Pawiwahan: Upacara Pernikahan Masyarakat Hindu-Bali

Selain upacara kematian, salah satu kegiatan agama dan adat dari pemeluk Hindu-Bali yang menarik untuk disimak adalah pawiwahanatau upacara pernikahan. Dalam masyarakat Hindu-Bali upacara pawiwahan merupakan bentuk komitmen yang suci dan luhur karena pada hakekatnya itu merupakan upacara persaksian ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dan para dewata (Dewa Saksi), kepada makhluk niskala yang tinggal di “dunia bawah” (Bhuta Saksi), dan kepada sesama manusia (Manusa Saksi). Ketiga persaksian ini disebut sebagai Tri Upasaksi.

Selain itu, setelah melangsungkan upacara pawiwahan maka seseorang dianggap sebagai warga penuh atau krama dari banjar yang bersangkutan beserta segenap hak dan kewajibannya. Layaknya upacara adat-keagamaan lainnya dalam masyarakat Hindu-Bali, pelaksanaan upacara pawiwahan ini juga dibantu oleh keluarga besar kedua mempelai dan masyarakat sekitarnya.

Upacara pawiwahan masyarakat Hindu-Bali memiliki tujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia secara lahir-batin yang ditunjang dengan terpenuhinya unsur-unsur material seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan (artha) serta unsur-unsur non-material seperti rasa kedekatan dengan Sang Hyang Widhi Wasa (dharma) dan pemenuhan kebutuhan seksual, adanya rasa kasih-sayang antara sesama anggota keluarga, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (kama). Artha, dharma, dan kama sering disebut juga sebagai Tri Purusa.

Upacara pawiwahan diyakini sebagai yadnya guna memberikan kesempatan kepada para leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (reinkarnasi). Upacara pawiwahan juga bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan jalannya kehidupan di dunia. Dengan adanya pawiwahan maka bisa memberi peluang kepada anak atau keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia.

Penentuan susunan acara (eedan karya) pawiwahan dilakukan oleh pedanda (pendeta) berdasarkan hari-hari yang dianggap baik (dewasa ayu). Hal itu karena bagi pemeluk Hindu-Bali, yadnyapawiwahanini dijalankan sesuai dengan konsep desa-kala-patra(sesuai dengan tempat, waktu, dan situasi manusia yang bersangkutan). Secara umum urutan upacaranya adalah berikut ini.

Mapesedek, yaitu kunjungan awal keluarga mempelai pria ke rumah keluarga mempelai perempuan dengan untuk memberitahukan bahwa mempelai pria ingin mempersunting mempelai perempuan. Mempelai perempuan lalu memberikan penegasan bahwa ia memang ingin menikah dengan mempelai pria berdasarkan perasaan saling mencintai dan keluarga mempelai perempuan juga memberikan penegasan bahwa mereka merestui pernikahan tersebut. Hal ini disaksikan dan didengarkan oleh orang banyak yang terdiri dari keluarga besar kedua mempelai serta sejumlah kelian (pemimpin) banjar dan bendesa (kepala) desa pakraman setempat. Setelah mendapatkan jawaban dari keluarga mempelai perempuan, keluarga mempelai pria lalu mohon diri dan meminta waktu untuk berkonsultasi dengan pendeta untuk menentukan waktu dan mempersiapkan upacara selanjutnya.

Makta Penangsek, upacara ini merupakan kunjungan berikutnya dari keluarga mempelai pria ke keluarga mempelai perempuan dengan membawa sejumlah banten (sesajian) dan bingkisan untuk keluarga mempelai perempuan. Banten yang dibawa antara lain adalah canang pengraosyang berisi buah-buahan. Sementara bingkisan yang dibawa antara lain seperangkat pakaian dan makanan untuk mempelai perempuan dan keluarganya. Saat  upacara ini juga dilakukan tukar cincin antara kedua mempelai. Pemberian bingkisan dan acara tukar cincin ini secara simbolik bermakna bahwa mempelai perempuan sudah menjadi bagian dan terikat dengan mempelai pria. Karena itu, upacara ini merupakan acara lamaran secara resmi. Selain itu, saat upacara ini juga dilakukan wejangan dari pihak keluarga dan pendeta agar kedua mempelai bisa mempersiapkan diri untuk mengarungi kehidupan baru mereka nantinya. Setelah upacara ini mempelai perempuan tidak boleh keluar rumah (dipingit) sampai tiba hari penjemputan (“ngambil pengantin istri”).

