Desa Kanekes: Kembali ke Alam Bersama Kearifan Lokal Suku Baduy

Sekilas

Bayangkan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara angin yang gemerisik menerpa dedauanan bambu, kicau burung, dan deburan aliran sungai. Dengarkan bisik alam yang menyapa dalam kemurnian, Anda layak melihatnya dengan mata hati sehingga dibawalah oleh-oleh pengalaman yang melekat di hati. Ada banyak kearifan lokal yang akan di peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional.

Lupakan ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men-charge hp Anda, bahkan sinyal pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara-suara alam. Di sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia.

Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.

Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.

Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.

Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.

Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.

Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.

Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orangtua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.

Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin.

Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.

Pemda Lebak sejak tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan cagar budaya. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhurnya yang merupakan aset nasional yang harus harus dijaga. Hal itu dikukuhkan dengan Peraturan Daerah nomor 13/1990. Dengan demikian hutan dan sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut Kepala Desa Kanekes Jaro Daerah, suku Baduy menempati areal tanah seluas 5.101 ha, yang terbagi dalam 53 kampung. Tiga kampung ditempati oleh Baduy Dalam masing-masing kampung bernama Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, sedangkan sisanya ditempati oleh Baduy Luar. Suku-suku Baduy tersebut bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Kegiatan

Jenis kendaraan apapun harus ditinggalkan Desa Cibolegar dan mulailah Anda menjelajahi alam Baduy dengan berjalan kaki. Suasana di kawasan Baduy sangat sejuk dan alami, tidak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan. Perjalanan dari kampung ke kampung lainnya dilalui lewat jalan setapak yang kadang-kadang melintasi sungai dan bukit-bukit atau melewati jembatan bambu berkonstruksi alami tanpa menggunakan paku.

Ankan mengejutkan Anda untuk mengetahui bahwa ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan tanpa bantuan listrik atau alat industri mder lainnya. Kenyataannya Suku Baduy dapat bertahan hidup dengan baik dengan cara kearifan lokal yang mengagumkan.

Udara di kampung ini sangat menyegarkan, membuat Anda akan lupa lelahnya badan setela perjalanan. Dalam perjalanan di kampung amati oleh Anda bagaimana jembatan bambu tipis melengkung panjang di atas sungai dimana di ujungnya adalah kawasan Baduy Dalam.

Di Dusun Cibeo Anda akan melihat pemandangan yang unik dan luar biasa. Rumah-rumah panggung tertata rapi, dengan ukuran yang sama, berjajar-jajar. Tiap rumah memiliki interior yang kurang lebih sama. Di dalamnya, ada sebuah ruang persegi panjang, menyisakan ruang berbentuk L untuk sisa ruangan. Ada tungku di kedua ruang, membuat atap daun itu menghitam di dalam. Dinding anyaman. Beranda batang-batang bambu, dengan undakan pendek ke tanah. Di tengah terdapat lapangan berundakan rendah. Di satu ujungnya ada balai tempat acara-acara dusun. Di ujung satunya adalah tempat tinggal Puun, tetua desa. Dusun ini dikelilingi gunung, jadi gelap cepat datang. Dan yang bisa Anda lakukan hanyalah berbincang dengan penduduknya yang ramah di dalam rumah.

Sehari-hari, orang Baduy menggunakan bahasa Sunda berdialek Sunda-Banten. Namun, banyak dari mereka yang sudah bisa berbahasa Indonesia dan terbiasa melakukan interaksi dengan pengunjung. Mereka sering menjadi penunjuk jalan atau pengangkut barang. Orang Baduy juga tidak keberatan apabila Anda bertanya seputar ajaran dan adat istiadatnya.

Setiap warga Baduy dituntut untuk melestarikan lingkungannya karena menurut pandangan mereka alam semesta dan isinya adalah milik yang di Atas dan harus dijaga jangan sampai rusak. Alam harus dilestarikan untuk kepentingan masa depan anak dan cucu mereka. Suku Baduy dilarang menebang pohon di hutan-hutan yang telah ditentukan. Hal ini membuat udara menjadi segar dengan alam yang terhampar hijau dimana-mana. Langit terlihat bersih. Begitu juga dengan kicauan burung, kokok ayam, dan gemericik air jernih yang menjadi mudah didengar.

