Antonio Blanco adalah nama yang melekat dengan Ubud, Bali. Ratusan karya lukisnya yang bernuansa romantis ekspresionisme tersimpan apik di The Blanco Renaisance Museum. Sekian banyak lukisan sang maestro kini menjadi sebuah rangkaian potret perjalanan masyarakat Ubud, terutama lukisan perempuan Ubud dari tahun 1950 hingga masa menjelang wafatnya tahun 1999. Bila harus ada seseorang yang mengabadikan keindahan perempuan Bali dengan sepenuh ekspresi dan jiwanya maka itu mestilah Antonio Blanco.
Saat Bonnet berada di Bali, Tjokorda Agung Saren Sukawati mengundang seorang pelukis yang pada gilirannya akan mengabadikan nama Ubud menjadi sebuah peninggalan cagar budaya tak terhapuskan. Ubud seolah diukir dalam peta sejarah lewat guratan pensil, arang, dan kuas seorang pelukis bernama Antonio Blanco (1912-1999). Dialah yang dikenal sebagai pemelihara keaslian romantisme Ubud dari detik ia singgah hingga selamanya tinggal dalam dekapan alam Ubud, Bali.
Antonio Blanco ialah pelukis kelahiran Manila, Filipina dan berdarah Spanyol. Lahir pada 15 September 1927, Blanco berdarah Catalan dari sang ayah yang juga bernama sama, Antonio Blanco. Ayahnya ditugaskan di Filipina sebagai seorang dokter ahli obstetris saat perang Amerika-Spanyol tahun 1898. Dari sini, ia terlahir menjadi seorang pengembara sejati, menguasai berbagai bahasa; Inggris, Spanyol, Perancis, Tagalog, Indonesia, dan Bali.
Dari semua pelukis kelas dunia yang mendarat di Ubud, Antonio Blanco yang akhirnya membuahkan warisan kekayaan budaya Ubud yang begitu ia cintai. Blanco datang untuk menikmatinya, menjadi bagian hidupnya, dan mengguratkan karyanya dari kemurnian cinta. Blanco juga menjadikan Ubud sebagai sarana untuk mengangkat nama keluarga, warga Ubud, Kerajaan Ubud, juga tanah air yang akhirnya ia namakan sebagai kampung halamannya, yaitu Ubud. Terutamanya, Blanco juga panjangkan kisah hidupnya bersama Ubud dan cintanya, istri dan anak cucunya, melalui museum yang ia rintis dari rumah dan studionya.
Museumnya yang dinamakan The Blanco Renaisance Museum menyimpan perjalanan perempuan Bali dan lilitan budaya yang membalutnya. Sebagian besar lukisan juga menggambarkan cinta Blanco pada Bali dengan gaya yang tak bisa dibandingkan dengan Salvador Dali ataupun Pablo Picasso. Ia bagai ‘Don’ baru bagi Ubud sekaligus ambassador bagi Indonesia, Bali, dan keluarganya yang ia amat cintai.
The Blanco Renaisance Museum pun Berdiri
Sejak tahun 1970-an, rumah dan studio Antonio Blanco sudah memainkan peran museum. Berkat upaya Antonio Blanco mempromosikan desanya ke seluruh dunia, juga karena berita dari mulut ke mulut yang menggemakan nama Antonio Blanco dan rumahnya yang penuh dengan lukisan serta cerita kebesaran pelukis termahal di Asia Tenggara. Ubud pun semakin terkenal. Wisatawan mengalir dari waktu ke waktu, utamanya pelancong datang ke kediaman Antonio Blanco.
Saat itu, tahun 1970-an, walau uang sudah lama beredar di Indonesia, masih ada fenomena barter di Ubud. Barang ditukar dengan barang. Uang masih tak begitu berpengaruh dalam transaksi. Kehadiran wisatawan membawa angin baru dalam bertransaksi dimana warga Ubud mulai mengenal pertukaran uang dengan barang. Fenomena ini direkam dalam sebuah penelitian hingga Hermawan Kertajaya dan Philip Kotler pun datang ke Ubud dan singgah di The Blanco Renaisance Museum untuk memberikan apresiasinya pada keluarga Blanco yang telah menjadi salah satu agen perubahan dalam dunia transaksi dan sekaligus saksi hidup dari fenomena barang bertukar barang lalu terus menjalaninya hingga uang bertukar barang.