Ngambil pengantin istri, adalah acara penjemputan mempelai perempuan dari rumahnya oleh mempelai pria untuk dibawa ke rumah sang mempelai pria. Upacaranya diawali dari kediaman mempelai pria. Setelah bersembahyang di pura keluarga (pamerajan), mempelai pria dan keluarganya berangkat ke kediaman mempelai perempuan. Prosesi ini biasanya berlangsung meriah dimana mempelai pria diusung oleh tandu diiringi rombongan keluarga besar, penabuh gamelan/gong, pembawa tombak dan panji-panji, serta perempuan pembawa bebantenan (sesajian) dan bingkisan. Di kediaman mempelai perempuan, mempelai pria lalu menjemput mempelai perempuan yang berada di dalam Gedong Betel (bangunan utama). Kemudian, kedua mempelai duduk bersama di hadapan kedua orangtua mereka dan juga para kelian banjar dan bendesa desa pakraman setempat. Kedua orang tua lalu memberikan wejangan kepada kedua mempelai. Setelah itu, kelian banjar dari kediaman mempelai perempuan menyatakan bahwa mempelai perempuan sejak saat itu sudah pindah ke kediaman mempelai pria. Kelian banjar dari kediaman mempelai pria lalu menyatakan menerima kehadiran mempelai perempuan sebagai warga baru di banjarnya. Mempelai perempuan sejak saat ini secara resmi sudah menjadi warga di banjar mempelai pria. Kedua mempelai lalu sama-sama diusung dengan tandu untuk pulang ke kediaman mempelai pria dengan prosesi yang meriah sama seperti saat keberangkatan.

Ngayab pabiya kaon, adalah upacara yang dilakukan setelah mempelai perempuan tiba di kediaman mempelai pria. Upacara ini adalah upacara pensucian diri dari berbagai unsur negatif yang mungkin menyertai kedua mempelai. Dengan pelaksanaan upacara ini diharapkan pikiran dan perasaan kedua mempelai kembali menjadi jernih, bersih, dan suci serta dipenuhi oleh sifat-sifat kebajikan. Upacara ini dipersembahkan untuk para makhluk niskala penghuni dunia bawah (bhuta kala) agar mereka tidak mengganggu pelaksanaan upacara. Upacara ini dilangsungkan di halaman kediaman mempelai pria.

Mekalan-kalan, merupakan puncak dari upacara pawiwahan. Kedua mempelai kembali menjalani upacara pensucian diri dari unsur-unsur negatif (“bhuta kala”) yang mungkin masih berada di dalam tubuh dan jiwa mereka. Kedua mempelai melakukan sejumlah kegiatan simbolik antara lain melakukan jual-beli sejumlah barang layaknya di pasar. Kegiatan yang paling menarik adalah ketika mempelai pria menusukkan keris ke selembar tikar kecil dari daun pandan yang dipegang oleh mempelai perempuan. Kegiatan-kegiatan ini bermakna bahwa kedua mempelai sudah siap untuk berumah tangga. Kedua mempelai lalu mengangkat sumpah di hadapan pendeta untuk hidup bersama dengan direstui dan disaksikan oleh keluarga masing-masing mempelai dan hadirin. Pada upacara ini maka Tri Upasaksi selesai dijalankan dan pawiwahan ini juga sudah sah tercatat secara resmi oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Kantor Catatan Sipil.

Widi widana, adalah upacarapensucian diri dan permohonan restu dari kedua mempelai kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Dewa Semara Ratih (Dewa Asmara). Upacara ini dilangsungkan di pura keluarga (Pamerajan Agung) Puri Agung Ubud.

Mepejati, adalah upacara pamit kepada keluarga mempelai perempuan dan juga kepada para arwah leluhur pihak mempelai perempuan yang ada di pura keluarga (pamerajan), karena sejak saat ini mempelai perempuan akan tinggal bersama sang suami di rumahnya dan membangun sebuah keluarga baru.

Ngayab, adalah Upacara ini merupakan upacara pensucian diri kembali kedua mempelai di kediaman mempelai pria yang akan menjadi kediaman mereka sejak saat ini.

Upacara adat-keagamaan seperti pernikahan dalam masyarakat Hindu-Bali merupakan bentuk pelaksanaan dari yadnya. Upacara yadnyasendiri memiliki banyak jenis untuk memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya dari para dewa dan para roh suci leluhur. Secara umum ada lima macam yadnya (Panca Yadnya) bagi pemeluk Hindu-Bali, yaitu: Dewa (Sang Hyang Widhi Wasa beserta para dewata), Rsi Yadnya (para rsi atau para pedanda/pendeta), Bhuta (kekuatan alam baik makrokosmos maupun mikrokosmos), Pitra (orang tua dan leluhur), dan Manusa (sepanjang daur hidup manusia dari masa kandungan sampai dengan masa dewasa). Panca Yadnya ini bertujuan untuk menyelaraskan tiga dunia, yaitu: Bhur (dunia makhluk gaib jahat), Bwah (dunia manusia), dan Swah (dunia Tuhan/dewata). Upacara pawiwahan sendiri termasuk ke dalam Manusa Yadnya.

Bagi pemeluk Hindu-Bali, pawiwahanadalah salah satu bentuk pelaksanaan dari yadnyadengan makna yang lebih luas daripada sekadar kegiatan upacara adat-keagamaan. Akan tetapi, pawiwahanjuga bermakna persembahan atau pengurbanan suci yang didasari keikhlasan dan ketulusan hati tanpa pamrih.