Kemeriahan Festival Pacu Jalur kembali hadir tahun ini yang berlangsung pada 23-26 Agustus 2017, di Tepian Narosa Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Acara tersebut berupa lomba mendayung di sungai menggunakan perahu kayu bulat tanpa sambungan berukuran 25 sampai 40 meter dengan jumlah pendayung (anak pacu) mencapai 60 setiap perahunya.
Dalam setiap perahu kayu yang amat panjang ini, ada anggota tim disebut ‘anak pacu’ dengan beberapa tugas masing-masing dan sebutannya, seperti ‘tukang kayu’, ‘tukang concang’ yang menjadi komandan atau pemberi aba-aba, dan ‘tukang pinggang’ yang menjadi juru mudi. Ada juga ‘tukang onjai’ yang bertugas memberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badannya, dan ‘tukang tari’ yang membantu ‘tukang onjai’ dalam memberi tekanan agar seimbang, agar perahu dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama.
Festival Pacu Jalur akan dimulai dengan bunyi menggelegar sebuah meriam dari bibir sungai sebagai tanda dimulainya lomba. Saat dentuman meriam pertama kali, perahu-perahu yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start. Pada dentuman kedua, para peserta berada dalam posisi siap untuk mengayuh dayung. Dan pada saat wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, perlombaan pacu jalur pun dimulai. Semua tim akan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk bisa mencapai garis finis.
Perlombaan Pacu Jalur sendiri menggunakan sistem gugur sehingga peserta yang sudah kalah di awal tidak boleh ikut bermain lagi. Sedangkan pemenang-pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain sebauh ajang kompetisi, kegiatan ini merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni dan olah batin. Itu karena sebelum perlombaan berlangsung biasanya warga akan memilih kayu terbaik lewat ritual khusus, menentukan tanggal baik, hingga ritual jalur tersebut diturunkan ke air. Pun demikian saat lomba berlangsung, ada unsur magis serang dan tolak untuk memenangkan perlombaan, serta strategi perhitungan kecepatan dan beban muatan pendayung (anak pacu). Tidak dapat dijamin sebuah jalur dengan jumlah pendayung banyak mampu mengalahkan jalur dengan jumlah pendayung yang lebih sedikit.
Sejarah Pacu Jalur sendiri sudah berawal sejak abad ke-17. Awalnya jalur (perahu kayu panjang) merupakan alat transportasi warga desa di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang. Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri)
Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Baru 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.
Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Pada masa penjajahan Hindia Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda Eihelmina yang jatuh pada 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada 31 Agustus hingga 1 atau 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.
Kini, Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, perhelatannya diadakan di bulan Agustus atau menyesuaikan bila bertepatan dengan hari Ramadhan. Saat berlangsungnya lomba maka tepian Narosa Teluk Kuantan bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi pulang ke kampung halaman untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan bisa mencapai lebih dari 100 buah.