Berdirinya museum ini pun sebetulnya tak hanya karena Antonio Blanco berinisiatif dan telah memimpikan suatu hari ingin memiliki sebuah museum tetapi karena didukung oleh kreativitas warga Ubud yang sangat tinggi, mampu menciptakan berbagai hal yang tak terbayangkan sebelumnya oleh seniman lain. Di sisi lain, Raja Ubud, Ayahnya, lalu Kakeknya, sepertinya pun sangat terbuka dengan berbagai macam perubahan dan kreativitas yang akan mensejahterakan masyarakat. Raja Ubud secara turun temurun sangat permisif dengan kemungkinan apapun yang terjadi dan siapapun yang datang ke Ubud untuk membangun. Dengan keterbukaan ini, kreativitas yang tinggi dari masyarakatnya maka wisatawan membludak datang ke Ubud. Akan lain ceritanya bila kreativitas tidak dimiliki warga Ubud. Mungkin tak akan terjadi aliran wisatawan ke Ubud, dan museum pun tak pernah terbayangkan akan diciptakan di tempat sepi.
Setiap lukisan yang sudah terjual saat Antonio Blanco masih memberikan peluang penjualan lukisan selalu menggunakan sertifikat dengan nomor registrasi. Setiap lukisan yang dibuat Antonio Blanco, disertakan sebuah sertifikat asli yang dibuat oleh mesin tik Antonio Blanco sendiri. Saat ini, nomor registrasi tersimpan rapih di museum dan Mario Blanco termasuk orang yang tahu mana lukisan asli dan mana yang bukan asli. Di musuem ini mungkin satu-satunya tempat yang melakukan kurasi lukisan Blanco yang tidak mengambil biaya sedikit pun. Karya Blanco memang unik, dan keaslian itu seolah sudah seperti tanda tangan yang pribadi. Bahkan Mario Blanco pun dapat mengenalnya. Ia tahu originalitas dari sebuah lukisan Blanco.
Antonio Blanco biasa duduk di tengah ruangan, membelakangi sumber cahaya dan menghadap sisi dimana biasanya model duduk atau berpose bagi sang maestro. Sekelilingnya dihiasi bingkai-bingkai yang bersejarah. Tak ada satupun yang sama dari bingkai yang berjajar. Bahkan setiap bingkai pun mengatakan sebuah cerita yang bisa dijelaskan oleh pemandunya. Kini, Mario Blanco menjadi orang yang melanjutkan proses melukis di titik tempat Ayahnya duduk. Sebuah ceruk sempit dibuat di tempat duduk itu, karena di masa sebelum akhir dari hidup Antonio Blanco, bersila menjadi sedikit menyulitkan baginya dan akhirnya ia bisa duduk dengan nyaman dengan kaki memasuki ceruk. Melukis still life paling cocok dilakukan di ruangan studio ini, baik bagi Antonio Blanco maupun putranya, Mario Blanco.
Di tebing di bawah kediaman Antonio Blanco terdapat perkampungan kecil masih di kawasan Banjar Penestanan, dimana warga di sana sudah secara turun temurun dilibatkan menjadi bagian dari pengelolaan museum. Mereka sering membantu segala kegiatan di museum bersama Antonio Blanco. Bahkan Ni Rondji sering menangkap belalang bersama warga untuk dijadikan sate belalang saat musim paceklik untuk dijadikan makanan buat keluarga. Suka dan duka dalam pengelolaan museum telah dirasakan bersama dengan keluarga Blanco dan warga di sekitarnya.