Berada di perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu. Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan, suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan. Air kalinya bening, karena orang dilarang memakai produk yang mengandung zat kimia, seperti sabun, pasta gigi dan sampo dan dilarang membuang sampah di sungai. Masyarakat Baduy untuk membersihkan badannya selalu di kali dan memakai pembersih tradisional dari dedaunan atau getah akar pohon.

Akomodasi

Apabila Anda berminat menginap maka bisa tinggal di rumah-rumah tradisional Baduy, di Desa Cicakal. Rumah-rumah tersebut dibangun dari jalinan bambu dan beratapkan ijuk. Rumah-rumah ini bisa bertahan hingga 25 tahun tetapi atap harus diubah 5 tahun sekali. Orang Baduy tidak menggunakan teknologi elektronik, jadi jangan berharap Anda akan menemukan peralatan yang menggunakan tenaga listrik di sini.

Rumah-rumah yang ada di Baduy seragam, berpaggung dan berdiri satu meter di atas tanah. Rangkanya terbuat dari kayu, dindingnya anyaman bambu dan beratap rumbia atau ijuk. Bangunan mengikuti kontur tanah, selalu berhadap-hadapan sehingga terlihat unik dan rapi. Rumah Baduy tidak menggunakan jendela. Hanya ada pintu masuk dan pintu keluar dari depan dan belakang. Kadang hanya terdapat sebuah pintu di bagian depan saja. Bagian depannya selalu ada amben untuk tempat ngobrol.

Kuliner

Tidak ada restoran di Baduy, jadi bawalah makanan Anda sendiri. Meski dengan keramahannya Suku Baduy akan senang menjamu Anda di rumahnya. Masyarakat Baduy Dalam menerapkan sistem ladang berpindah dengan penggarapan secara bergilir. Suku Baduy dalam adalah vegetarian, makanan sehari-hari didapat dari alam sekitar tanah milik mereka. Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Berbelanja

Pakaian tradisional kebanyakan berwarna biru yang ditenun oleh wanita-wanita baduy, jadi Anda bisa membawa kain ini pulang sebagai oleh-oleh. Ada juga cendera mata yang menarik sebagai buah tangan untuk orang yang Anda sayangi.

Berkeliling

Anda bisa menjelajahi hutan yang subur dan pemandangan yang masih alami karena orang-orang Baduy sangat mencintai alam sehingga begitu terjaga kelestariannya. Anda bisa mengambil gambar selama Anda belum memasukkan wilayah Baduy. Orang-orang di luar desa Baduy lebih toleran terhadap teknologi.

Berbaur dengan penduduk lokal yang luar biasa ini adalah hal yang sangat berharga. Anda dapat mengamati gerak bahasa tubuh yang langsung dapat menggambarkan betapa mereka sangat peka dan ramah bersahaja.

Transportasi

Kawasan Baduy ini berjarak kurang lebih 40 km dari kota Rangkasbitung. Menuju kawasan itu dapat menggunakan mobil pribadi atau kendaraan umum sekitar satu jam dari Rangkasbitung. Untuk mencapai kampung Baduy dapat ditempuh melalui Rangkasbitung-Ciboleger, dengan bus, mobil umum atau mobil pribadi. Di Ciboleger inilah pintu masuk ke kawasan Baduy.

• Sewalah mobil dan mobil tersebut akan berhenti di Desa Cibolegar. Anda juga dapat naik mobil dari Rangkasbitung ke terminal Ciboleger atau menyewa sampai ke Cijahe, lalu diteruskan dengan berjalan kaki untuk sampai ke kampung Baduy Dalam.

