Sebuah litelatur sejarah berjudul “Umdat Al-Safwa” atau “Argumen Penggunaan Kopi” yang ditulis oleh Abd-Al-Qadir Al-Jaziri menjadi acuan tertua (hingga kini) untuk memahami dari mana budaya kopi menyebar. Dalam buku yang rampung ditulis Al-Jaziri tahun 1587 itu memaparkan bahwa awal budaya minum kopi dibawa dan dipopularkan masyarakat Yaman yang membawanya dari Ethiopia di Afrika. Akan tetapi, ada pula yang menyebut bahwa budaya minum kopi sudah dimulai 1.000 SM oleh sebuah suku bernama Galla yang ada di Afrika Timur.
Dipastikan bahwa awalnya tanaman kopi hanya ada di Afrika dan orang Ethiopia menanam biji-bijian asli kopi di dataran tinggi mereka. Barulah berikutnya pedagang Arab menyebarluaskannya dengan membawa biji kopi tersebut hingga ke Afrika Utara dan ditanam massal di sana. Dari Afrika Utara biji kopi pun meluas penanamannya hingga ke Asia, terutama itu adalah Nusantara, negeri kita!
Orang Ethiopia sendiri diperkirakan telah mengonsumsi kopi sejak 800 SM dimana mereka mencampurnya dengan lemak hewan dan anggur demi memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Sejak abad ke-5 M minuman kopi sudah menyebar di pelosok Ethopia.
Sementara itu, orang Yaman dari kalangan kaum sufi adalah kelompok orang yang mengawali mengonsumsi kopi dari Ethiopia yang mereka sebut sebagai al-Qahwa. Para sufi ini mengkonsumsi kopi demi sebagai stimulan agar mereka tetap terjaga selama berzikir dan beribadah malam hari. Salah satu derah di Yaman yang menjadi awal penyebaran kopi adalah Mocha (Mukha) dimana dari nama daerah itu pula kemudian melahirkan sebuah nama sajian kopi terkenal.
Berikutnya, kopi pun membudaya di Kairo, Mesir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Saat itu. Lagi-lagi diawali siswa asal Yaman yang menimba ilmu di Al-Azhar membawa kopi dan mengkonsumsinya untuk meningkatkan stamina saat belajar hingga tengah malam. Seakan ditakdirkan menjadi minuman banyak orang budaya minum kopi pun menyebar di Mesir hingga menjadi kebiasaan warganya. Kedai kopi dan penjualnya dengan mudah ditemukan di berbagai sudut Kota Kairo.
Dari Mesir, budaya minum kopi kemudian menyebar hingga ke Turki yang saat itu menjadi pintu gerbang ke Eropa. Orang Turki mengenal kopi sejak abad ke-15 dan dengan cepat warganya jatuh cinta pada minuman ini. Raja mereka, Sultan Suleiman (1543) diperkenalkan pada kopi oleh Gubernur Ottoman Yaman, yaitu Özdemir Pasha. Tidak lama setelah perkenalan dengan minuman ini kemudian kopi menjadi bagian penting setiap perjamuan di istana, bahkan ada jabatan ketua pembuat kopi dalam daftar pejabat pengadilan yang tugasnya meracik kopi dengan resep rahasia kerajaan.
Cara penyajian kopi di Turki memang berbeda saat itu dimana biji kopi disangrai dan dididihkan dalam wadah khusus hingga ampasnya mengental. Budaya minum kopi di pusat kekhalifaan Islam tersebut diamati musafir asal Inggris, yaitu Charles Mac Farlane. Ia menyebutkan bahwa orang Turki itu tidak bisa hidup tanpa kopi. Orang Turki gemar berbincang di pinggir jalan sembari meminum kopi dan itu telah menjadi gaya hidup mereka hingga memengaruhi bahasanya.
Dari pusat kekhalifahan Islam di Turki itulah kemudian budaya minum kopi menyebar ke Eropa. Era kekhalifahan memainkan peran penting dalam mentransfer ide-ide baru kepada masyarakat Eropa. Saat itu budaya Muslim memengaruhi banyak bidang kehidupan terkait sains dan teknologi, seni dan sastra, juga termasuk kulinernya dalam hal ini budaya minum kopi yang amat kuat dari Turki.
Dari masa kekhalifahan Islam di Turki-lah kemudian para pelancong, peziarah, dan pedagang dari banyak wilayah di Timur Tengah, Afrika Utara, Kaukasus, Balkan, dan utamanya Yaman membawa kopi melanglangbuana ke berbagai belahan dunia hingga Eropa, Amerika, bahkan hingga ke Timur Jauh (Nusantara) dan akhirnya mendunia hingga saat ini.
Ketertarikan banyak bangsa di Eropa terhadap gaya hidup orang Turki pada abad ke-17 menjadi awal kegemaran mereka pada minuman kopi. Termasuk salah satunya adalah Pasqua Rosee yang pernah bekerja pada pedagang kopi di Turki sehingga ‘khatam’ tentang seluk-beluk kopi. Rosee kemudian membuka kedai kopi di tepi Lombard-Street dan seakan tinggal menunggu waktu mewabah, tahun 1700 telah ada 500 kedai kopi di Kota London. Masyarakat Inggris telah tertular kebiasaan orang Turki yang gemar duduk di kedai kopi.
