Di Maluku dan Papua, nasi tidak menjadi makanan pokok karena beras sulit ditanam di daerah tersebut. Oleh karenanya kehadiran sagu sangat penting sebagai sumber karbohidrat, terlebih bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dan sagu tumbu di daerah rawa sekitar pesisir atau pedalaman.
Ketika memanen sagu masyarakat Papua akan memulainya dengan upacara khusus. Hal tersebut dilakukan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah dan mampu mencukupi kebutuhan makanan bagi keluarga mereka. Sagu dimakan dengan banyak cara, salah satunya adalah mengolahnya menjadi papeda.
Papeda terbuat dari tepung sagu murni yang diperoleh dengan cara memotong pokok sagu dari batang pohon sagu atau rumbai. Pohon yang bagus untuk dibuat sagu adalah pohon yang berumur antara 3-5 tahun. Bagian bonggolnya akan diperas hingga sari patinya keluar dan itu yang menjadi bahan baku sagu yang siap diolah atau disimpan di dalam alat yang disebut tumang.
Papeda sudah dikenal luas sebagai kuliner tradisional khas Papua. Ini adalah semacam bubur sagu yang dimakan bersama lauk lain seperti ikan tongkol, ikan gabus, kakap merah, bobara, hingga ikan kue. Terkadang papeda juga disertai sayur ganemo yang terbuat dari daun melinjo muda dan bunga pepaya muda yang ditumis dengan tambahan cabai merah. Rasa kuah ikan yang asam bercampur rasa pahit bunga pepaya akan memperkaya rasa papeda.
Sebelum membuat papeda, biasanya tepung sagu murni disimpan di dalam alat yang bernama tumang, yakni sebuah keranjang yang terbuat dari rotan. Proses pembuatan papeda sederhana, tepung sagu diaduk sambil dituang dengan air mendidih secara bertahap hingga membentuk adonan yang kental. Bubur ini kemudian siap dimakan. Papeda tidak memiliki rasa sehingga Anda membutuhkan kuah dan lauk pendamping untuk menikmatinya.
Cara menyantap papaeda pun terbilang unik. Anda tidak memerlukan sendok tapi sepasang sumpit atau gata-gata(alat sejenis garpu yang terbuat dari bambu) dan dipergunakan untuk menggulung papeda dari piring hingga siap disantap. Putar cepat papeda menghasilkan gulungan adonan yang tidak putus. Saat sudah terpisah dari wadah utama, papeda dipindahkan ke piring dan tambahkan kuah ikan. Gata-gata ini diperlukan untuk membantu karena tekstur Papeda yang kental dan sulit disendok.
Terkadang orang Papua dan Maluku memakan papeda dengan cara yang lebih unik yakni menggunakan dua jari yakni jempol dan telunjuk dan membawanya ke mulut kita. Orang Papua biasanya langsung menyeruput papeda dengan lahap namun bagi pemula disarankan untuk menyantapnya sedikit demi sedikit agar perut tidak kaget. Papeda yang teksturnya mirip lem ini memang akan sulit dikunyah, sehingga Anda harus menelannya dengan cepat.
Papeda memiliki kandungan karbohidrat setara beras atau sagu. Bedanya papeda yang berasal dari sagu justru tinggi serat, rendah kolesterol dan bernutrisi tinggi. Papeda mampu mengatasi pengerasan pembuluh darah, sakit ulu hati dan perut kembung. Bahkan,t ingginya kadar serat dalam sagu mampu mengurangi resiko terjadinya kanker usus.
Selain menjadi santapan sehari-hari masyarakat Papua, paeda juga ditemukan di rumah makan sekitar Waisai, Raja Ampat. Harga untuk semangkuk papeda ditambah ikan kuah kuning kira-kira Rp25 ribu dan Rp30 ribu jika disantap dengan ikan kuah asam. Selain dengan kuah bening dan ikan bakar, papeda dapat juga nikmat dihidangkan dengan kelapa tua yang dimakan mentah. Untuk lebih nikmat lagi, sambal pun dapat ditambahkan sebagai pelengkap rasa pedas.