Kini, Mario Blanco, putra kedua dari sang maestro lukis asal Spanyol itu mengelola museum ini melanjutkan apa yang dirintis sang ayah, Antonio Blanco. The Blanco Renaisance Museum dengan semua yang ada di dalamnya bukan hanya memelihara budaya Bali, khususnya Ubud tetapi juga seberkas pengetahuan dari sebuah keluarga seniman yang patut dicontoh karena berhasil mencuatkan sebuah museum menjadi terkenal dan dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
Pertemuan Dengan Belahan Jiwa
Perjumpaan dengan Rudolf Bonnet dan presiden pertama RI, Soekarno menjadi cerita panjang bagi Antonio Blanco. Karena keduanya merupakan teman Blanco untuk berbincang tentang seni. Rumah bukitnya pun tak jarang dikunjungi Soekarno, bahkan keluarga Blanco menyebut rumah mereka sebagai rumah kedua Soekarno. Soekarno memiliki koleksi indah lukisan-lukisan wanita di istana negaranya dimana guratan Blanco adalah salah satunya yang langsung dipesan Soekarno.
Soekarno yang ibundanya berasal dari Bali sering beristirahat di Istana Tampaksiring dan saat berada di sana, Antonio Blanco biasa hadir untuk berbincang. Dari satu orang penting ke orang penting lainnya telah membuka jalur pergaulan Blanco dengan dunia politik dan tokoh-tokoh negara meskipun demikian Blanco tetap menjadi seorang seniman.
Pagi hari saat terbaring di rumah sederhananya, seorang wanita tampak sedang membersihkan pekarangan rumahnya atas permintaan keluarga raja pada ayah sang wanita. Hanya berkain Bali tanpa pakaian atas, wanita itu membersihkan halaman rumah Antonio Blanco. Wanita muda cantik itu menyapu pekarangan, disinari cahaya Matahari pagi. Begitulah adat kebiasaan perempuan Bali saat itu. Ialah Ni Rondji, nama indah yang akhirnya menetap dalam sanubari Antonio Blanco dan menjadi abdinya dalam keseharian di rumah sederhana itu.
Kecantikan Ni Rondji memikat hati sang maestro. Saat diminta untuk melukis oleh Soekarno, Antonio Blanco sempat bingung karena belum melengkapi peralatan lukisnya. Ia tarik kain tempat tidurnya yang putih, lalu dikencangkan dalam bingkai sederhana, menjadikannya kanvas darurat. Saat itu pun, Antonio Blanco meminta Ni Rondji berpose baginya, manjadikannya model untuk dituangkan dalam bentuk lukisan. Sejak itu, hubungan mereka semakin mesra, dan Antonio Blanco tak dapat melukis apapun selain Ni Rondji. Dalam melukis apapun, kehadiran Ni Rondji menjadi sebuah keharusan, karena inspirasi adalah Ni Rondji. Ya, Ni Rondji adalah inspirasi bagi Blanco!
Ni Rondji terlahir sebagai warga Ubud berkasta sudra dari keluarga sederhana. Ayahnya, I Kebak, diperintah raja untuk membantu Antonio Blanco saat tanah di Campuan dihadiahkan pada sang seniman itu. I Kebak menyayangi Ni Rondji seperti sebuah mutiara keluarga.
Ni Rondji pandai menari. Tubuhnya lentur, indah, dan memiliki segala keindahan yang diharapkan dari seorang wanita Bali di mata Antonio Blanco. Kegiatan kesehariannya menjadikan Ni Rondji berbadan sehat, kuat, dan cantik. Ia sempat menari bagi Istana Tampaksiring dan belajar menari pada maestro tari Bali, I Ketut Maria dari Tabanan. Kesempurnaan ini yang diharapkan tanpa direncanakan Antonio Blanco. Ni Rondji datang bagaikan anugerah bagi Antonio Blanco.