• Dari Tanah Abang, Jakarta Pusat, gunakan kereta ke Merak via Rangkasbitung akan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Dari Rangkasbitung, gunakan transportasi umum (disebut ELF oleh penduduk setempat) ke Ciboleger. Perjalanan memerlukan waktu sekitar 2,5 jam. Patung Keluarga di Ciboleger akan menyambut kedatangan Anda. Ikuti jalan setapak dengan berjalan kaki. Nikmati pemandangan alam di sekitar Anda, Kemudian Anda akan melewati Desa Gajeboh. Di sini Anda dapat melihat perempuan Baduy menenun pakaian. Lanjutkan dengan menyeberangi Sungai Ciujung, sungai terlebar di wilayah Baduy. Melihat jembatan yang terbuat dari bambu yang diikat satu sama lain, namun tak perlu takut! Jembatan ini kuat. Anda kemudian akan memasuki Desa Cicakal. Di sini Anda dapat beristirahat dan menghabiskan malam. Perjalanan dengan berjalan kaki dari Ciboleger ke Cicakal akan memakan waktu sekitar 2 jam.

• Alternatif lain,  Anda dapat menggunakan Koranji kemudian melewati Pasar Kroya. Setiap minggu, penduduk Baduy mengunjungi pasar ini untuk menukar hasil pertanian mereka dengan barang-barang yang mereka butuhkan. Dari tempat ini mereka akan bergerak ke Desa Cikapol.

Tips

• Jika Anda ingin mengunjungi Desa Kanekes selain mempersiapkan fisik Anda juga harus siap untuk menghormati dan mematuhi peraturan adat yg berlaku di kawasan ulayat masyarakat Baduy yang dibuat Jaro (Kepala Desa) Kanekes.

• Orang Baduy sehari-hari berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang dipakai mereka tidak mengenal tingkatan bahasa atau pemakaian bahasa berdasarkan status sosial. Selain berbahasa Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula menggunakan kata-kata berdialek Betawi, bahkan mengeluarkan kosa kata bahasa Inggris. Rasa hormat pada pengunjung tidak diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku mereka.

• Orang Baduy juga senang bercanda, tetapi hanya dengan orang yang sudah dikenalnya. Berteman akrab dengan orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-orang Baduy bersikap terbuka terhadap orang asing. Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang, meski banyak pantangan saat Anda hidup di sekitar mereka. Tapi di luar itu, mereka menerima pengunjung dengan ramah.

• Pendatang dilarang membawa radio, gitar, senapan angin, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.

• Apabila Anda akan mandi maka itu dilakukan di pancuran di luar dusun tepatnya di kali yang jadi batas dusun. Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Akan tetapi justru hal seperti ini yang akan menjadi pengalaman unik dalam perjalanan Anda. Sebuah cara hidup kembali ke alam yang sempurna.

• Adat Baduy sangat membatasi sentuhan dengan dunia modern, terutama pada listrik dan peralatan elektronik lainnya. Untuk penerangan, Suku Baduy mengunakan lilin, bukan semacam obor. Anda boleh menggunakan senter untuk memudahkan saat ke kamar kecil pada malam hari yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi Anda diharapkan tidak menggunakan hanphone, camera, atau radio. Jika di wilayah Baduy Luar Anda masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan.

• Apabila Anda menginap di perkampungan Baduy Luar maka bisa menggunakan sabun atau sampo ketika mandi. Di Baduy Dalam kedua benda itu pantang dipakai. Obat-obatan pribadi harus dibawa, terlebih karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek.

• Sepatu atau sandal gunung direkomendasikan agar tidak mudah tergelincir, apalagi di jalan menanjak. Jangan lupakan pula jaket atau jas hujan serta tudung tas yg kedap air untuk melindungi barang bawaan agar tidak basah. Minyak anti nyamuk berguna dibawa untuk menghalau serangga terutama ketika berjalan-jalan ke hutan atau perladangan.

• Pada bulan Kawalu yaitu masa panen tiga bulan berturut-turut di bulan Februari-April sebaiknya tidak ke Desa Kanekes Baduy karena Baduy Dalam ditutup sama sekali untuk semua orang luar. Namun, bagi pengunjung pada bulan Kawalu tetap bisa bertemu dengan warga Baduy Dalam saat keluar dari kampung mereka.