyarakat Suku Bajo bahkan sudah membuat rumah permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca. Anak-anak Suku Bajo juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun.
Suku Bajo yang mendapat sebutan sea nomads atau manusia perahu karena sejak zaman dahulu mereka adalah petualang laut sejati yang hidup sepenuhnya di atas perahu sederhana. Mereka berlayar berpindah-pindah dari wilayah perairan yang satu dan lainnya. Perahu adalah rumah sekaligus sarana mereka mencari ikan di luas lautan yang ibaratnya adalah ladang bagi mereka. Ikan-ikan yang mereka tangkap akan dijual kepada penduduk di sekitar pesisir pantai atau pulau. Inilah asal mula mereka disebut sebagai manusia perahu atau sea nomads. Kini mereka banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua. Persebaran suku Bajo di beberapa daerah di Nusantara tentunya terjadi karena cara hidup mereka yang berpindah-pindah dan berlayar dengan perahu.
Suku bajo tersebar di banyak tempat di Nusantara bahkan hingga ke negara tetangga termasuk Filipina dan Thailand. Satu kesamaan darinya adalah di tempat berbeda tersebut mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa ibu suku Bajo. Dari segi bahasa yang digunakan suku Bajo saat ini pun ada kesamaan dengan bahasa Tagalog, Filipina.
Selain hidup di sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean, masyarakat Suku Bajo tersebar di hampir setiap provinsi di Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, pemukiman suku Bajo terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Orang Bajo di wilayah ini tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Di Sulawesi Tengah, masyarakat Suku Bajo menempati Pulau Siatu, Pulau Bomba, Pulau Kuling Kenari, Pulau Tumbu Lawa, dan lainnya. Di Gorontalo, Suku Bajo bermukin di sepanjang pesisir Teluk Tomini, yaitu di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato dan di Tanjung Bajo, Kabupaten Bualemo.
Di Sulawesi Tenggara, dapat Anda temui juga suku Bajo berdiam di pesisir Konawe dan Kolaka. Bahkan suku Bajo di Desa Bangko, Kecamatan Baginti, Pulau Muna, sudah ada sejak abad ke-16. Tersebar juga hunian suku Bajo di Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi (Kaledupa, Binongko, Kapotta dan Tomea).
Suku Bajo juga menetap di Nusa Tenggara Timur, dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur. Salah satu nama kota sebagai tempat singgah ke Taman Nasional Komodo bernama Labuhan Bajo dan itu diambil dari nama suku Bajo. Orang Bajo juga banyak dijumpai di kawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca. Pemukiman suku Bajo bahkan sampai di Lembata yakni di wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Jauh ke arah timur hingga Timor Barat mereka ada yang menetap di Pulau Adonara (Meko, Sagu dan Waiwerang), Pulau Solor, Alor, dan Timor. Mereka bermukim disana sejak ratusan tahun silam dan hidup rukun dengan penduduk setempat.
Di kawasan Nusa Tenggara Barat, Suku Bajo membangun pemukiman di Pulau Medang. Suku Bajo juga bermukim di Pulau Lombok, menghuni sebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur. Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka dapat dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya serta kawasan Bima di timur Sumbawa.
Di Pulau Madura, Jawa Timur, tepatnya di Kepulauan Kangean, Sumenep berdiam juga suku Bajo. Ada pula di Pulau Sapeken, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Paliat, dan pulau-pulau sekitarnya. Mereka tinggal bersama dengan suku Madura dan Bugis.
Sekarang ini, seiiring meningkatnya jumlah Suku Bajo yang mendirikan rumah di tepian pantai dan mulai menetap, dikabarkan bahwa jumlah Suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di perahu-perahu kayu sudah mulai berkurang. Meski demikian, mereka tetap tidak terpisahkan dari laut.
Keberadaan Suku Bajo telah mengundang banyak kalangan untuk mengenal lebih jauh asal usul, pola hidup, adat, seni, dan budaya tradisional suku ini. Sineas muda Indonesia, Kamila Andini, bahkan membuat film yang mengangkat kehidupan Suku Bajo dengan setting alam Wakatobi. “The Mirror Never Lies” adalah judul film tersebut dan berhasil menyabet penghargaan sebagai film terpuji versi Festival Film Bandung (FFB) pada Mei 2012. Film ini pun mengantarkan Kamila Andini dinobatkan sebagai sutradara terbaik FFB. Tentunya, keberadaan dan keunikan Suku Bajo menambah keragaman suku dan budaya Indonesia yang terkenal multibudaya dan multietnis.