Tahun berganti, akhirnya mereka menikah tahun 1955 di Ubud. Mereka seolah perpaduan antara dua orang seniman dan seniwati. Kecocokan ini menjadikan mereka pasangan yang saling menghormati dan saling melengkapi. Bagi Ni Rondji, Antonio Blanco bukan sekedar pasangan hidup tetapi juga guru dan panutannya yang mengajarkan baca tulis, pengetahuan, berbahasa asing, semangat, dan disiplin.
Ni Rondji adalah gambaran wanita Bali yang setia dan patuh pada suami, bagi mereka yang mengenalnya secara akrab. Ia akan melayani Antonio Blanco kapanpun dan dimanapun. Saat ia harus keluar dari studionya karena Antonio Blanco ingin sendiri melukis maka Ni Rondji harus keluar. Lima menit kemudian, saat Ni Rondji dibutuhkan maka Ni Rondji segera menemani suaminya berkarya. Hubungan seperti ini dibiasakan dan menjadi sebuah hubungan yang saling menyempurnakan. Bahkan ketika Antonio Blanco memutuskan untuk melakukan world tour, Ni Rondji harus ikut mendampingi menjual Ubud ke seluruh dunia, walau sempat asma pun menyerang Ni Rondji di Jepang.
Cara Antonio Blanco mengenalkan Ubud cukup unik. Ia mendampingi Ni Rondji menari Bali di berbagai jamuan. Dalam keseharian di rumahnya di luar negeri, Ni Rondji akan mengenakan baju Bali sehingga banyak orang menanyakan tentang Bali. Saat itu pula kesempatan untuk berpromosi dilakukan.
Ketergantungan Antonio Blanco pada Ni Rondji sudah tak terukur lagi. Siapapun yang ia lukis sebagai modelnya, Ni Rondji harus berada di dekatnya. Ia tak ingin Ni Rondji jauh darinya saat ia melukis. Sapuan kuas seolah tak ada nyawanya bila tak dilengkapi kehadiran Ni Rondji.
Masakan Ni Rondji pun begitu mengikat rasa dan cita Antonio Blanco. Ruang kenikmatan dalam lidahnya seolah hanya ada saat masakan dibuat oleh Ni Rondji. Antonia Blanco tak dapat menikmati masakan lain kecuali masakan Ni Rondji. Sudah menjadi sebuah pengetahuan dalam lingkungan keluarga bahwa Antonio Blanco tak dapat makan dengan orang lain karena ia sangat lama bila menikmati masakan. Ia mengunyah hampir konsisten 42 kali kunyahan untuk setiap suapnya. Ia rasakan kenikmatan masakan sang istri tercinta.
Saat ini, di Blanco Renaisance Museum terdapat restoran untuk mengabadikan kenangan untuk Ni Rondji, istri Antonio Blanco. Ni Rondji Restaurant diciptakan sebagai momento bagi wanita Bali yang pandai memasak, memberikan inspirasi keindahan, dan pengabdian pada suami. Museum Blanco dan restoran Ni Rondji tidak terpisahkan, seperti pasangan lingga dan yoni, suami dan istri dalam satu kawasan.
Mario Blanco, penerus sang maestro, melanjutkan perjalanan cinta kedua orang tuanya. Tak jarang ia menyapa tamunya terutama saat berkunjung ke restoran dan merekomendasikan beberapa makanan andalannya. Salah satu andalan yang ditawarkan di restoran ini adalah nasi goreng khas Ni Rondji Restaurant yang benar-benar lain rasanya dan sangat memuaskan lidah yang merindukan cita rasa yang pernah dirasakan oleh Antonio Blanco. Selain itu, Bebek Rondji pun menjadi salah satu penawaran yang patut dicoba oleh pengunjung.
Karyanya yang Tak Terbendung: Hidupku Karyaku
Pintu terbuka setelah melalui tangga di bawah naungan simbol Blanco yang menjulang. Tak seorang pun akan mendapatkan kronologis cerita lukisan Blanco tanpa melalui gerbang ini. Struktur unik seperti tubuh abstrak berkaki bukan tak mengandung makna. Banyak lukisannya dibubuhi simbol ini. Simbol Blanco!
