Arkand Bodhana Zeshaprajna seorang ahli metafisika yang juga merupakan Doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu menggelontorkan ide dan harapan tentang perlunya negara ini berganti nama. Arkand menyerukan agar Indonesia diganti namanya menjadi Nusantara. Pria bernama asli Emmanuel Alexander itu menjelaskan seperti dilansir beberapa media bahwa Indonesia diprediksi akan hancur di tahun 2020 jika tak segera berganti nama. Ia bahkan memperkirakan berdasarkan sudut pandang metafisika bahwa kehancuran itu akan terjadi dalam enam tahun ke depan.
Tahun 2020 puncak kehancuran Indonesia. Gejala kehancuran Indonesia bisa dirasakan di tahun ini dan tahun depan. Dirinya pun menyebut bahwa mempertahankan nama Indonesia sebagai hal yang nekat. Arkand manambahkan bahwa tidak ada satu negara maupun perusahaan yang mampu melewati tahapan negatif yang memuncak seperti itu.
“Dalam fase negatif seperti itu, jarang sekali hampir tidak pernah bahkan, bila satu perusahaan atau negara dengan polaristas fase memuncak tak bisa melampauinya. Tak pernah ada. Jadi kita sangat berbahaya bila kita tak menggunakan nama Nusantara,” ungkapnya. Arkand meyakini nama Nusantara akan membuat nasib bangsa ini lebih baik.
Mengganti nama negara sebenarnya bukanlah hal tabu. Beberapa negara telah melakukannya seperti Siam yang berganti Thailand, Burma jadi Myanmar, Ceylon jadi Sri Lanka, atau Kazakhstan jadi Kazakh Elli karena tak mau disamakan dengan negara miskin di Asia Tengah beraliran ‘stan’.
Menurut Arkand, Indonesia sering sakit-sakitan sehingga mengganti nama negara bisa jadi solusi. Dalam pendekatan budaya, mengganti nama seseorang anak yang sering sakit adalah lumrah dengan harapan lebih bernasib baik. Akan tetapi, lebih dari itu Arkand Bodhana Zeshaprajna menjelaskan beberapa argumen dan alasan tentang pentingnya merubah nama Indonesia menjadi Nusantara.
Nama adalah ideasi dan energi karena memang mengandung ideasi dan energi bukan sembarang sebutan. Ilmu fisika menyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk nama. Dalam pandangan metafisika Arkand, nama Indonesia untuk penyebutan republik ini dinilai tidak tepat.
Nama Indonesia hanya punya Synchronicity Value sebesar 0.5 dalam pandangan metafisika, dimana itu adalah paramater Arkand secret code untuk menganalisa sebuah nama. Rentang Synchronicity Value berada di kisaran 0,05 hingga 1,0. Sedangkan Synchronicity Value yang positif berada di angka 0,8 hingga 1,0. Nama Indonesia sendiri menurut Arkand hanya memiliki Synchronicity Value 0,5.
Dari pengamatan Arkand, Indonesia hanya memiliki Coherence Value sebesar 0,2. Hal ini jauh dari bagus sehingga nama Indonesia harus diganti dengan nama yang lebih baik, yakni Nusantara. Coherence Value 0.2 dalam kehidupan bisa dilihat dari cara seseorang atau negara menguasai satu atau beberapa keahlian. Semakin tinggi Coherence Value tingkat penguasaan terhadap keahlian semakin baik. Coherence Value 0.2 menunjukkan struktur kode-kode dalam diri sendiri yang saling berkaitan satu dengan kode yang lainnya. Rentang Coherence Value berada di kisaran 0,1 hingga 1,0. Sedangkan nilai positifnya di kisaran 0,7 hingga 1,0.
Nama Indonesia adalah pemberian bangsa lain dan bukan berasal dari orang Indonesia sendiri atau pribumi. Hal itu membuat perjalanan bangsa terseok-seok. Asal-usul kata yang bukanlah hasil karya putra bangsa dan struktur kata yang ternyata tidak baik terbuktikan dengan kondisi bangsa dan negara hingga saat ini yang semakin buruk.
