Tana Toa Kajang: Pewaris Bumi Penjaga Hutan Bulukumba

Suku Kajang hidup dengan cara tradisi ketat, dimana saat Anda menyambangi desa ini maka tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding tembok. Di dalam setiap rumah tidak ada perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan peralatan elektronik. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.

Inilah salah satu suku yang berhasil mempertahankan tradisinya dengan baik di Pulau Sulawesi. Mendiami salah satu desa di pedalaman Kabupaten Bulukumba, di Provinsi Sulawesi Selatan, suku Kajang adalah daya tarik yang sulit dilewatkan saat Anda menyambangi “Bumi Pembuat Pinisi” (baca; Bulukumba).

Suku Kajang mendiami wilayah Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasinya sekira 200 km arah timur kota Makassar dan 56 km dari pusat Kota Bulukumba. Luasan wilayah Desa Tana Toa sekira 331,17 hektar dan terbagi menjadi dua, yaitu suku Kajang luar dan Kajang dalam. Masyarakat Kajang luar, tersebar dan menetap di tujuh dusun. Sementara masyarakat Kajang dalam tinggal  di satu dusun yaitu Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang secara keseluruhan melakukan segala ritual dan aktivitas yang  berkaitan dengan adat istiadat. Meski suku ini terbagi kedalam dua kelompok, akan tetapi tidak ada perbedaan diantara mereka. Semuanya berpegang teguh terhadap ajaran leluhur.

Dinamai Tana Toa, karena desa tua ini dihuni sekumpulan warga adat Kajang yang percaya bahwa tanah mereka merupakan daerah tertua dan pertama kali diciptakan Tuhan di muka Bumi sehingga mereka patut menjaganya sebagai tanah warisan leluhur. Masyarakat Tana Toa percaya bahwa Bumi ini adalah warisan nenek moyang yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus mendapatkan warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis. Saat ini diperkirakan luasan hutan adat mereka sekira 317,4 hektar.

Masyarakat adat Kajang Bulukumba memegang teguh ajaran leluhur yang mereka sebut pasang ri kajang atau berarti pesan di kajang. Ajaran pasang itulah yang dinilai ampuh melestarikan hutan mereka dari kerusakan. Pemimpin adat mereka yang disebut ammatoa akan memimpin warganya melindungi hutan yang mereka bagi tiga, yaitu: hutan keramat (hutan karamaka), hutan perbatasan (hutan batasayya) serta hutan rakyat (hutan laura).

Setiap akhir tahun, masyarakat adat suku kajang melakukan ritual andingingi yang berarti mendinginkan alam. Ini merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas kemurahan alam dengan cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam untuk diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu tahun.

Masyarakat Tana Toa Kajang selalu mengenakan sarung hitam (lipa’ le’leng) yang dibuat dengan proses alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan Kajang. Pakaian serba hitam tersebut bermakna kebersahajaan, kesederhanaan, kesamaan atau kesetaraan seluruh masyarakatnya. Pakaian hitam juga dimaksudkan agar mereka selalu ingat kematian atau dunia akhir. Makna kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini. Semua bentuk, ukuran serta warnanya seragam, beratap rumbia serta berdinding papan. Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya menggunakan bambu dan di sekitarnya semua pemukiman Warga menghadap kearah kiblat. 

Kearifan lokal suku ini didapatkan dari alam sekitar. Masyarakat adat Kajang mempunyai struktur kelembagaan dimana semua individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut, melaksanakan dengan konsisten dan bertanggung jawab. Pemimpin mereka disebut Ammatoa. Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya akan dipilih setelah tiga tahun lamanya. Para calon Ammatoa dikumpulkan, seekor kerbau atau ayam yang sudah diberi mantra akan dilepas ke dalam hutan. Bila kerbau atau ayam tersebut memasuki sebuah rumah penduduk, maka pemilik rumah itulah yang akan menjadi Ammatowa seumur hidupnya.

Masyarakat Desa Tana toa, tidak pernah merasakan bangku pendidikan secara formal melainkan pelajaran terbaik mereka adalah dari alam sekitar. Oleh karena itu, sulit ditemukan warga di kawasan ini yang mampu berbahasa Indonesia. Dalam kesehariannya, masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Konjo. Dalam hal perkawinan, masyarakat Tana Toa harus kawin dengan sesama masyarakat kawasan tersebut. Jika tidak, dia harus meninggalkan kawasan adat.

Tips

Anda yang datang ke sini harus mengikuti aturan adat. Tidak boleh menggunakan kendaraan modern, hanya boleh menunggangi kuda atau berjalan kaki. Anda pun harus mengikuti khas kain adat hitam.

Perhatikan bahwa bagi suku Kajang, hutan adalah warisan leluhur yang amat mereka jaga sehingga siapapun dilarang melakukan tindakan yang merusak. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan adat dengan merusak hutan maka akan dikenakan denda Rp1.200.000  di tambah sehelai kain putih serta mengembalikan barang yang telah diambil dari daerah tersebut.

Seorang Amatoa akan menentukan wilayah tebang hutan semisal untuk rumah atau kelengkapan bersama. Sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut diwajibkan melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh subur, penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional serta mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.

Suku Kajang terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang. Terkait pencurian atau barang yang hilang, suku Kajang menerapkan dua ritual, yaitu: tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli yaitu mencari pelaku pencurian dengan cara setiap warga memegang linggis yang membara setelah dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut tetapi apabila sang pencuri melarikan diri maka dilakukanlah tunu passau yaitu ammatoa membakar kemenyan sambil membaca mantra yang dikirimkan kepada pelaku agar jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia secara tidak wajar.