MURI menyematkan penghargaan pada simbol ini sebagai tanda tanda tangan terbesar di Indonesia. Memang benar. Sedianya, simbol ini ialah guratan kuas tanda tangan Antonio Blanco yang secara tak disadari telah terlipat dalam keadaan basah di atas kertas. Saat terbuka, bentuknya menjadi begitu unik dan simetris, lalu Antonio Blanco selanjutnya memakai simbol itu sebagai simbol Blanco.
Sebuah foto besar di atas kanvas menyambut. Don Antonio Blanco, pemilik dan pendiri museum yang menjadi fenomena seni lukis terlengkap di Campuan, Ubud. Keberadaannya mengalahkan nama yang pernah ada walau ia bukan pelukis lokal ataupun pelukis mancanegara yang pertama. Sorot mata yang menunjukkan rasa puas dan bangga jelas di sana. Itulah gambar pertama yang harus dilihat, sebagai lambang etika dan sopan santun, bahwa sebelum melihat karya-karyanya, lihatlah dahulu empunya.
Ke kiri atau pun ke kanan, cerita mengalir sejak lukisannya diciptakan. Beberapa karyanya berbingkai kayu yang masih kasar. Lukisan lainnya berbingkai unik, seolah satu nafas dengan isi lukisan. Sepuluh jajaran pertama dari karya Antonio Blanco akan membawa tamu pada satu persepsi, hingga terus mencapai sebuah mahakarya, lukisan terbesar dan terindah yang pelukisnya sendiripun menyebutnya karya termegah; Ni Rondji.
Konon, di titik itu lukisan mahakaryanya diciptakan. Semua yang terletak di museum seolah memiliki sejarah dengan latar panjang. Sapuan di atas kanvas dengan warna dan tekanan yang berirama seolah nyanyian di lantai satu, dua, hingga menggema di lantai tiga yang ditutupi kubah, simbol dari kesempurnaan bagi Bali, bagi Indonesia. Bahwa warna yang bermacam jenis, sapuan irama bergaris dan memutar, sempurna atau tak sempurna, adalah pelajaran bagi Indonesia. Di atas semua itu ada kubah emas, warna kesempurnaan.
Orang bilang, pena lebih tajam dari pedang. Blanco, sesuai yang ditangkap oleh dokumentasi Didier Hamel Dhaimeler, sang editor Fabolous Blanco, menciptakan peribahasa sandingannya, yaitu:
“Kuas niscayanya tak dibenamkan dalam tinta, tapi jiwa”.
Dalam, penghayatan Blanco pada karyanya tidak terkejar oleh pemikiran biasa. Blanco menciptakan keseriusan, sekaligus humor dan kegelian dalam karyanya, baik lukisan maupun puisinya. Itulah hidupnya yang penuh angan.
“Hidupku ialah karyaku. Karyaku adalah hidupku. Aku bukan karena nafasku tetapi aku karena lukisanku”.
Siapa yang tak menilai bahwa lukisan-lukisan Antonio Blanco bernuansa sensual bahkan menjurus erotis? Hampir semua pengunjung akan mendapatkan sekilas bayangan yang sama;, yaitu sensual. Hingga Fragments of Enchantment belum dipahami, semua akan menganggap bahwa karya Blanco menyisir untaian erotisme. Nyatanya, ia melukiskan semesta jiwa manusia.
Erotisme adalah konstruksi yang dihasilkan dari pikiran manusia. Baginya, tak ada konsep erotisme kecuali manusia yang mengartikannya. Banyak sekali yang memberikan penilaian bahwa lukisan Antonio Blanco sangat sensual tetapi Antonion Blanco menjawabnya bahwa alam sendiri memberikan simbol-simbol erotisme yang disebutkan manusia dan itu semua bukan sebuah kesengajaan yang diciptakan untuk membentuk unsur erotika. Katakanlah rumah keong yang begitu lembut warnanya, meliuk dengan belahan yang teramat sama dengan pintu menuju saluran rahim perempuan. Saat itulah erotisme dibuktikan sebagai sebuah social construct, bukan sebuah tujuan yang disengaja ataupun berdiri sendiri atas nama erotika.
