Wayang Potehi: Kesenian Wayang Boneka Berusia 3.000 Tahun dari Tiongkok

Masyarakat Tionghoa telah tinggal ratusan tahun di Indonesia dan berakluturasi memberikan warna baru dalam budaya Nusantara. Bentuk pencampuran itu bisa Anda perhatikan melalui bangunan-bangunan tempo dulu, kuliner, pakaian, hingga alat musik. Akan tetapi, belum banyak yang mengetahui bahwa budaya Tiongkok pun mengalir dalam seni wayang di Indonesia.

Sejatinya, wayang tidak hanya terdiri dari wayang kulit dan wayang golek yang kental nuansa Jawa. Keturunan Tiongkok di Indonesia ternyata masih melestarikan pertunjukkan wayang potehi, yaitu boneka tradisional asal Tiongkok Selatan. Wayang potehi berbentuk seperti boneka yang menggambarkan karakter seorang tokoh dalam legenda Tiongkok. Potehi berasal dari akar kata ‘pou’(kain), ‘te’ (kantung) dan ‘hi’ (wayang). Secara harfiah itu bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain.

Di Tiongkok sendiri kesenian ini sudah berumur 3.000 tahun dimulai dari Dinasti Jin. Menurut legenda, awal mulanya berasal dari pesakitan di sebuah penjara. Lima orang dijatuhi hukuman mati. Empat orang merasa putus asa namun satu orang lainnya justru berusaha menghibur diri dengan mengambil perkakas di sel seperti panci dan piring dan mulai menabuhnya sebagai pengiring wayang. Bunyi-bunyian ini akhirnya terdengar sampai telinga kasiar dan mereka pun diberi ampunan.

Wayang potehi masuk ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa abad ke-16 sampai 19. Penjelajah menggambarkan bahwa kesenian ini berasal dari Tiongkok namun sayangnya hanya sedikit bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan pada masa itu. Abad ke-18, warga Jerman bernama Ernst Christoph Barchewitz yang telah tinggal 11 tahun di Jawa, datang ke Batavia dan melihat bahwa pertunjukkan boneka ini diselenggarakan dalam bahasa tionghoa.

Bukan sekadar seni pertunjukkan, wayang potehi bagi etnik Tionghhoa memiliki fungsi sosial serta ritual karena dimainkan di klenteng-klenteng di Jawa, khususnya di wilayah pesisiran termasuk Semarang. Pertunjukkan wayang ini mengisahkan legenda-legenda seperti: Sam Kok, Sam Pek Eng Taydan Li Si Bin

Pada saat pertama kali wayang potehi masuk ke Indonesia, bahasa yang digunakan adalah Tiongkok dengan dialek Hokkian. Seiring berkembangnya zaman, potehi dimainkan dalam Bahasa Indonesia agar penduduk non-Tionghoa pun bisa menikmatinya. Wayang dimainkan menggunakan kelima jari, tiga jari di tengah mengendalikan kepala, sedangkan ibu hari dan kelingking memainkan tangan sang wayang. Alat musik yang digunakan terdiri atas gembreng, kecer/simbal, cheh dan puah, suling, gitar, rebab, tambur, terompet dan piak-kok.

Kesenian wayang potehi sempat popular di masa pemerintahan Soekarno namun menghilang sejak memasuki pemerintahan Presiden Soeharto. Kesenian ini dimainkan kembali selepas masa reformasi dan hingga kini pun Anda bisa melihatnya di berbagai tempat, bahkan di pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat perayaan Tahun Baru Imlek.