Tidak hanya membudaya di Pulau Jawa dan Sumatera, keberadaan bambu pun begitu vital di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Warganya kerap memainkan hingga 40 bilah bambu sebagai alat musik tiup. Lima nada sekaligus yakni bass, tenor satu, tenor dua, suling dan kendang mampu dihasilkan. Tanpa vokal, alat musik yang disebut bambu sorume ini akan menghibur masyarakat setempat.
Nama sorume sendiri diambil dari sebutan untuk wilayah Kolaka. Alat musik ini diyakini sudah lahir sejak zaman penjajahan Belanda, Suku Mekongga lah pencetusnya. Dahulu, suku asli di Kabupaten Kolaka itu memiliki mata pencaharian bertani. Saat menghabiskan hari-hari di ladang, mereka menyisakan waktu untuk bermain alat musik. Alih-alih, suara bambu tersebut juga mampu mengusir hama.
Begitu sederhana Suku Mekongga memanfaatkan bambu sebagai instrumen. Bambu kering diambil begitu saja dan dilubangi hingga menjadi suling, ketika itu Suku Mekongga belum mengetahui aspek organologis dan cara untuk menghasilkan nada tertentu.
Sejak 1924, bambu sorume berkembang menjadi alat musik wajib bagi siswa laki-laki di sekolah rakyat. Dengan cara itulah kesenian tersebut dipertahankan eksistensinya agar tidak pudar. Salah satu sekolah yang kini masih melestarikannya adalah SDN 2 Sabilambo. Akan tetapi, bambu sorume yang dimainkan siswa di sana berbeda karena instrumen hanya dibuat dalam tiga nada: bass, tenor dan suling dengan nada do, la, mi.
Dewasa ini dalam sebuah pertunjukkan, bambu sorume telah dimodifikasi dengan instrumen lain seperti piano, organ dan saxophone. Perpaduan alat musik itu biasanya membawakan lagu daerah, pop atau dangdut.