Lukisan originalnya ratusan. Di museumnya sendiri terdapat sekira 300 lukisan asli karyanya. Empat di antara 150 lukisan yang dipajang tampak Antonio sedang melukis bintang legendaris, King of Pop, Michael Jackson. Saat itu mereka berjumpa di Singapura, karena Michael Jackson tak sempat singgah ke Ubud. Satu lukisan Michael Jackson diambil untuk sang bintang pop dunia dan yayasannya kemudian satu lagi disimpan di Hard Rock Cafe, Bali. Bahkan, lukisan Michael Jackson pun baginya tak luput dari canda menggelitik. Apa warna yang asli di balik celana sang Raja Pop? Pertanyaan itu dilemparkan pada sang penyanyi, juga pada pengunjung. Seperti disebutkan, karyanya jauh dari sekedar sebuah lukisan.
Di ruangan khusus, terdapat koleksi lukisan yang diutamakan untuk mereka yang sudah dewasa. Tentunya hal yang ditampilkan di dalamnya pun memiliki muatan yang hanya cocok dinikmati oleh orang dewasa, bahkan mestinya sudah menikah. Dahulu, koleksi di ruangan ini hanya untuk Antonio Blanco dan istrinya saja sehingga hanya disimpan di kamar mereka tetapi belakangan semua disimpan di ruang khusus ini untuk menunjukkan sisi sensualitas dari gadis Bali dan perempuan pada umumnya.
Dapat dilihat dari bentuk bingkai yang dipajang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lukisan, bentuk-bentuk yang ditonjolkan sangat bernuansa ‘muatan dewasa’. Simbol-simbol yang melambangkan seksualitas laki-laki dan perempuan secara cerdik diperlihatkan sebagai sebuah karya seni. Bagi Blanco seni adalah hal yang menyangkut keindahan. Bila tak indah maka itu bukanlah seni.
Satu lukisan menunjukkan bagaimana Antonio Blanco dan Ni Rondji sedang memadu kasih, menyatukan jiwa dan raganya dalam sapuan warna abstrak ekspresionisme romantis dimana mereka tampak sebagai sebuah potret sejarah berdirinya satu keluarga campuran, Bali – Spanyol.
Di sudut lain, terdapat lemari merah dengan lampu redup tersembunyi di dalamnya. Lampu itu tampak menyala saat dibuka. Lemari lilin, itu sebutannya. Saat dibuka pintu-pintu lemari itu, akan tampak lukisan seorang perempuan tanpa busana yang sedang menikmati suasana pribadinya. Seorang wanita tengah duduk nyaman bersendirian dengan segala kebebasan saat tak ada orang lain. Akan tetapi, bila diperhatikan, terselip di antara dua kakinya sebuah lilin merah yang konon sudah sejak dulu digunakan dan menjadi kebiasaan para selir dari raja-raja di Bali. Konon, dahulu tak setiap selir mendapatkan waktu cukup dari suaminya yang memiliki banyak selir sehingga dengan cara itulah mereka mendapatkan hasratnya. Itulah salah satu lukisan Antonio Blanco menggambarkan apa yang ditangkapnya di sekitarnya dalam warna lukisan yang jenius. Bingkai pun dirancang dengan hiasan lilin-lilin yang ada di dalam lukisannya. Apakah ini fakta atau fiksi, tak ada yang benar-benar tahu.
Bagi Antonio Blanco, kehidupannya tak semua mesti relevan dengan segala keadaan. Blanco melangkah jauh melebihi apa yang nyata. Ia hidup dalam ruang fantasi dan emosi. Hidup adalah fantasi yang ia hidupkan, dan kenyataannya, ia lihai menghidupkan fantasi. D.H. Dhaimeler merangkumnya dalam ucapan Antonio Blanco, “My life has nothing to do with fact. It is sheer fantasy.” Hidupku tak ada kaitannya dengan kenyataan. Semua ini adalah khayalan yang teramat agung.
