Usaha seorang wanita Flores dalam meluangkan waktunya berjam-jam duduk sambil menenun adalah hal luar biasa. Semua anggota tubuh, baik tangan, leher, pinggul, tungkai maupun mata harus dikoordinasikan dengan baik dan dibutuhkan konsentrasi untuk melakukannya. Seperti di daerah lain di Nusantara, tenun Flores pun memiliki nilai yang sedemikian tinggi mengikuti alur kerumitan proses menenun itu sendiri. Semakin rumit motif suatu tenun maka semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk membuatnya. Semakin baik hasil tenun maka semakin tinggi nilai artistik yang tertata di dalamnya.
Anda bisa melihat bagaimana proses menenun mendeksripsikan sifat feminim dari seorang wanita. Tidak banyak bicara saat menenun melambangkan feminitas. Bahkan seberapa ahli mereka menenun dijadikan tolak ukur feminitas. Wanita muda yang menggunakan tenun hasil buatannya sendiri menandai bahwa ia telah sepenuhnya menjadi wanita. Selain itu aktivitas menenun, bagi wanita Flores, juga sebuah wujud seberapa tinggi pertahanan fisik mereka dan simbol dedikasi penuh bagi keluarga. Wanita-wanita di Kabupaten Ende terbiasa mempelajari tenun semenjak mereka masih remaja namun tidak semua wanita Flores bisa menenun karena ada daerah tertentu yang melarangnya terkait alasan sejarah.
Motif kain tenun di Nusa Tenggara Timur sangat banyak, antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya berbeda-beda. Hasil penelitian Romo Bosco menyimpulkan bahwa terdapat dua kategori besar tenun, yaitu jenis ikat tradisional dan sulam songket. Jenis ikat menyebar dari Flores bagian tengah mulai dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata, sementara tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Tenun Sumba Timur misalnya, didominasi motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan dan pohon tengkorak. Sedangkan tenun Timor Tengah Selatan lebih menonjolkan motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Suku-suku lainnya lebih banyak menggunakan motif bunga atau daun. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa motif tenun Flores merupakan turunan dari motif patola di India, seperti gajah atau burung yang kemudian berkembang dengan ragam variasi.
Meski kini warna kain tenun ikat berasal dari pewarna kimia tetapi masih banyak yang melestarikan pewarna alam seperti dengan mengekstrak mengkudu ataupun nila. Bahkan kain-kain tenun di Alor menggunakan biota laut seperti teripang dan cumi-cumi sebagai pewarna alami tenun. Inovasi ini diwujudkan seiring dengan tren ramah lingkungan yang sedang menggaung di Indonesia. Dengan menghindari pewarnaan kimia, berarti kepeduliaan terhadap lingkungan sudah ditunjukkan. Limbah dari pewarnaan kimia industri tekstil kerap kali mencemari kualitas air sungai sebagai tempat pembuangan. Selain itu Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.
Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung meskipun terkadang dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. Tenun Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna cerah.
Kain tenun Flores umumnya selain menjadi pakaian penutup juga melengkapi pakaian adat dalam upacara tradisional dan ritual keagamaan. Beberapa daerah di NTT menghasilkan kain-kain tenun yang indah seperti di Manggarai, Ngada, Nage Keo, Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, hingga Lembata dan Alor di timur Flores. Setiap daerah memiliki ragam motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun ikat. Keragaman tersebut merupakan bentuk pengejawantahan simbol-simbol yang merepresentasikan etnis, adat, religi, dan hal lainnya dari keseharian masyarakat Flores.