Bukit Kerang Kawal Darat berwujud gundukan setinggi 4 meter tersebut sekilas pandang nyaris tidak berharga sama sekali namun sebenarnya teramat penting sebagai artefak sejarah manusia purba di Nusantara. Luasaan area Bukit Kerang Kawal Darat adalah 100 m2 dengan lebar gundukan 18 x 24 meter. Tempatnya berada di tengah perkebunan kelapa, sekira 5 km dari Pantai Trikora dengan ketinggian 12 m dpl.
Selain sampah dapur manusia purba berupa kerang, di sana ditemukan pula artefak batu pemecah dan sendok atau pencungkil terbuat dari tulang iga rusa purba, serta pecahan gerabah. Diperkirakan umur artefak tersebut dari masa Mesolitikum atau Zaman Batu Menengah yang merupakan periode peralihan dari kebudayaan berburu ke Zaman Perunggu dengan budaya pertanian yang menetap. Keberadaan Kjökkenmöddinger di Nusantara menurut arkeolog H.R. van Heekeren dan R, Sukmono, diperkirakan sisa peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabin, salah satu kebudayaan penting dari zaman Mesolitikum di Indonesia yang berkembang sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi.
Bukit Kerang Kawal Darat oleh penduduk sekitar disebut juga dengan nama lain situs Kota Batak atau Benteng Batak, terkadang dipanggil Benteng Lanun (Benteng Bajak Laut). Kosa kata ‘batak’ tidak ada kaitannya dengan etnis Batak di Sumatera Utara. Istilah “batak” terdapat pada kosa kata bahasa Melayu lama yang maknanya sama dengan istilah pembatak yang dipergunakan dalam cerita tradisonal “Makyong” di Mantang Arang dan Kampung Keke Kijang, Bintan. Pembantak dalam cerita teater tradisonal itu diartikan sebagai orang jahat dan menurut masyarakat itu dibangun oleh nenek moyang mereka ratusan tahun yang lalu untuk berlindung dari serangan ‘pembatak’ atau orang jahat yang selalu menjarah penduduk di pantai utara Pulau Bintan.
Situs Bukit Kerang di Kawal, Bintan merupakan bagian dari mata rantai sebaran situs Bukit Kerang di pesisir Timur Pulau Sumatera. Di Indonesia, sisa kebuadayaan Mesolitikum ini pertama kali diketahui di sekitar Pantai Timur Sumatera. Membentang di antara Sumatera Timur hingga daerah Langsa di Nanggro Aceh Darussalam. Laporan pertama keberadaan situs prasejarah Bukit Kerang di Pantai Timur Sumatera dipublikasikan tahun 1907, menyusul penemuan situs pertama di daerah Sungai Tamiang dekat Seruai. Pada 1924, ditemukan situs serupa di daerah Batu Kenong, Aceh oleh JH Neuman. Selanjutnya, pada 1927 LC Heyting melaporkan pula temuan lainnya di daerah Serdang Hilir Pantai Timur Sumatera.
Para peneliti dari Balai Arkeologi (BALAR) Medan pada 2009 meneliti Bukit Kerang Kawal Darat dan mereka pula menemukan tiga bukit kerang yang mirip di tiga lokasi. Selain di Sungai Kawal juga ditemukan sebuah bukit kerang lebih kecil terletak di kebun penduduk berhampiran kebun sawit milik swasta, juga situs ketiga yang lebih kecil lagi terletak di areal kebun milik penduduk yang lokasinya berhampiran dengan lokasi situs kedua. Sayangnya karena ketidaktahuan dua situs terakhir sudah rusak karena alih fungsi lahan untuk perkebunan.
Dari penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi (BALAR) menyimpulkan bahwa di Pulau Bintan pernah hidup manusia zaman prasejarah yang mirip di Sumatera. Manusia prasejarah inilah yang menghasilkan bukit kerang karena mereka tinggal di sekitar pantai dan muara sungai pada rumah-rumah bertonggak (rumah panggung). Hidup mereka berkelompok dengan mengumpulkan bahan makanan berupa kerang (moluska) dalam berbagai jenis yang mudah ditemukan di sekitar tempat tinggal mereka. Sisa-sisa kulit kerang yang mereka buang selama bertahun-tahun dan bahkan ribuan tahun itulah yang akhirnya menumpuk dan lambat laun menjadi sebuah bukit yang tingginya sekira empat meter.
Keberadaan Situs Bukit Kerang dilindungi Undang-undang Benda Cagar Budaya dan berada di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Bintan. Selain dilakukan penelitian, Bukit Kerang Kawal Darat juga akan dijadikan tujuan wisata di Pulau Bintan yang dirangkai dengan wisata hutan bakau di Bintan. Namun demikian, untuk kepentingan penelitian, keberadaan situs ini dijaga mengingat pentingnya sebagai bukti sejarah peninggalan manusia pendukung budaya Bacsonian yang berkembang dari Semenanjung Asia, Utara Sumatera, dan Pulau Bintan. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka adalah nenek moyang ras melayu lama.
Untuk menuju situs Bukit Kerang Kawal Darat di Gunung Kijang, Bintan, Anda perlu menyewa kendaraan dari Tanjung Pinang. Tidak ada transportasi umum ke sana karena letaknya di tengah perkebunan kelapa sawit atau sekira 40 km dari pusat kota Tanjung Pinang. Dari jalan utama, Anda masih perlu melanjutkan dengan menyusuri jalanan berupa tanah merah khas di perkebunan. Lokasinya ada di tengah perkebunan kelapa, sekira 5 km dari pantai.