Di museumnya, Antonio Blanco pun merancang bingkainya sendiri. Bahkan dalam proses melukis, sang maestro bisa saja melukis hanya dalam hitungan jam bahkan menit. Proses tak berhenti di penciptaan sebuah karya lukisan, karena Antonio Blanco selalu memikirkan bingkai seperti apa yang akan menciptakan kesempurnaan lukisannya. Ia bisa merancang bingkainya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bingkai yang dirancangnya tak pernah ada yang identik antara satu lukisan satu dengan lukisan lainnya. Uniknya, di atas permukaan bingkai yang dirancangnya, selalu saja ada sapuan kuas Antonio Blanco yang menandakan bahwa lukisan dan bingkainya merupakan satu karya yang tak terpisahkan.
Bahan yang digunakan pun dirancang khusus terkait dengan jiwa dari lukisannya. Beberapa lukisan terbuat dari bingkai yang masih kasar dari bilah kayu yang asli tanpa dirapihkan. Bingkai lain diukir indah dan dihiasi kain berwarna sebagai curahan hati dan perasaan Antonio terhadap lukisan tersebut.
Selain melukis, kemampuan yang dahulu dimilikinya yaitu mengukir pun turut disimpan dalam koleksinya. Beberapa ukiran buatannya pun diperlihatkan dan digabungkan dengan kemampuan lainnya dalam merancang cerita dan puisi. Puisi yang ia tuliskan pun dibuat dalam kolase yang indah, penuh kata-kata sederhana sekaligus rumit dan hanya dipahami apabila orang yang melihat lukisannya terhanyut dalam suasana emosi yang dirasakan Antonio saat itu.
Sebuah puisi yang menarik dipajang ialah puisi tentang wanita, dimana bingkainya terbuat dari patung perempuan perawan yang bisa menjadi tidak perawan karena kejeniusan seorang Antonio Blanco. Dahulu, perempuan Bali yang masih perawan selalu mengenakan anting giwang yang besar sebagai penanda bahwa ia masih suci. Saat seorang perawan sudah menikah, giwang yang dikenakan harus dicopot. Oleh karenanya, bila seseorang tidak mengenakan giwang maka ia sudah menikah. Bingkai wanita yang mengenakan giwang tersebut dapat dicopot giwangnya. Puisi yang dibingkai sulit untuk dibaca karena terhalang oleh kaki wanita tersebut. Kaki wanita itu tengah mengenakan sepatu yang asli adalah sepatu Ni Rondji. Untuk dapat membaca puisi, kaki wanita itu harus diangkat dengan mencabut giwang yang tertancap ditelinganya dan diselipkan di antara kaki perawan yang menjadi bingkai tersebut. Terkadang hal ini dipandang sebagai sebuah hal yang sarat erotisme,tapi ini adalah gambaran kejeniusan seni seorang Antonio Blanco yang mendokumentasikan kondisi Bali di tahun 1950-an.
Kolektor pengagum karya Antonio Blanco terbilang banyak sejak masa ia hidup dan hingga kini. Lukisan Antonio Blanco sudah dikenal sebagai lukisan termahal di Asia Tenggara. Mengapa kebanyakan lukisan-lukisan Antonio Blanco tak dijual? Sesuai janjinya, Antonio ingin membantu Ubud, Bali, dan Indonesia secara umum. Ia menginginkan siapa pun bisa datang ke museumnya yang ia sudah impi-impikan kehadirannya. Di dalamnya, ia ingin setiap calon pelukis mendapatkan inspirasi. Bila sekian banyak lukisannya tercecer di banyak tangan atau kolektor maka tak mungkin inspirasi itu terlahir. Oleh karena itu, semua lukisannya dipusatkan di satu tempat yang akhirnya akan secara terus-menerus memancarkan vibrasi inspirasi.