Bukan hanya di Inggris, kota lain di Eropa pun terjangkit wabah minum kopi yang ibarat candu. Sebut saja kota-kota seperti Venesia, Marseilles, Amsterdam, dan Wina tidak bisa mengelak ketika warganya menantikan kiriman kopi dari Yaman yang harganya melonjak tajam saat itu.
Percaya atau tidak bahwa kopi sempat menjadi acaman bagi Kerajaan Inggris. Itu karena orang-orang yang minum kopi di kedai-kedai kopi mereka membaca koran, berdebat soal politik dan membicarakan isu kesenjangan sosial. Akibatnya, kedai-kedai kopi di Inggris pun ramai-ramai mendaftarkan diri secara hukum bahwa tempat mereka bukan sumber pemberontakan warga terhadap kerajaan.
Di Venesia, Italia, para pedagangnya menjalin hubungan dagang dengan Afrika Utara, Mesir, dan Timur Tengah begitu tertarik pada cita rasa kopi karena dianggap cocok dengan lidah orang Italia. Mereka pun menilai kopi sebagai bahan minuman bernilai ekonomi tinggi. Tidak lama dari Venesia, kopi kemudian menyebar ke Turin, Genoa, Milan, Florence, dan Roma.
Seperti juga di Inggris yang sempat ditolak penguasa, begitu juga di Italia dimana barang impor dari negeri Muslim tersebut sempat dicibir lembaga agama setempat. Paus Klemens VIII (1536-1605) awalnya melarang mengonsumsi kopi namun setelah mencicipi sang paus pun membolehkan, bahkan memberkatinya. Tak pelak, itulah jalan pengiya-an untuk kopi mendapatkan rumah terbaiknya di Eropa. Dari Italia kita tahu kemudian lahir ragam penyajian kopi yang digemari saat ini dan negara itu pun dilabeli sebagai penikmat kopi, bukan sekadar peminum kopi.
Kopi Menjadi Temannya Sejarah Nusantara
Di negeri kita, kopi adalah komoditas yang lahir seiring sejarah penjajahan dan tanam paksa. Keberadaan kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan berperan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat di beberapa daerah. Kopi awalnya dibawa ke Nusantara oleh seorang Komandan Pasukan Belanda, yaitu Adrian Van Ommen dari Malabar, India tahun 1696. Tujuannya kopi tersebut untuk ditanam untuk komoditas jual di sebuah lahan partikelir Kedaung yang sekarang dinamai Pondok Kopi (sekitaran Jakarta Timur). Jenis kopi arabika yang ditanam tersebut sayangnya gagal panen karena banjir.
Berikutnya bibit kopi pun dibawa untuk ditanam di daerah dataran tinggi, yaitu di Priangan (Jawa Barat), berikutnya dari wilayah inilah akhirnya kopi menyebar ke berbagai daerah di Nusantara seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan hingga Flores. Secara perlahan dengan dukungan kesuburan tanah maka Nusantara pun menjadi perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia.
Selama masa penjajahan, kopi menjadi komoditas andalan Pemerintah Hindia Belanda yang diawali oleh VOC dengan mengekspornya tahun 1711. Dalam kurun waktu 10 tahun produksi kopi meningkat sampai 60 ton per tahun. VOC pun memonopoli perdagangan kopi sejak 1725 hingga 1780. Pada masa itu kopi java sangat terkenal di Eropa yang saat itu untuk menyebut minum kopi adalah dikatakan ‘secangkir java’.
Hingga pertengahan abad ke-19 kopi java menjadi kopi terbaik di dunia hingga kemudian tahun 1875 menurun akibat serangan penyakit karat daun. Hanya beberapa daerah yang mampu bertahan dari serangan hama ini terutama daerah di ketinggian 1.000 m dpl. Sisa tanaman kopi arabika masih dijumpai seperti di Dataran Tinggi Ijen (Jawa Timur), Tanah Tinggi Toraja ( Sulawesi Selatan), kawasan Bukit Barisan (Sumatera) seperti Mandhailing, Lintong dan Sidikalang di Sumatera Utara, serta dan dataran tinggi Gayo di Aceh.
Pemerintah Hindia Belanda sempat pula mengembangkan jenis kopi jenis robusta tahun 1900 yang ternyata tahan hama karat daun dan pemeliharaannya ringan, bahkan hasilnya justru jauh lebih tinggi. Perlahan jenis kopi ini pun menggeser kopi arabika yang ditanam di daerah dengan ketinggian di bawah 1000 m dpl dan mulai menyebar ke seluruh daerah di Jawa, Sumatera hingga Indonesia Timur.
Selain jenis arabica dan robusta, Pemerintah Hindia Belanda juga mengembangkan kopi jenis liberika ke Indonesia tahun 1875. Akan tetapi, sayangnya jenis ini mudah diserang penyakit karat daun dan juga kurang disukai pasar karena rasanya asam. Sisa tanaman liberica saat ini masih dapat dijumpai di daerah Jambi, Jawa Tengah, dan Kalimantan.
Sekarang, hanya ada beberapa perkebunan kopi milik negara (PTPN) yang bertahan sebagai warisan dari Pemerintah Hindia Belanda dan atau para pengusaha Eropa, seperti di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara perkebunan swasta yang juga diwarisi dari pihak yang sama dapat kita temukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil di Pulau Sumatera.