Dari sejarahnya adalah James Richardson Logan pada 1850 menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago” (Etnologi dari Kepulauan Hindia). Logan menyatakan tentang perlunya nama khas bagi Kepulauan Nusantara, sebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang sebelumnya diperkenalkan oleh George Samuel Windsor Earl, seorang ahli etnologi bangsa Inggris. Oleh Logan, huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di telinga orang Eropa.
Nusantara Nama Pengganti Indonesia
Arkand mengusulkan nama Indonesia diganti menjadi Nusantara. Lengkapnya, Viranegari Nusantara untuk mengoptimalkan namanya agar lebih baik. Nama Nusantara adalah nama terbaik untuk pengganti nama Indonesia. Sebab, menurut Arkand, dalam struktur nama Nusantara tak mempunyai angka merah dan bisa membuat kehidupan semakin baik untuk orang-orang yang berada di dalamnya kelak.
Nama Indonesia dalam dunia metafisika tidak memberi energi yang positif bagi bangsa ini. Selain itu, nama Indonesia dinilai tak membawa keberuntungan. Asal usulnya pun dari Hindia Island atau Kepulauan Hindia. Padahal Indonesia bukan India!
Sementara itu, nama Nusantara sudah digunakan untuk menyebut rangkaian kepulauan di Indonesia. Nama Indonesia dianggap Arkand asing dan tidak ada maknanya. Nama Nusantara memiliki kedalaman makna dan merepresentasikan semua orang-orang di kepulauan yang ingin bersatu. Nama Nusantara memiliki sumbu dengan akar emosional masyarakat, ketimbang nama Indonesia yang tak punya akar secara emosional. Nama Nusantara mampu merangsang daya kebangsaan, kekeluargaan, dan kesatuan antarsesama yang lahir di tanah yang sama dan leluhur yang sama.
Nama Nusantara sudah mendarah daging bagi negara ini. Selain itu, kata tersebut juga merupakan simbol semangat mempersatukan Indonesia yang besar. Nama Nusantara memiliki sejarah emosional yang kuat dalam lubuk dan pikiran masyarakat negeri ini, karena nama Nusantara adalah bahasa ibu. Bahasa Sanskerta juga banyak digunakan untuk nama-nama tempat, bangunan dan orang di tanah air. Bukti betapa menyatunya bahasa ini dengan kejiwaan masyarakat tanah air.
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah Nusantara yang pada masa sekarang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna, yaitu nusa (pulau) dan antara (lainnya atau seberang).
Pada masa Majapahit, Nusantara merupakan sebutan untuk pula-pulau di luar Jawa (kata antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar atau seberang). Nama Nusantara ini merupakan lawan dari kata Jawadwipa (Pulau Jawa). Dalam Kitab Pararaton termuat Sumpah Palapa yang terkenal dilontarkan Gajah Mada dan menyebutkan istilah Nusantara, yaitu:
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”.
Terjemahannya adalah:
“Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada: “Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Nama Nusantara mengemuka kembali untuk menyebut Indonesia oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (cucu dari adik Multatuli) (1879-1950) atau lebih dikenal sebagai Dr. Setiabudi. Pada 1920 ia memperkenalkan kembali nama Nusantara yang sebelumnya pernah digunakan pada masa Majapahit. Dr. Setiabudi menemukan naskah kuno zaman Majapahit di Bali dan diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes kemudian diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun yang sama.
Sebenarnya Dr. Setiabudi memberi pengertian yang berbeda arti kata Nusantara dari masa Majapahit. Ia mengambil kata Melayu asli ‘antara’ sehingga makna Nusantara bermakna baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudera” sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara. Istilah Nusantara dari Setiabudi itu rupanya dengan cepat menjadi popular penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia. Oleh karena itu, bukan hal asing untuk kembali mengedepankannya kembali, bahkan menggantikan nama Indonesia. (Him)