Kebersamaan etnis melayu di Belitung digambarkan melalui sistem sosialnya yang lekat secara tradisi. Sumber daya alam yang tersedia diolah menjadi makanan-makanan lezat dan menyantapnya pun dilakukan secara bersama. Tradisi ini disebut dengan bedulang, secara harfiah diartikan sebagai “makan menggunakan dulang”.
Dulang bagi masyarakat Belitung adalah sebidang nampan besar berbentuk bundar. Mulanya yang digunakan adalah dulang kayu, dulang seng yang hingga kini masih dipakai baru diperkenalkan pada 1950. Diperkirakan munculnya tradisi makan bedulang berkaitan dengan masuknya tradisi Islam ke tanah Belitung.
Prosesi makan bersama akan melibatkan empat orang yang mengelilingi dulang. Mereka duduk bersila untuk menikmati dulang dengan tata cara tertentu. Bukan hanya menjadi bagian upacara adat seperti syukuran kelahiran, pernikahan, ataupun sunatan, bedulang juga merupakan sarana komunikasi informal antar anggota keluarga. Secara tidak langsung, orang tua mengajarkan etika kepada anak-anaknya melalui prosesi makan bersama.
Seperangkat dulang terdiri dari lauk-pauk khas Belitung yang disediakan di dalam piring-piring kecil, semua piring diletakkan di dalam nampan dulang. Dulang ditutup dengan tudung saji yang disebut mentudong. Nasi disajikan terpisah, demikian pula dengan air minum, buah-buahan, dan panganan pencuci mulut. Untuk membersihkan tangan disediakan kobokan dan serbet yang dilipat empat.
Uniknya, tamu yang hendak santap bedulang tidak serta-merta melayani diri sendiri. Ada seseorang yang disebut “mak panggong” untuk membantu pelaksanaan makan bedulang. Mak panggong tidak sendirian dalam memasak, menata bedulang, menuangkan air minum, menyiapkan kue, dan piranti lainnya. Ia berkoordinasi dengan empat petugas yang disebut tukang rage, tukang perikse, tukang isi aik dan tukang angkat dulang. Biasanya petugas-petugas ini adalah tuan rumah yang dilatih sebaik mungkin untuk memberi suguhan kepada tamunya.
Lantas kuliner apa saja yang bisa dinikmati? Umumnya bedulang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah dan ketersediaan bahan makanan di suatu wilayah. Kuliner pesisir akan berbeda dengan kuliner pedalaman namun tetap diracik dengan citarasa khas Belitung. Beberapa menu khas yang bisa dinikmati adalah: gangan darat yaitu sup daging ayam atau daging sapi, serati atau cumi yang dimasak dengan ketumbar, sate ikan, sambal, dan kuliner khas lainnya.
Setelah mak panggong selesai membawa seluruh keperluan bedulang ke hadapan tamu, kini giliran tamu yang melakukan etika bedulang. Tamu paling muda bertugas mengambil piring dan memberikannya pada tamu yang lebih tua. Umur tidak hanya patokkan satu-satunya untuk menentukan ini, status sosial pun menjadi ukuran. Sebelum makan tangan terlebih dahulu dicuci. Lalu lauk pauk baru bisa diambil dan tentunya dengan cara yang tertib. Makanan yang sudah diambil harus dihabiskan agar tidak mubazir, sedangkan makanan yang masih ada di dalam bedulang tidak boleh dikotori agar dapat dikembalikan ke dapur.
Makan bedulang menggambarkan kebersamaan, toleransi, menghargai yang lebih tua, rasa syukur dan persatuan. Duduk bersila dinilai menjadi posisi duduk yang paling baik, menyehatkan dan sempurna saat makan bedulang. Dalam tradisi ini, terjadi transfer kearifan lokal, pengetahuan dan keterampilan dari generasi ke generasi.
Bedulang kini tidak hanya bisa dinikmati oleh warga asli Belitung. Seiring dengan meningkatnya pariwisata di Bumi Laskar Pelangi ini, bedulang bisa dicicipi wisatawan di Rumah Adat Belitung namun tetap mentaati peraturan yang ada. Satu bedulang hanya bisa dinikmati oleh empat orang, serta hanya tersedia untuk makan siang dan makan malam.
Untuk menyicipinya, Anda bisa melakukan reservasi terlebih dahulu dengan menghubungi pihak berikut.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung
Jalan Depati Gegedek No.17, Tanjung Pandan, Belitung
Tlp. 0719-21398/21036